Arsip

Archive for the ‘Kelompok Maksiat’ Category

Akidah Ahmadiyah

10 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA

Firqah Ahmadiyah memiliki aqidah yang sangat bertolak belakang dengan aqidah kaum muslimin pada umumnya, sehingga mestinya mereka tidak boleh menamakan diri mereka dengan muslimin. Semestinya juga mereka tidak menamakan tempat ibadah mereka dengan masjid. Kami akan sebutkan beberapa contoh aqidah yang sangat menonjol pada mereka diantaranya:

1. Meyakini bahwa mereka memiliki sesembahan yang memiliki sifat-sifat manusia, seperti puasa, shalat, tidur, bangun, salah, benar, menulis, menandatangani, bahkan bersenggama dan melahirkan. Seorang pemeluk Ahmadiyah bernama Yar Muhammad mengatakan: “Bahwa Al-Masih Al-Mau’ud (yakni Ghulam Ahmad) suatu saat pernah menerangkan tentang keadaannya: ‘Bahwa dia melihat dirinya seolah-olah seorang wanita, dan bahwa Allah memperlihatkan kepada dirinya kekuatan kejantanannya’.” (Dhahiyyatul Islam karya Yar Muhammad hal. 34)

Na’udzubillah (kita berlindung kepada Allah). Maha Suci sesembahan kaum muslimin dari sifat semacam itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Asy-Syura ayat 11:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Tidaklah serupa dengan-Nya sesuatupun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Yang mereka sifati itu adalah sesembahan mereka, bukan sesembahan muslimin.

2. Bahwa para Nabi dan para Rasul tetap diutus sampai hari kiamat, tidak tertutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tentu hal ini menyelisihi Al-Qur`an, hadits yang mutawatir, dan ijma’ muslimin.

3. Bahwa Ghulam Ahmad adalah Nabi dan Rasul.

Hal ini telah terbukti kepalsuannya.

4. Bahwa Ghulam Ahmad lebih utama dari seluruh Nabi dan Rasul, termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

5. Bahwa wahyu turun kepada Ghulam Ahmad.

Wahyu hanyalah turun kepada Nabi yang sesungguhnya, dan itu telah terputus dengan Nabi Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hazm rahimahullahu yang telah lewat.

6. Bahwa yang membawa wahyu kepadanya adalah malaikat Jibril ‘alaihissalam.

7. Bahwa dia memiliki agama yang terpisah dari seluruh agama, dan bahwa mereka memiliki syariat yang tersendiri. Umat mereka adalah umat yang baru, umat Ghulam Ahmad.

Atas dasar hal ini, semestinya mereka tidak menyandarkan diri mereka kepada Islam dan hendaknya dengan terang-terangan mereka memproklamirkan antipati mereka kepada Islam, serta tidak menyebut tempat ibadah mereka sebagai masjid.

8. Bahwa mereka memiliki kitab tersendiri yang kedudukannya menyerupai Al-Qur`an. Terdiri dari 20 juz, namanya adalah Al-Kitabul Mubin.

9. Bahwa Qadiyan seperti Makkah dan Madinah, bahkan lebih utama dari keduanya.

10. Bahwa haji mereka adalah dengan menghadiri muktamar tahunan di Qadiyan.

11. Menghapuskan syariat jihad fi sabilillah melawan orang-orang kafir.

Demi kelanggengan Tuhan mereka yang sesungguhnya yaitu para penjajah.

12. Menganggap kafir seluruh umat Islam, yakni selain mereka.

13. Mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Isa ‘alaihissalam.

Di antara yang dia ucapkan tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Nabi (Muhammad) memiliki 3.000 mukjizat, namun mukjizatku melebihi 1.000.000 mukjizat.” (تحفة كولره:40 وتذكرة الشهادتين:41 karya Ghulam Ahmad)

Di antara ucapannya tentang Nabi Isa ‘alaihissalam adalah: “Sesungguhnya Isa adalah seorang pecandu khamr dan perilakunya jelek.” (حاشية ست بجن:172 karya Ghulam Ahmad)

Dia katakan juga: “Sesungguhnya Isa cenderung kepada para pelacur, karena nenek-neneknya dahulu adalah para pelacur.” (ضميمة انجام آثم، حاشية ص 7 karya Ghulam Ahmad)

Semua itu adalah tuduhan yang sama sekali tiada berbukti. Bahkan, siapa yang sesungguhnya pencandu khamr? Lihatlah kisah berikut ini. Ghulam menulis surat kepada salah seorang muridnya di Lahore agar mengirimkan kepadanya wine dan membelinya dari toko seseorang yang bernama Belowmer. Ketika Belowmer ditanya wine itu apa, ia menjawab: “Salah satu jenis yang sangat memabukkan dari jenis-jenis khamr yang diimpor dari Inggris dalam kemasan tertutup.”1

Persaksian semacam ini banyak dari pengikutnya, mereka sadari atau tidak. Majalah Ahmadiyah Al-Fadhl juga menyebutkan: “Sesungguhnya Al-Masih Al-Mau’ud Ghulam Ahmad adalah seorang nabi. Sehingga tidak mengapa baginya bila bercampur baur dengan wanita-wanita, menjamah mereka, memerintahkan mereka untuk memijit-mijit kedua tangan dan kakinya. Bahkan yang semacam ini menyebabkan pahala, rahmat, dan berkah.” (edisi 20 Maret 1928 M)

Adapun tentang Nabi ‘Isa ‘alaihissalam cukup bagi kaum muslimin firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قَالَ إِنَّمَا أَنَاْ رَسُوْلُ رَبِّكِ لأَهَبَ لَكِ غُلاَمًا زَكِيًّا

“Ia (Jibril) berkata (kepada Maryam): ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabbmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci’.” (Maryam: 19)

14. Mencela para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

15. Bahwa dia adalah Al-Masih Al-Mau’ud.

16. Bahwa dia adalah Al-Imam Mahdi.

Tentang dua hal terakhir, telah kami bantah dalam majalah Asy-Syari’ah edisi 33 tentang Imam Mahdi dan edisi 35 tentang Turunnya Nabi Isa.

Ahmadiyah Lahore

Sebagaimana diketahui, muncul perpecahan di tubuh Ahmadiyah, khususnya setelah kematian “Nabi” mereka Mirza Ghulam Ahmad. Muncul sebagai pecahan Ahmadiyah Qadiyan apa yang kemudian dikenal dengan Ahmadiyah Lahore.

Di Indonesia pun demikian. Ada yang mengikuti asalnya, sehingga di Indonesia ada yang disebut Jemaat Ahmadiyah Indonesia disingkat JAI yang berpusat di antaranya di Parung, Bogor, sebagai wujud dari Ahmadiyah Qadiyan. Ada juga Gerakan Ahmadiyah Indonesia disingkat GAI yang berpusat di Yogyakarta sebagai wujud dari Ahmadiyah Lahore.

Sengaja kami membahas secara khusus Ahmadiyah Lahore ini walaupun dengan ringkas, karena gerakan ini menampakkan penampilan yang lebih ‘bersahabat’ dengan umumnya muslimin, yaitu dengan menampilkan bahwa mereka tidak meyakini Ghulam Ahmad sebagai Nabi, namun sekadar pembaru.

Untuk diketahui, pimpinan Ahmadiyah Lahore ini adalah Muhammad Ali. Dia belajar ilmu-ilmu sains dan memperoleh gelar magister, namun tidak mendapatkan pekerjaan. Akhirnya ia direkrut untuk menjadi pendamping Nabi palsu Ghulam Ahmad, sehingga dapat memperkokoh kenabiannya dengan adanya potensi menyebarkan kesesatan mereka di kalangan terpelajar. Untuk itu ia digaji oleh penjajah Inggris dengan gaji yang sangat tinggi ketika itu, lebih dari 200 Rupee. Padahal para petinggi negara saja kala itu gajinya tidak lebih dari 50 Rupee.

Mulailah ia bekerja dengan menjabat sebagai pemimpin redaksi salah satu majalah bulanan Ahmadiyah. Sepeninggal Ghulam Ahmad ia menjadi musyrif (direktur) majalah tersebut dan diserahkan kepadanya tugas penerjemahan makna Al-Qur`an ke bahasa Inggris, yang tentu disisipkan padanya penyelewengan-penyelewengan ala Ahmadiyah. Awalnya terjemahan ini dipimpin oleh khalifah Ghulam yang pertama yaitu Nuruddin. Disebutkan dalam majalah mereka Al-Fadhl, 2 Juni 1931 M, “Sesungguhnya hadhrat khalifah yang pertama bagi Al-Masih Al-Mau’ud (Ghulam Ahmad) dahulu mendiktekan penerjemahan makna-makna Al-Qur’an kepada Ustadz Muhammad Ali. Beliau (Muhammad Ali) mengemban pekerjaan tersebut dan mengambil gaji sebesar 200 Rupee perbulan.”

Dengan berjalannya waktu dan perkenalan yang semakin mendalam, terjadilah ketidakcocokan antara dia dengan Ghulam Ahmad, karena apa yang dia ketahui bahwa Ghulam Ahmad menumpuk harta umat untuk kepentingan pribadi dan tidak mengikutsertakannya dalam kekayaan tersebut. Sehingga Ghulam mengatakan: “Mereka menuduh kita makan harta haram. Apa hubungan mereka dengan harta ini?2 Seandainya kita berpisah dengan mereka, mereka tidak akan mendapatkan harta walaupun satu qirsy.”3

Sepeninggal Ghulam Ahmad serta perebutan warisan berupa harta pemberian dari Inggris dan perolehan dari pengikutnya, penjajah Inggris hendak menciptakan trik baru untuk menjaring komunitas muslimin dalam jaring kesesatan. Mereka melihat jurus yang lalu kurang ampuh. Terlebih dengan tersingkapnya kenabian palsu Ghulam Ahmad oleh para ulama Islam, sehingga kaum muslimin pun waspada dari segala penipuannya. Penjajah Inggris pun khawatir bila usahanya lenyap bersama kelompok yang murtad ini. Sehingga mereka menunjuk pembantu kecilnya, Muhammad Ali, yang memimpin kelompok yang beroposisi dengan pewaris tahta Ghulam Ahmad demi kepentingan penjajah untuk membuat jamaah baru dan memproklamirkan bahwa Ghulam Ahmad tidak menyerukan kenabian dirinya, bahkan ia hanya menyerukan bahwa dirinya adalah pembaru agama Islam. Tujuan proklamasi ini adalah untuk menjerat muslimin yang belum terjerat dalam jaring Ghulam Ahmad karena menyadari kepalsuannya, agar dapat masuk dalam jaringnya secara perlahan. Atau paling tidaknya akan menjauh dari agama Islam dan ajaran-ajarannya, termasuk berjihad melawan penjajah.

Demikian proses kelahiran kelompok ini, yang pada hakikatnya bukan karena perbedaan aqidah dengan Ahmadiyah Qadiyan sebagaimana kesan yang terpublikasi. Semua itu terbukti dengan pernyataan-pernyataan yang termuat dalam surat kabar Ahmadiyah Lahore. Di antaranya: “Kami adalah pelayan-pelayan pertama untuk hadhrat Al-Masih Al-Mau’ud (Ghulam Ahmad). Dan kami beriman bahwa beliau adalah Rasulullah yang jujur yang benar, dan bahwa ia diutus untuk membimbing orang-orang di zaman ini serta memberikan hidayah kepada mereka, sebagaimana kami beriman bahwa tiada keselamatan kecuali dengan mengikutinya.”4

Bahkan Muhammad Ali sendiri menuliskan: “Kami meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah Al-Masih Al-Mau’ud dan Mahdi yang dijanjikan. Dia adalah Rasulullah dan Nabi-Nya. Allah tempatkan dia pada sebuah tempat dan kedudukan, sebagaimana ia terangkan sendiri (yakni lebih utama dari seluruh para Rasul, ed.), sebagaimana kami mengimani bahwa tiada keselamatan bagi yang tidak beriman.”5

Adapun ucapannya: “Sesungguhnya kami tidak meyakini bahwa Ghulam Ahmad itu Nabi Allah dan Rasul-Nya, bahkan kami meyakininya sebagai mujaddid (pembaru) dan muslih,”6 maka Asy-Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir berkomentar: “Tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak sesuai dengan pernyataan-pernyataannya yang lalu dan yang sesungguhnya.”

Kesimpulannya bahwa Ahmadiyah Lahore menampakkan keyakinan bahwa Ghulam Ahmad hanya sebatas pembaru. Namun pada hakikatnya sama dengan Ahmadiyah Qadiyan dalam hal keyakinan, walaupun para pengikutnya mungkin ada yang mengetahui hakikat ini dan ada yang tidak.

Yang jelas, keyakinan Ahmadiyah bahwa Ghulam Ahmad adalah pembaru pun sangat keliru dan salah parah. Karena tanpa tedeng aling-aling dengan tegas, yang bersangkutan Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagi Nabi dan Rasul. Ini merupakan kekafiran. Ditambah lagi berbagai penyimpangan yang ada, seperti yang telah dijelaskan.

Nah, apakah orang semacam ini pantas disebut sebagai pembaru agama Islam? Atau justru pembaru ajaran Musailamah Al-Kadzdzab dan yang mengikuti jalannya? Sadarlah wahai ulul albab.

Footnote:

1 Keterangan dari Nur Ahmad Al-Qadiyani dalam majalah Al-Fadhl, 20 Agustus 1946 M, dinukil dari makalah Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Al-Mutanabbi Al-Qadiyani wa Ihanatuhu Ash-Shahabah hal. 300.

2 Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir mengomentari: Bagaimana mereka tidak ada hubungan, sementara mereka berserikat dalam memperkokoh kenabian?!

3 Surat putra Ghulam kepada Nuruddin, terdapat dalam Haqiqat Al-Ikhtilaf karya Muhammad Ali, Aisar Al-Qadyaniyyah Fi Laahur, hal. 50.

4 صلح بيغام surat kabar Ahmadiyah Lahore edisi 7 September 1913 M.

5 Review of Religions juz 3 no. 11 hal. 411.

6 Review of Religions juz 9 no. 7 hal. 248.

Sumber Website: http://asysyariah.com/print.php?id_online=677

Mengenal Sururiyah Lebih Dekat

10 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Syaikh Ayyid asy Syamari

Ada sekelompok muslim yang mengikuti kaidah salaf dalam perkara Asma’ dan Sifat Allah, Iman dan Taqdir. Tapi, ada salah satu prinsip mereka yang sangat fatal yaitu mengkafirkan kaum muslimin. Mereka terpengaruh oleh prinsip Ikhwanul Muslimin. Pelopor aliran ini bernama Muhammad bin Surur.
Muhammad bin Surur yang lahir di Suriah dahulunya adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia menyempal dari jamaah sesat ini dan membangung gerakannya sendiri berdasarkan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub (misalnya dalam masalah demontrasi, kudeta dan yang sejenisnya).
Dalam hal Asma dan Sifat, ia mengikut manhaj Salaf, sehingga dari sinilah ia dapat masuk ke kerajaan Saudi dan belajar disana.
Jama’ahnya dinamakan Quthbiyah, dinasabkan kepada Sayyid Quthub karena dia memperbarui manhaj Ikhwanul Muslimin dan menciptakan gerakan-gerakan dakwah yang sesat tersebut. Mereka bisa disebut Ikhwanul Muslimin apabila disandarkan kepada induknya atau Sururiyah bila disandarkan kepada dainya yang bergerak pertama kali di Saudi, yakni Muhammad Bin Surur. Jika tidak, maka Sururiyah adalah Quthbiyah dan Ikhwanul Muslimin itu sendiri.
Sururiyah memiliki prinsip-prinsip yang sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah takfir, demonstrasi, tanzhim, mobilisasi massa, dan mengikat pengikut dengan imamat (kepemimpinan seorang Imam, red). Bentuk mereka bermacam-ragam sesuai dengan kondisi negara setempat.
Contohnya di Mesir, sebelum diketahui mereka berprinsip ikhwani, sebagian anggota mereka memulai dengan membangun masjid-masjid. Setiap masjid memiliki penanggung-jawab, dan setiap penanggung-jawab harus melapor kepada ketua wilayah dan ketua wilayah melapor kepada ketua umum.
Sebagian mereka bergerak dalam pembangunan perpustakaan-perpustakaan, lalu hasilnya dilaporkan dan dikumpulkan sampai diketahui oleh pucuk pimpinan.  Sebagian lainnya membentuk halaqah Al Quran dan dipimpin oleh seorang ketua halaqah. Kemudian beberapa ketua halaqah dikumpulkan untuk melaporkan hasil-hasil gerakannya kepada ketua umum. Inilah yang disebut pemikiran Hasan Al Banna, tapi beda nama! Sururiyah melakukan ini semua dan mereka adalah Ikhwanul Muslimin. Diantara kesamaan-kesamaan Sururiyah dan Ikhwanul Muslimin ialah:
1. Sururiyah memegangi prinsip Ikhwanul Muslimin: “Kita saling tolong-menolong pada apa yang kita sepakati dan saling memaafkan pada apa yang kita perselisihkan.” akan tetapi dengan cara yang berbeda. Mereka merasa cocok dengan dakwah Ikhwanul Muslimin dan meniru Hasan Al Banna, Sayyid Quthub, AL Hadhami dan At Tilmisani yang beraqidah sufi dan asy’ari (Pengaruh Abul Hasan al Asy’ari, red). Tokoh-tokoh itu menamakan diri dengan apa? Dengan nama Ikhwanul Muslimin! Bukan dengan nama sufi dan asy’ari, walaupun pada dasarnya mereka adalah asy’ari dan sufi. Oleh karena itu Sururiyah bekerjasama dengan firqah Jama’ah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin, saling memaafkan pada apa yang mereka perselisihkan (termasuk dalam masalah aqidah). Jama’ah Sururiyah berada pada satu barisan dengan firqah (aliran) Tabligh. Ikhwanul Muslimin memasukkan ajaran sufi, asy’ari dan syi’ah. Sementara Sururiyah memiliki satu pemikiran yang sama dengan Ikhwanul Muslimin yaitu “saling memaafkan pada perkara yang mereka perselisihkan”.
2. Sururiyah memiliki satu pemikiran dengan Hasan al Banna dan Sayyid Quthub dalam masalah mengkafirkan golongan lain dan pemerintahan muslim.
3. Sururiyah satu ide dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah demonstrasi, mobilisasi dan selebaran-selebaran.
4. Sururiyah sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah pembinaan revolusi dalam rangka kudeta.
5. Sururiyah sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam hal tanzhim (aturan) dan sistem kepemimpinan yang mengkerucut (seperti piramid). Namanya berbeda, tapi hakikatnya satu.
6. Sururiyah sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah politik dan tenggelam dalam politik. Sehingga fatwa-fatwa mereka dibangun diatas dasar pertimbangan politik.
Apa yang bisa dimanfaatkan dari gerakan ini? Mereka berdalil dengan prinsip-prinsip Ikhwanul Muslimin dan mereka tidak bisa mengambil dalil-dalil syar’i. Dalam perang Afghanistan (melawan Russia, red), mereka meninggalkan Syaikh Jamilur Rahman. Padahal beliau seorang muwahid dan memerangi bid’ah. Namun disebabkan politik kebid’ahan yang ada pada mereka, maka merekapun menahan hukum syariat (tidak ditegakkan, red). Mereka meninggalkan ahli tauhid dan tidak mau bekerjasama dengan ahli tauhid. Akan tetapi mereka tegak bersama ahli bid’ah, sementara Islam mewajibkan mereka untuk bekerjasama dengan ahli tauhid. Dan mereka tidak melakukannya.
Sururiyah yang ditokohi oleh Salman Al Audah dan Safar Hawali semuanya bekerjasama dengan kalangan sufi dan asy’ari seperti Hikmatiyar, Rabbani dan Syah Mahmud. Setelah ketiganya berselisih dan berpecah-belah, mereka menggandeng Hikmatiyar dan Abdur Rabb Ar Rasul Sayyaf karena mereka termasuk golongan Ikhwanul Muslimin dan tidak terpengaruh oleh buku-buku Sayyid Quthub.
Perlu diketahui bahwa Hikmatiyar ini pernah meminta bantuan kepada orang-orang komunis dan ini berlawanan dengan prinsip Sururiyah yang melarang meminta bantuan kepada orang-orang kafir. Namun karena alasan politis mereka membolehkan hal ini!
Ketika Hikmatiyar jatuh dan pemerintahan dipegang orang-orang Taliban, maka Sururiyah memandang negeri ini tidak bermanfaat, lalu mereka memalingkan perhatiannya ke arah lain dan tidak memuji negara yang dikuasai orang-orang Taliban. Sekarang orang-orang Sururi memfokuskan perhatiannya kepada negara Chechnya yang sedang diserang orang-orang kafir (Rusia, red) – semoga ALLAH menolong para mujahidin dan kaum muslimin disana.
Demikianlah jalan dakwah mereka selalu diwarnai politik. Metode berpolitik ini mereka adopsi dari Hasan Al Banna. Al Banna, kita tahu, selalu menyikapi dalil-dalil syar’I secara politis. Walhasil, dia membiarkan ahli maksiat dan orang-orang fasik dan menyatukan mereka ke dalam satu golongan (partai) dalam rangka merealisasikan konsepnya. Ia mendiamkan ahli maksiat dan orang-orang fasik agar tercipta kondisi yang stabil dan mengokohkan golongannya.
Demikian juga muammalah mereka bersama para saudagar dan orang-orang kaya dengan cara “mendompleng” mereka dalam rangka mengumpulkan dana. Tanpa dana mereka tidak dapat berbuat apa-apa dalam menjalankan roda dakwah sebagaimana Ikhwanul Muslimin dakwahnya tergantung sekali dengan dana.
[Ditulis oleh Syaikh Ayyid asy Syamari, pengajar di Makkah al Mukaramah, dalam rangka menjawab pertanyaan sebagian jama’ah Ahlusunnah wal Jama’ah asal Belanda tentang perbedaan Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyah, Sururiyah dan Yayasan Ihya ut Turats. Penerbit Maktabah As-Sahab 2003. Judul asli Turkah Hasan Al Banna wa Ahammul Waritsin. Penerjemah. Ustadz Ahmad Hamdani Ibnul Muslim]

Sinkretisme Agama

10 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsari

Sesungguhnya agama Islam dengan aqidah, ibadah, hukum dan seluruh syariatnya adalah aturan yang telah sempurna, tidak butuh kepada yang selainnya. Karena itu, seorang muslim haruslah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya rujukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu. Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)

Islam dengan seluruh syariatnya telah terproteksi dari segala bentuk kebatilan, kesesatan, kekufuran, kesyirikan, dan kerusakan lainnya. Islam dengan seluruh syariatnya datang penolakan yang tegas terhadap seluruh ideologi yang bertolak belakang dan yang bukan berasal darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلاَمُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “(Ini adalah) pemberitaan dari Allah bahwa tidak ada din yang akan diterima di sisi-Nya dari seorang pun selain Islam.” (Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim, 1/389)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Yakni barangsiapa yang menempuh jalan selain apa yang telah Allah syariatkan, maka Dia tidak akan pernah menerimanya. (Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim, 1/410)

Islam adalah din yang diwajibkan bagi seluruh manusia. Adanya umat-umat yang kafir terhadap dinul Islam tidaklah berarti Islam tidak diwajibkan atas mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka beriman kepada Allah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan itu semua, maka mereka terjaga dariku darah dan hartanya kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka atas Allah.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dari Ibnu ‘Umar. Lihat Raf’ul Litsam, hal. 80)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberi Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29)

Para pembaca, semua ini menunjukkan tentang batilnya seruan-seruan yang mencoba untuk mengaburkan kemuliaan Islam dan melenyapkan cahaya ketinggiannya, seperti pendekatan agama Islam dengan agama-agama lain dengan mencari titik kesamaan dan melupakan perbedaan-perbedaannya. Menyerukan bahwa semua agama sama dan semua manusia mendapatkan kebebasan beragama. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari siapa saja yang menghendaki agama selain agama yang telah Allah turunkan dengannya Al-Kitab dan yang Allah utus dengannya para rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nyalah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” (Ali ‘Imran: 83)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafiq itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini Yahudi ataupun Nashrani yang mendengar tentang aku kemudian mati dan tidak beriman dengan apa yang aku telah diutus dengannya, kecuali dia tergolong dari penghuni neraka.” (HR. Muslim, 2/186 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Sejarah Munculnya Seruan Penyatuan Agama

Penyatuan agama atau yang populer disebut dengan “Teologi Pluralis” –yaitu menyatukan antara Islam dengan agama-agama lainnya seperti Yahudi dan Nashrani dan seluruh ajaran-ajaran menyimpang lainnya– adalah makar terbesar terhadap Islam dan muslimin, di mana seluruh musuh-musuh Islam berserikat dalam satu kalimat: “benci Islam dan muslimin.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerangkan dalam kitab-Nya bahwa Yahudi dan Nashrani tengah bekerja keras untuk menyesatkan kaum muslimin dari keislamannya dan mengembalikan mereka kepada kekufuran serta mengajak kaum muslimin untuk menjadi Yahudi atau Nashrani. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekufuran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 109)

وَقَالُوْا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ كَانَ هُوْدًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ

“Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata: ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nashrani.’ Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”(Al-Baqarah: 111)

وَقَالُوْا كُوْنُوْا هُوْدًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوْا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Dan mereka berkata: Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nashrani, niscaya kamu mendapat petunjuk. Katakanlah: Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan dia (Ibrahim) bukanlah termasuk dari golongan orang musyrik.” (Al-Baqarah: 135)

Maka seruan ini sebenarnya telah ada pada masa Nabi, meski ambisi untuk itu teredam hingga berakhirnya periode generasi terbaik.

Kemudian setelah itu, mereka muncul kembali dengan membuat slogan baru, menipu orang-orang bodoh. Slogan mereka yaitu bahwa agama-agama seperti Yahudi, Nashrani, dan Islam, ibaratnya seperti keberadaan empat madzhab fiqih di tengah-tengah kaum muslimin, semua jalan pada hakekatnya menuju Allah. Slogan ini ternyata disambut baik oleh kelompok wihdatul wujud, Al-Ittihadiyyah, Al-Hululiyyah, dan yang menisbatkan diri mereka kepada Islam dari kalangan mulhid ahli tasawwuf di Mesir, di Syam, Persia dan negara-negara besar di selain jazirah Arab.

Demikian pula seruan dan slogan ini disambut baik oleh kelompok ekstrim Rafidhah dan yang lainnya, sampai-sampai sebagian mereka ada yang membolehkan untuk menjadi seorang Yahudi atau Nashrani. Bahkan ada pula di antara mereka yang cenderung lebih mengunggulkan agama Yahudi dan Nashrani daripada Islam. Hal ini tersebar pada sebagian mereka yang telah banyak terpengaruh filsafat.

Pada pertengahan pertama abad empat belas hijriyah, mulailah seruan penyatuan agama itu dikumandangkan, setelah sekian lama mengakar di dada para penyokongnya yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dan kesesatan. Lahirlah gerakan sebuah organisasi yang disebut dengan Freemasonry, yakni sebuah organisasi Yahudi yang mengusung slogan Liberty, Egality, dan Fraternity (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), dan mempropagandakan persaudaraan universal tanpa memandang etnis, bangsa, dan agama. Organisasi itu muncul di bawah “baju” seruan penyatuan tiga agama (Yahudi, Nashrani, dan Islam), mengikis belenggu “fanatik” dengan menyamakan keimanan kepada Allah, maka semuanya adalah mukmin. Tercatat sebagai orang yang ikut terlibat menyebarkan seruan ini adalah Jamaluddin bin Shafdar Al-Afghani pada tahun 1314 H di Turki dan juga diikuti oleh muridnya yang sangat gigih di dalam menyuarakan seruan ini yaitu Muhammad ‘Abduh bin Hasan At-Turkumani pada tahun 1323 H di Iskandariyah (Mesir). (Shahwatur Rajulil Maridh, hal. 340, Jamaluddin Al-Afghani fil Mizan, diambil dari Al-Ibthal linazhariyatil Khalath baina Dinil Islam wa Ghairihi minal Adyan, hal. 6)

Sejak permulaan abad ke-14 H itulah hingga sekarang di bawah naungan “undang-undang dunia baru”, orang-orang Yahudi dan Nashrani terus terang-terangan dalam menyuarakan penyatuan agama baik di kalangan mereka sendiri maupun di tengah-tengah kaum muslimin dengan menyelenggarakan seminar-seminar, pertemuan-pertemuan ataupun dialog terbuka antar agama dan lain sebagainya. Maka muncullah sejumlah nama dan slogan-slogan seperti “pendekatan antar agama”, “menghapus fanatik beragama”, “persaudaraan Islam-Kristen”, “penyatuan agama”, “kesatuan agama Tuhan”, “agama-agama dunia”, atau dengan menghilangkan kata agama, seperti kebebasan, persaudaraan, kesamaan atau keselamatan, kasih sayang dan kemanusiaan, dan seterusnya… (Al-Ibthal linazhariyatil Khalath baina Dinil Islam wa Ghairihi minal Adyan, hal. 7)

Para pembaca, demikianlah seruan syaithaniyyah ini terus digulirkan dari masa ke masa. Meskipun berbeda-beda dan berganti-ganti nama serta slogan, namun tujuannya sama, yaitu menghendaki agar kaum muslimin murtad dari agamanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوْا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَْالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217)

مَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ الْمُشْرِكِيْنَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ

“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.” (Al-Baqarah: 105)

وَدُّوْا لَوْ تَكْفُرُوْنَ كَمَا كَفَرُوْا فَتَكُوْنُوْنَ سَوَاءً

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (An-Nisa: 89)

إِنَّ الْكَافِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِيْنًا

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (An-Nisa: 101)

Bahaya Penyatuan Agama

Penyatuan agama dengan segala bentuknya adalah musibah paling besar yang menimpa kaum muslimin dewasa ini. Ini adalah kekufuran nomor wahid: memandang sama antara Islam dan kafir, hak dan batil, hidayah dan kesesatan, kebaikan dan kemungkaran, sunnah dan bid’ah, serta ketaatan dan kemaksiatan. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوْهُ شَاهِدٌ مِنْهُ وَمِنْ قَبْلِهِ كِتَابُ مُوْسَى إِمَامًا وَرَحْمَةً أُولَئِكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ مِنَ اْلأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ

“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al Qur’an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Qur’an itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al Qur’an. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur’an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya.(Hud: 17)

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُوْنَ. اتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللَّهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’, dan orang Nashrani berkata: ‘Al-Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknati mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alim mereka, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 30-31)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْ إِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ إِذْ قَالُوْا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوْا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kamu, untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)

Dampak Teologi Pluralis bagi Kaum Muslimin

Dampak teologi pluralis ini sangatlah berbahaya bagi kaum muslimin baik terhadap agama maupun dunianya. Di antara bahaya-bahayanya adalah:
Pertama: membuat kekacauan atas Islam, meresahkan kaum muslimin dan menciptakan gelombang syubhat dan syahwat dengan tujuan agar kaum muslimin hidup di antara jiwa yang sadar dan tidak.

Kedua: memasukkan rumusan, teori-teori ke dalam Islam yang bertujuan menghujat Islam dan melemahkannya, merendahkan muslimin serta melepaskan keimanan dari hati mereka.

Ketiga: memudarkan ikatan persaudaraan Islam di seluruh penjuru dunia dengan tujuan memperkokoh persaudaraan dengan Yahudi dan Nashrani.

Keempat: membungkam lisan dan pena kaum muslimin dari mengkafirkan Yahudi dan Nashrani dan selain mereka yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Kelima: menggugurkan hukum-hukum Islam yang wajib ditegakkan terhadap orang Yahudi, Nashrani, dan agama-agama lain yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Keenam: meninggalkan jihad yang merupakan puncak ketinggian Islam dan menghilangkan wajibnya jizyah (semacam pajak) kepada orang-orang kafir yang tidak mau masuk Islam.

Ketujuh: meruntuhkan kaidah Islam al-wala wal-bara, cinta dan benci karena Allah, yang mengakibatkan hancurnya sekat bara’ah (berlepas diri) kaum muslimin dari orang-orang kafir, mendekatkan loyalitas kepada orang-orang kafir, mencintai dan berteman dengan mereka.

Kedelapan: mengubur pemikiran ‘permusuhan karena agama’ di bawah baju ‘Teologi Pluralis’ dan menghapuskan dunia Islam dari agamanya serta membuang syariat Islam (Al Qur’an dan As Sunnah) dari kehidupan.

Kesembilan: menjatuhkan ketinggian dan kelebihan Islam , menjadikan kedudukan Islam -yang terpelihara dari penyelewengan dan perubahan- sama dengan semua ajaran dan agama yang dipenuhi penyimpangan dan telah dihapus oleh Allah.

Kesepuluh: mengembangkan sayap kekufuran Yahudi, Nashrani, dan komunis ke seluruh penjuru dunia. (Al-Ibthal linazhariyatil Khalath baina Dinil Islam wa Ghairihi minal Adyan, hal. 12-14)

Oleh karena itu, seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulnya, tidak boleh menyambut seruan ini, tidak boleh pula terlibat dalam perkumpulan-perkumpulannya atau seminar-seminarnya. Bahkan harus menolaknya, memperingatkan dari bahayanya, mencelanya dan mengusirnya dari lingkungan-lingkungan muslimin. Sebab seruan ini adalah seruan yang bid’ah, sesat, dan kufur, mengajak untuk murtad secara sempurna dari Islam, bertolak belakang dengan prinsip-prinsip aqidah, melanggar kehormatan para rasul dan risalahnya, menolak kebenaran Al Qur’an, menolak bahwa Islam sebagai penghapus syariat-syariat sebelumnya. Seruan ini adalah seruan yang tertolak secara syariat, diharamkan secara pasti dengan seluruh dalil-dalil dari Al-Kitab dan As Sunnah serta ijma’ (kesepakatan ulama). Oleh karena itu, bila seruan ini muncul dari seorang muslim, maka ini adalah kemurtadan yang nampak dan kekufuran yang terang-terangan.” (Al-Ibthal li nazhariyatil Khalath, hal. 15)

Mengingat bahayanya seruan ini terhadap Islam dan muslimin, maka para ulama dari Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta yang diketuai ketika itu oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah mengeluarkan fatwa yang berkenaan dengan hal tersebut. Inilah (terjemahan) naskah fatwanya:
“Sesungguhnya seruan kepada penyatuan agama, jika dilakukan oleh seorang muslim maka hal itu berarti kemurtadan yang nyata dari Islam, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah, meridhai kekufuran kepada Allah, menolak kebenaran Al Qur’an dan menolak fungsinya sebagai penghapus seluruh kitab sebelumnya, dan menolak Islam sebagai penghapus seluruh syariat dan agama sebelumnya. Berdasarkan hal itu, maka pemikiran tersebut tertolak secara syariat, dan haram secara pasti dengan seluruh dalil-dalil syar’i dari Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’.” (Raf’ul Litsam, hal. 76)
Wallahu a’lam.

Sumber Website: http://asysyariah.com/print.php?id_online=191

Khawarij Kelompok Sesat Pertama Dalam Islam

10 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc.

Laa hukma illa lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah ). Kata-kata ini haq adanya, karena merupakan kandungan ayat yang mulia. Namun jika kemudian ditafsirkan menyimpang dari pemahaman salafush shalih, kebatilanlah yang kemudian muncul. Bertamengkan kata-kata inilah, Khawarij, kelompok sempalan pertama dalam Islam, dengan mudahnya mengkafirkan bahkan menumpahkan darah kaum muslimin.

Siapakah Khawarij?

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Mereka adalah orang-orang yang memberontak terhadap pemerintah di akhir masa kepemimpinan ‘Utsman bin ‘Affan z yang mengakibatkan terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan z. Kemudian di masa kepemimpinan ‘Ali bin Abu Thalib z, keadaan mereka semakin buruk. Mereka keluar dari ketaatan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib z, mengkafirkannya, dan mengkafirkan para shahabat. Ini disebabkan para shahabat tidak menyetujui madzhab mereka. Dan mereka menghukumi siapa saja yang menyelisihi madzhab mereka dengan hukuman kafir. Akhirnya mereka pun mengkafirkan makhluk-makhluk pilihan yaitu para shahabat Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31)

Cikal bakal mereka telah ada sejak jaman Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam. Diriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z, ia berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam dan beliau sedang membagi-bagi (harta), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim, kepada beliau. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam pun bersabda: “Celakalah engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil.”

Maka ‘Umar bin Al-Khaththab z berkata: “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam berkata: “Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian merasa bahwa shalat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat dan puasa mereka, mereka selalu membaca Al Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan mereka1, mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah2, dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat rishaf-nya (tempat masuknya nashl pada anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat nadhiy-nya (batang anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada pada anak panah) maka tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah (hewan buruan itu). Ciri-cirinya, (di tengah-tengah mereka) ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payudara wanita atau seperti potongan daging yang bergoyang-goyang, mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin.”

Abu Sa’id Al-Khudri zberkata: “Aku bersaksi bahwa aku mendengarnya dari Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam dan aku bersaksi pula bahwa ‘Ali bin Abu Thalib z yang memerangi mereka dan aku bersamanya. Maka ‘Ali z memerintahkan untuk mencari seorang laki-laki (yang disifati oleh Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam, di antara mayat-mayat mereka) dan ditemukanlah ia lalu dibawa (ke hadapan ‘Ali), dan aku benar-benar melihatnya sesuai dengan ciri-ciri yang disifati oleh Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam.” (Shahih, HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabuz Zakat, bab Dzikrul Khawarij wa Shifaatihim, 2/744)

Asy-Syihristani t berkata: “Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan Khariji (seorang Khawarij), baik keluarnya di masa shahabat terhadap Al-Khulafa Ar-Rasyidin atau terhadap pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.” (Al-Milal wan Nihal, hal. 114)

Mengapa Disebut Khawarij?3

Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Dinamakan Khawarij dikarenakan keluarnya mereka dari jamaah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam:

“Akan keluar dari diri orang ini…” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t berkata: “Dinamakan dengan itu (Khawarij) dikarenakan keluarnya mereka dari din (agama) dan keluarnya mereka dari ketaatan terhadap orang-orang terbaik dari kaum muslimin.” (Fathul Bari Bisyarhi Shahihil Bukhari, 12/296)

Mereka juga biasa disebut dengan Al-Haruriyyah karena mereka (dahulu) tinggal di Harura yaitu sebuah daerah di Iraq dekat kota Kufah, dan menjadikannya sebagai markas dalam memerangi Ahlul ‘Adl (para shahabat Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam). (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145)

Disebut pula dengan Al-Maariqah (yang keluar), karena banyaknya hadits-hadits yang menjelaskan tentang muruq-nya (keluarnya) mereka dari din (agama). Disebut pula dengan Al-Muhakkimah, karena mereka selalu mengulang kata-kata Laa Hukma Illa Lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah ), suatu kalimat yang haq namun dimaukan dengannya kebatilan. Disebut pula dengan An-Nawashib, dikarenakan berlebihannya mereka dalam menyatakan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib z. (Firaq Mu’ashirah, 1/68-69, Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji, secara ringkas)

Bagaimanakah Madzhab Mereka?

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, madzhab mereka adalah tidak berpegang dengan As Sunnah wal Jamaah, tidak mentaati pemimpin (pemerintah kaum muslimin, pen), berkeyakinan bahwa memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin merupakan bagian dari agama. Hal ini menyelisihi apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalamagar senantiasa mentaati pemerintah (dalam hal yang ma’ruf/ yang tidak bertentangan dengan syariat), dan menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)

Allah dan Nabi-Nya sholallohu ‘alaihi wassalam menjadikan ketaatan kepada pemimpin sebagai bagian dari agama… Mereka (Khawarij) menyatakan bahwa pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) telah kafir, tidak diampuni dosa-dosanya, kekal di neraka. Dan ini bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Al Qur’an). (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31-33)

Al-Hafidz Ibnu Hajar tberkata: “Mereka berkeyakinan atas kafirnya ‘Utsman bin ‘Affan z dan orang-orang yang bersamanya. Mereka juga berkeyakinan sahnya kepemimpinan ‘Ali z(sebelum kemudian dikafirkan oleh mereka, pen) dan kafirnya orang-orang yang memerangi ‘Ali dari Ahlul Jamal.”4 (Fathul Bari, 12/296)

Al-Hafidz t juga berkata: “Kemudian mereka berpendapat bahwa siapa saja yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka, maka ia kafir, halal darah, harta dan keluarganya.” (Fathul Bari, 12/297)

Peperangan antara Khawarij dan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib

Setelah Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan terbunuh, maka orang-orang Khawarij ini bergabung dengan pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib. Dalam setiap pertempuran pun mereka selalu bersamanya. Ketika terjadi pertempuran Shiffin (tahun 38 H) antara pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib dengan pasukan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan dari penduduk Syam yang terjadi selama berbulan-bulan -dikarenakan ijtihad mereka masing-masing-, ditempuhlah proses tahkim (pengiriman seorang utusan dari kedua pihak guna membicarakan solusi terbaik bagi masalah yang sedang mereka alami).
Orang-orang Khawarij tidak menyetujuinya, dengan alasan bahwa hukum itu hanya milik Allah dan tidak boleh berhukum kepada manusia. Demikian pula tatkala dalam naskah ajakan tahkim dari ‘Ali bin Abu Thalib termaktub: “Inilah yang diputuskan oleh Amirul Mukminin ‘Ali atas Mu’awiyah…” lalu penduduk Syam tidak setuju dengan mengatakan, “Tulislah namanya dan nama ayahnya,” (tanpa ada penyebutan Amirul Mukminin). ‘Ali pun menyetujuinya, namun orang-orang Khawarij pun mengingkari persetujuan itu.

Setelah disepakati utusan masing-masing pihak yaitu Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak ‘Ali dan ‘Amr bin Al-‘Ash dari pihak Mu’awiyah, dan disepakati pula waktu dan tempatnya (Dumatul Jandal), maka berpisahlah dua pasukan tersebut. Mu’awiyah kembali ke Syam dan ‘Ali kembali ke Kufah, sedangkan kelompok Khawarij dengan jumlah 8.000 orang atau lebih dari 10.000 orang, atau 6.000 orang, memisahkan diri dari ‘Ali dan bermarkas di daerah Harura yang tidak jauh dari Kufah.

Pimpinan mereka saat itu adalah Abdullah bin Kawwa’ Al-Yasykuri dan Syabats At-Tamimi. Maka ‘Ali  mengutus shahabat Abdullah bin ‘Abbas c untuk berdialog dengan mereka dan banyak dari mereka yang rujuk. Lalu ‘Ali keluar menemui mereka, maka mereka pun akhirnya menaati ‘Ali , dan ikut bersamanya ke Kufah, bersama dua orang pimpinan mereka. Kemudian mereka membuat isu bahwa ‘Ali telah bertaubat dari masalah tahkim, karena itulah mereka kembali bersamanya. Sampailah isu ini kepada ‘Ali , lalu ia berkhutbah dan mengingkarinya. Maka mereka pun saling berteriak dari bagian samping masjid (dengan mengatakan): “Tiada hukum kecuali untuk Allah.” ‘Ali pun menjawab: “Kalimat yang haq (benar) namun yang dimaukan dengannya adalah kebatilan!”

Kemudian ‘Ali berkata kepada mereka: “Hak kalian yang harus kami penuhi ada tiga: Kami tidak akan melarang kalian masuk masjid, tidak akan melarang kalian dari rizki fai’, dan tidak akan pula memulai penyerangan selama kalian tidak berbuat kerusakan.”

Secara berangsur-angsur pengikut Khawarij akhirnya keluar dari Kufah dan berkumpul di daerah Al-Madain. ‘Ali senantiasa mengirim utusan agar mereka rujuk. Namun mereka tetap bersikeras menolaknya hingga ‘Ali mau bersaksi atas kekafiran dirinya dikarenakan masalah tahkim atau bertaubat. Lalu ‘Ali mengirim utusan lagi (untuk mengingatkan mereka) namun justru utusan tersebut hendak mereka bunuh dan mereka bersepakat bahwa yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka maka dia kafir, halal darah dan keluarganya.

Aksi mereka kemudian berlanjut dalam bentuk fisik, yaitu menghadang dan membunuh siapa saja dari kaum muslimin yang melewati daerah mereka. Ketika Abdullah bin Khabbab bin Al-Art -yang saat itu menjabat sebagai salah seorang gubernur ‘Ali bin Abu Thalib – berjalan melewati daerah kekuasaan Khawarij bersama budak wanitanya yang tengah hamil, maka mereka membunuhnya dan merobek perut budak wanitanya untuk mengeluarkan anak dari perutnya.

Sampailah berita ini kepada ‘Ali , maka ia pun keluar untuk memerangi mereka bersama pasukan yang sebelumnya dipersiapkan ke Syam. Dan akhirnya mereka berhasil ditumpas di daerah Nahrawan beserta para gembong mereka seperti Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi, Zaid bin Hishn At-Tha’i, dan Harqush bin Zuhair As-Sa’di. Tidak selamat dari mereka kecuali kurang dari 10 orang dan tidaklah terbunuh dari pasukan ‘Ali kecuali sekitar 10 orang.

Sisa-sisa Khawarij ini akhirnya bergabung dengan simpatisan madzhab mereka dan sembunyi-sembunyi semasa kepemimpinan ‘Ali, hingga salah seorang dari mereka yang bernama Abdurrahman bin Muljim berhasil membunuh ‘Ali yang saat itu sedang melakukan shalat Shubuh. (diringkas dari Fathul Bari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t, 12/296-298, dengan beberapa tambahan dari Al-Bidayah wan Nihayah, karya Al-Hafidz Ibnu Katsir, 7/281)

Kafirkah Khawarij?

Kafirnya Khawarij masih diperselisihkan di kalangan ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar t berkata: “Sebagian besar ahli ushul dari Ahlus Sunnah berpendapat bahwasanya Khawarij adalah orang-orang fasiq, dan hukum Islam berlaku bagi mereka. Hal ini dikarenakan mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan selalu melaksanakan rukun-rukun Islam. Mereka dihukumi fasiq, karena pengkafiran mereka terhadap kaum muslimin berdasarkan takwil (penafsiran) yang salah, yang akhirnya menjerumuskan mereka kepada keyakinan akan halalnya darah, dan harta orang-orang yang bertentangan dengan mereka, serta persaksian atas mereka dengan kekufuran dan kesyirikan.” (Fathul Bari, 12/314)

Al-Imam Al-Khaththabi t berkata: “Ulama kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya Khawarij dengan segala kesesatannya tergolong firqah dari firqah-firqah muslimin, boleh menikahi mereka, dan memakan sembelihan mereka, dan mereka tidak dikafirkan selama masih berpegang dengan pokok keislaman.” (Fathul Bari, 12/314)

Al-Imam Ibnu Baththal t berkata: “Jumhur ulama berpendapat bahwasanya Khawarij tidak keluar dari kumpulan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 12/314)

Sebab-sebab yang Mengantarkan Khawarij kepada Kesesatan

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Yang demikian itu disebabkan kebodohan mereka tentang agama Islam, bersamaan dengan wara’, ibadah dan kesungguhan mereka. Namun tatkala semua itu (wara’, ibadah, dan kesungguhan) tidak berdasarkan ilmu yang benar, akhirnya menjadi bencana bagi mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 35)

Demikan pula, mereka enggan untuk mengambil pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih) dalam memahami masalah-masalah din ini, sehingga terjerumuslah mereka ke dalam kesesatan.

Anjuran Memerangi Mereka5

Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Maka jika kalian mendapati mereka (Khawarij-pen), perangilah mereka! Karena sesunggguhnya orang-orang yang memerangi mereka akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/747, dari shahabat ‘Ali bin Abu Thalib z).

Beliau sholallohu ‘alaihi wassalam juga bersabda:

“Jika aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum ‘Aad.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)

Dalam lafadz yang lain beliau sholallohu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Jika aku mendapati mereka, benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum Tsamud.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)

Al-Imam Ibnu Hubairah berkata: “Memerangi Khawarij lebih utama dari memerangi orang-orang musyrikin. Hikmahnya, memerangi mereka merupakan penjagaan terhadap ‘modal’ Islam (kemurnian Islam -pen), sedangkan memerangi orang-orang musyrikin merupakan ‘pencarian laba’, dan penjagaan modal tentu lebih utama.” (Fathul Bari, 12/315)

Samakah Musuh-musuh ‘Ali bin Abu Thalib dalam Perang Jamal dan Shiffin dengan Khawarij?

Pendapat yang menyatakan bahwa musuh-musuh ‘Ali bin Abu Thalib z sama dengan Khawarij ini tentunya tidak benar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Adapun jumhur ahli ilmu, mereka membedakan antara orang-orang Khawarij dengan Ahlul Jamal dan Shiffin, serta selain mereka yang terhitung sebagai penentang dengan berdasarkan ijtihad. Inilah yang ma’ruf dari para shahabat, keseluruhan ahlul hadits, fuqaha, dan mutakallimin. Di atas pemahaman inilah, nash-nash mayoritas para imam dan pengikut mereka dari murid-murid Malik, Asy-Syafi’i, dan selain mereka.” (Majmu’ Fatawa, 35/54)

Nasehat dan Peringatan

Madzhab Khawarij ini sesungguhnya terus berkembang (di dalam merusak aqidah umat) seiring dengan bergulirnya waktu. Oleh karena itu Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menasehatkan: “Wajib bagi kaum muslimin di setiap masa, jika terbukti telah mendapati madzhab yang jahat ini untuk mengatasinya dengan dakwah dan penjelasan kepada umat tentangnya. Jika mereka (Khawarij) tidak mengindahkannya, hendaknya kaum muslimin memerangi mereka dalam rangka membentengi umat dari kesesatan mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 37)
Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber Website: http://asysyariah.com/print.php?id_online=138

Membongkar Kesesatan Syiah

10 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc.

Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.

Apa Itu Syi’ah?

Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji)

Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm)

Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani)

Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.

Rafidhah , diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna , meninggalkan (Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan ‘Umar c, berlepas diri dari keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat Nabi sholallohu ‘alaihi wassalam. (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah Al-Jumaili)

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar’.” (Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)

Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)

Asy-Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari berkata: “Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar, dan memandang bolehnya memberontak1 terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:

“Kalian tinggalkan aku?” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).

Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah.

Rafidhah ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna ‘Asyariyyah.

Siapakah Pencetusnya?

Pencetus pertama bagi faham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan.2

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)

Sesatkah Syi’ah Rafidhah ?

Berikut ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.

a. Tentang Al Qur’an

Di dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad  (ada) 17.000 ayat.”

Di dalam Juz 1, hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ‘Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al Qur’an kalian…’.”
(Dinukil dari kitab Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir).

Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.

b. Tentang shahabat Rasulullah

Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89)

Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir)

Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 46)

Adapun shahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do’a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya:

Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…(yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah)
(Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib)

Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ Al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Dan hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka ria. (Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18)

Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam lainnya, mereka yakini sebagai pelacur -na’udzu billah min dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan shahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah: “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah…” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin Al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hal. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)

Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, Al-Imam Malik bin Anas berkata: “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi sholallohu ‘alaihi wassalam namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para shahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wassalam ) adalah seorang yang jahat, karena kalau memang ia orang shalih, niscaya para shahabatnya adalah orang-orang shalih.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul, hal. 580)

c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat)

Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata: “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata: “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)

Imamah ini (menurut mereka -red) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam. Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr, ‘Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 16-17)

Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi, sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.

d. Tentang Taqiyyah

Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 80)

Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A’jami: “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196). Oleh karena itu Al-Imam Malik ketika ditanya tentang mereka beliau berkata: “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.” Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi)

e. Tentang Raj’ah

Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85, berkata: “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah, kemudian menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)

f. Tentang Al-Bada’

Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada’ ini terjadi pada Allah . Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.

Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam, dan lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 192)

Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah

Asy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.

1. Al-Imam ‘Amir Asy-Sya’bi berkata: “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)

2. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar, beliau berkata: “Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata: “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)

3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i, telah disebut di atas.

4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal)

5. Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125)

6. Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan Al Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah.” (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi)

Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran…Amin.

Sumber Website: http://asysyariah.com/print.php?id_online=142

Mewaspadai Sufi

10 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc

Sejarah Munculnya Tasawuf dan Sufi

Tasawuf (تَصَوُّف) diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Pelakunya disebut Shufi (selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, red) (صُوْفِيٌّ), dan jamaknya adalah Sufiyyah (صُوْفِيَّةٌ). Istilah ini sesungguhnya tidak masyhur di jaman Rasulullah , shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Adapun lafadz Sufiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 11/5)

Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan tempat kelahiran Tasawuf dan Sufi. Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah ), hingga akhirnya memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuf/صُوْفٌ ).

Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuf (صُوْفٌ). Jadi, lafadz Sufi bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di jaman Rasulullah , karena nisbat kepadanya adalah Shuffi (صُفِّيٌ). Bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah , karena nisbat kepadanya adalah Shaffi (صَفِّيٌ).

Demikian juga bukan nisbat kepada makhluk pilihan Allah
الصَّفْوَةُ مِنْ خَلْقِ اللهِ
karena nisbat adalah Shafawi ز(صَفَوِيٌّ) . Dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab) meski secara lafadz bisa dibenarkan. Namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.

Para ulama Bashrah yang mengalami masa kemunculan kelompok sufi, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana diriwayatkan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Maka beliau berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al-Masih bin Maryam! Maka petunjuk Nabi kita lebih kita cintai, beliau  biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun, dan yang selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 5, 6, 16)

Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Demikianlah munculnya jahiliah Tasawuf, dan dari kota inilah (Bashrah) ia tersebar.” (At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah, hal. 5)

Siapakah Peletak Ilmu Tasawuf?

Ibnu ‘Ajibah, seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwa peletak ilmu Tasawuf adalah Rasulullah shalallohu’alaihi wassalam sendiri. Beliau shalallohu’alaihi wassalam, menurut Ibnu ‘Ajibah, mendapatkannya dari Allah melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang hal ini dengan sekian banyak bumbu keanehan dan kedustaan, yaitu: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah shalallohu’alaihi wassalam dengan membawa ilmu syariat. Dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau shalallohu’alaihi wassalam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khusus saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah ‘Ali bin Abi Thalib  dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal. 5 dinukil dari At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8)

Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah shalallohu’alaihi wassalam. Dengan kedustaan, ia telah menuduh bahwa beliau shalallohu’alaihi wassalam menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu. Karena Allah telah perintahkan Rasul-Nya shalallohu’alaihi wassalam untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya :

يَآءَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآ أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِن رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه

“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu. Dan jika engkau tidak melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah: 67)

Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah). Dan benar-benar ‘Ali bin Abi Thalib sendiri yang membantahnya, sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah . Ia berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi ‘Ali bin Abi Thalib . Maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: ‘Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi shalallohu’alaihi wassalamkepadamu?’ Maka Ali pun marah lalu mengatakan: ‘Nabi shalallohu’alaihi wassalam belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia! Hanya saja beliau shalallohu’alaihi wassalam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara.’ Abu Thufail berkata: ‘Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin?’ Beliau menjawab: ‘Rasulullah shalallohu’alaihi wassalam bersabda: “(Artinya) Allah melaknat seseorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah’.” (At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah, hal. 7-8)

Hakikat Tasawuf

Dari bahasan di atas, Tasawuf jelas bukan ajaran Rasulullah  dan bukan pula ilmu warisan dari ‘Ali bin Abi Thalib . Lalu dari manakah ajaran Tasawuf ini?
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Ketika kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad shalallohu’alaihi wassalam, dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tasawuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28)

Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah di dalam memerangi Allah dan Rasul-Nya shalallohu’alaihi wassalam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)2

Keterangan para ulama di atas menunjukkan bahwasanya ajaran Tasawuf bukanlah dari Islam. Bahkan ajaran ini merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.

Kesesatan-Kesesatan Ajaran Tasawuf

Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah:

1. Wihdatul Wujud, yakni keyakinan bahwa Allah menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah dapat menjelma dalam bentuk tertentu dari makhluk-Nya (inkarnasi).

Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600)

Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)

Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen) dari Nabi  bahwasanya beliau bersabda:

رَأَيْتُ رَبِّي فِي صُوْرَةِ شَابٍ

“Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.”

(Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)

Padahal Allah  telah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْئٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي …

“Berkatalah Musa: ‘Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.’ Allah berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku’…” (Al-A’raf: 143)

2. Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).1 Betapa kufurnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?

3. Keyakinan kafir bahwa Allah  adalah makhluk dan makhluk adalah Allah, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya

Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).2

Padahal Allah telah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ إِلاَّ آتِى الرَّحْمَنِ عَبْدًا

“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam: 93)

4. Keyakinan tidak ada bedanya antara agama-agama yang ada

Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).3

Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”4

Padahal Allah berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)

5. Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih

Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawi-perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi shalallohu’alaihi wassalam secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau shalallohu’alaihi wassalam mengingkarinya seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka diketahuilah, dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkannya berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).1

6. Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat. Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah. Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Mereka berdalil dengan firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat. Hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, 11/401)

Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: ‘Sesungguhnya Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian’, kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian’.”

Beliau melanjutkan: “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418)

7. Keyakinan bahwa ibadah kepada Allah itu bukan karena takut dari adzab Allah (an-naar/ neraka) dan bukan pula mengharap jannah Allah . Padahal Allah berfirman:

وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِيْنَ

“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (‘Ali Imran: 131)

وَسَارِعُوآ ِإلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ

“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (‘Ali Imran: 133)

8. Dzikirnya orang-orang awam adalah لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ , sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “الله / Allah”, “هُوَ / huwa”, dan “آه / aah” saja.

Padahal Rasulullah shalallohu’alaihi wassalam bersabda:

أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلَهِ إِلاَّ اللهُ

“Sebaik-baik dzikir adalah لا إله إلا الله .” (HR. At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah , dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1104).1

Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa لا إله إلا الله adalah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “هُوَ / Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al-‘Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)

9. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.

Allah dustakan mereka dalam firman-Nya :

قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ

“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)

10. Keyakinan bahwa Allah menciptakan Nabi Muhammad shalallohu’alaihi wassalam dari nur/ cahaya-Nya, dan Allah ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad shalallohu’alaihi wassalam.
Padahal Allah berfirman :

فُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ …

“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلآئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ

“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)

11. Keyakinan bahwa Allah menciptakan dunia ini karena Nabi Muhammad shalallohu’alaihi wassalam.

Padahal Allah berfirman : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah  menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan tersebut …

Keterkaitan Antara Sufi dengan Kelompok “JI”

Keterkaitan antara Sufi dengan kelompok “JI” (Jama’ah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin) sangatlah erat karena pendiri kelompok “JI” ini adalah seorang Sufi. Jama’ah Tabligh, didirikan oleh Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi seorang Sufi dari tarekat Jisytiyyah. Dan seiring bergulirnya waktu, Jama’ah Tabligh kemudian berbai’at di atas empat tarekat Sufi: Jisytiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah, dan Naqsyabandiyyah. (Lihat kitab Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, karya Asy-Syaikh Hasan Janahi, hal. 2, 12.)

Adapun Ikhwanul Muslimin, pendirinya adalah Hasan Al-Banna, seorang Sufi dari tarekat Hashafiyyah, sebagaimana yang ia katakan sendiri: “…Di Damanhur aku bergaul dengan kawan-kawan dari tarekat Hashafiyyah dan setiap malamnya aku selalu mengikuti acara hadhrah yang diadakan di Masjid At-Taubah…”

Ia juga berkata: “Terkadang kami berziarah ke daerah Azbah Nawam, karena di sana terdapat makam Asy-Syaikh Sayyid Sanjar, salah seorang dari tokoh tarekat Hashafiyyah.” (Mudzakkiratud Da’wah Wad Da’iyah, hal. 19, 23, dinukil dari kitab Fitnatut Takfir Wal Hakimiyah, karya Muhammad bin Abdullah Al-Husain, hal. 63-64)

Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber Website: http://asysyariah.com/print.php?id_online=155

Mu’tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal

10 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc

Sejarah Munculnya Mu’tazilah

Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48)

Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29)

Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65)

(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)

Mengapa Disebut Mu’tazilah?

Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.

Asy-Syihristani t berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”

Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “ اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.(Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 )

Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42)

Asas dan Landasan Mu’tazilah

Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun.
Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:

Landasan Pertama: At-Tauhid

Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).

Bantahan:

1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun dalil sam’i: bahwa Allah mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah berfirman:

إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٍ 0 إِنَّه هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ 0 وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ 0 ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ 0 فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ0

Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16)

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى0 الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى0 وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى0 وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى0 فَجَعَلَه غُثَآءً أَحْوَى

“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5)

Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “ (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)

2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab At- Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.79-81)

Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.

Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan)

Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah . Dalilnya adalah firman Allah :

وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)

وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)

Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.

Bantahan:

Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah :

فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

“Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)

Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315)

Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah  berfirman:

وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ

“Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.” (Ash-Shaaffaat: 96)

Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan sebagai kedok untuk mengingkari kehendak Allah yang merupakan bagian dari taqdir Allah. Atas dasar inilah mereka lebih pantas disebut dengan Qadariyyah, Majusiyyah, dan orang-orang yang zalim.

Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id

Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah I untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.

Bantahan:

1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang demikian itu kepada Allah, karena termasuk pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:

إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعادَ

“Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).” (Ali ‘Imran: 9)
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.

Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذاَلِكَ لِمَنْ يَشَآء

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).

2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari) (Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu (ed).)

Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan

Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).

Bantahan:

1.Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah:

وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا

“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)

Dan juga firman-Nya:

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ۰وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كَافِرُوْنَ

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)
Dan firman-Nya:

لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيْمًا

“Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.” (Al-Fath: 4)

وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلاَّ مَلاَئِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلاَّ فِتْنَةً لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوْا إِيْمَانًا وَلاَ يَرْتَابَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَلِيَقُوْلَ الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُوْنَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ إِلاَّ هُوَ وَمَا هِيَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْبَشَرِ

Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mu’min itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (Al-Muddatstsir: 31)

الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)…” (Al-Baqarah: 260)

Rasulullah bersabda: “Keimanan itu (mempunyai) enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah z)

2. Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَ إِنْ طَآءِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya…” (Al-Hujurat: 9)

Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.

Bantahan:

Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah berfirman:

يَآءَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)

Rasulullah r bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy–Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa]

Sesatkah Mu’tazilah?

Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti:

– Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.

– Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.

– Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.

– Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).

Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah)

Para pembaca, betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber Website: http://asysyariah.com/print.php?id_online=171

Kelompok Hizbut Tahrir dan Khilafah, Sorotan Ilmiah Tentang Selubung Sesat Suatu Gerakan

10 Januari 2011 2 komentar

Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.

Apa Itu Hizbut Tahrir?

Hizbut Tahrir (untuk selanjutnya disebut HT) telah memproklamirkan diri sebagai kelompok politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial (Mengenal HT, hal. 1). Atas dasar itulah, maka seluruh aktivitas yang dilakukan HT bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek pergolakan pemikiran dan dalam perjuangan politik. (Mengenal HT, hal. 16)

Adapun aktivitas dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia, sangatlah mereka abaikan. Bahkan dengan terang-terangan mereka nyatakan: “Demikian pula, dakwah kepada akhlak mulia tidak dapat menghasilkan kebangkitan…, dakwah kepada akhlak mulia bukan dakwah (yang dapat) menyelesaikan problematika utama kaum muslimin, yaitu menegakkan sistem khilafah.”(Strategi Dakwah HT, hal. 40-41). Padahal dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia merupakan misi utama para nabi dan rasul.
Allah k menegaskan:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah segala sesembahan selain-Nya’.” (An-Nahl: 36)
Rasulullah n juga menegaskan:

بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكاَرِمَ اْلأَخْلاَقِ

“Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang bagus.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Ahmad, dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 45)

Tujuan dan Latar Belakang

Mewujudkan kembali Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi, merupakan tujuan utama yang melatarbelakangi berdirinya HT dan segala aktivitasnya. Yang dimaksud khilafah adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat. (Lihat Mengenal HT, hal. 2, 54 )

Para pembaca, tahukah anda apa yang melandasi HT untuk mewujudkan Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi? Landasannya adalah bahwa semua negeri kaum muslimin dewasa ini –tanpa kecuali– termasuk kategori Darul Kufur (negeri kafir), sekalipun penduduknya kaum muslimin. Karena dalam kamus HT, yang dimaksud Darul Islam adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim. Sedangkan Darul Kufur adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim. (Lihat Mengenal HT, hal. 79)

Padahal tolok ukur suatu negeri adalah keadaan penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Keberadaan suatu bumi (negeri) sebagai Darul Kufur, Darul Iman, atau Darul Fasiqin, bukanlah sifat yang kontinu (terus-menerus/langgeng) bagi negeri tersebut, namun hal itu sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap negeri yang penduduknya adalah orang-orang mukmin lagi bertakwa maka ketika itu ia sebagai negeri wali-wali Allah. Setiap negeri yang penduduknya orang-orang kafir maka ketika itu ia sebagai Darul Kufur, dan setiap negeri yang penduduknya orang-orang fasiq maka ketika itu ia sebagai Darul Fusuq. Jika penduduknya tidak seperti yang kami sebutkan dan berganti dengan selain mereka, maka ia disesuaikan dengan keadaan penduduknya tersebut.” (Majmu’ Fatawa, 18/282)

Para pembaca, mengapa –menurut HT– harus satu khilafah? Jawabannya adalah, karena seluruh sistem pemerintahan yang ada dewasa ini tidak sah dan bukan sistem Islam. Baik itu sistem kerajaan, republik presidentil (dipimpin presiden) ataupun republik parlementer (dipimpin perdana menteri). Sehingga merupakan suatu kewajiban menjadikan Daulah Islam hanya satu negara (khilafah), bukan negara serikat yang terdiri dari banyak negara bagian. (Lihat Mengenal HT, hal. 49-55)

Ahlus Sunnah Wal Jamaah berkeyakinan bahwa pada asalnya Daulah Islam hanya satu negara (khilafah) dan satu khalifah. Namun, jika tidak memungkinkan maka tidak mengapa berbilangnya kekuasaan dan pimpinan.

Al-’Allamah Ibnul Azraq Al-Maliki, Qadhi Al-Quds (di masanya) berkata: “Sesungguhnya persyaratan bahwa kaum muslimin (di dunia ini) harus dipimpin oleh seorang pemimpin semata, bukanlah suatu keharusan bila memang tidak memungkinkan.” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 37)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Para imam dari setiap madzhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka posisinya seperti imam (khalifah) dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak, karena kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama sebelum Al-Imam Ahmad sampai hari ini, tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemimpin semata.” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 34)

Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di masing-masing daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karenanya (dalam kondisi seperti itu -pen) tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin (di daerah kekuasaan masing-masing -pen). Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan -pen) pimpinan tersebut untuk menaatinya.” (As-Sailul Jarrar, 4/512)

Demikian pula yang dijelaskan Al-Imam Ash-Shan’ani, sebagaimana dalam Subulus Salam (3/347), cet. Darul Hadits.

Kapan HT Didirikan?

Kelompok sempalan ini didirikan di kota Al-Quds (Yerusalem) pada tahun 1372 H (1953 M) oleh seorang alumnus Universitas Al-Azhar Kairo (Mesir) yang berakidah Maturidiyyah1 dalam masalah asma` dan sifat Allah, dan berpandangan Mu’tazilah dalam sekian permasalahan agama. Dia adalah Taqiyuddin An-Nabhani, warga Palestina yang dilahirkan di Ijzim Qadha Haifa pada tahun 1909. Markas tertua mereka berada di Yordania, Syiria dan Lebanon (Lihat Mengenal HT, hal. 22, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 135, dan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 2, Asy-Syaikh Abdurrahman Ad-Dimasyqi). Bila demikian akidah dan pandangan keagamaan pendirinya, lalu bagaimana keadaan HT itu sendiri?! Wallahul musta’an.

Landasan Berpikir Hizbut Tahrir

Landasan berpikir HT adalah Al Qur‘an dan As Sunnah, namun dengan pemahaman kelompok sesat Mu’tazilah bukan dengan pemahaman Rasulullah n dan para shahabatnya. Mengedepankan akal dalam memahami agama dan menolak hadits ahad dalam masalah akidah merupakan ciri khas keagamaan mereka. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila ahli hadits zaman ini, Asy-Syaikh Al-Albani t, menjuluki mereka dengan Al-Mu’tazilah Al-Judud (Mu’tazilah Gaya Baru).

Padahal jauh-jauh hari, shahabat ‘Ali bin Abi Thalib z telah berkata: “Kalaulah agama ini tolok ukurnya adalah akal, niscaya bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya.”2 (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 162, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Demikian pula menolak hadits ahad dalam masalah akidah, berarti telah menolak sekian banyak akidah Islam yang telah ditetapkan oleh ulama kaum muslimin. Di antaranya adalah: Keistimewaan Nabi Muhammad n atas para nabi, syafaat Rasulullah n untuk umat manusia dan untuk para pelaku dosa besar dari umatnya di hari kiamat, adanya siksa kubur, adanya jembatan (ash-shirath), telaga dan timbangan amal di hari kiamat, munculnya Dajjal, munculnya Al-Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa q di akhir zaman, dan lain sebagainya.

Adapun dalam masalah fiqih, akal dan rasiolah yang menjadi landasan. Maka dari itu HT mempunyai sekian banyak fatwa nyeleneh. Di antaranya adalah: boleh mencium wanita non muslim, boleh melihat gambar porno, boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, boleh bagi wanita menjadi anggota dewan syura mereka, boleh mengeluarkan jizyah (upeti) untuk negeri kafir, dan lain sebagainya. (Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 139-140)

Langkah Operasional untuk Meraih Khilafah

Bagi HT, khilafah adalah segala-galanya. Untuk meraih khilafah tersebut, HT menetapkan tiga langkah operasional berikut ini:

1. Mendirikan Partai Politik

Dengan merujuk Surat Ali ‘Imran ayat 104, HT berkeyakinan wajibnya mendirikan partai politik. Untuk mendirikannya maka harus ditempuh tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqif) (Lihat Mengenal HT hal. 3). Pada tahapan ini perhatian HT tidaklah dipusatkan kepada pembinaan tauhid dan akhlak mulia. Akan tetapi mereka memusatkannya kepada pembinaan kerangka Hizb (partai), memperbanyak pendukung dan pengikut, serta membina para pengikutnya dalam halaqah-halaqah dengan tsaqafah (materi pembinaan) Hizb secara intensif, hingga akhirnya berhasil membentuk partai. (Lihat Mengenal HT hal. 22, 23)

Adapun pendalilan mereka dengan Surat Ali ‘Imran ayat 104 tentang wajibnya mendirikan partai politik, maka merupakan pendalilan yang jauh dari kebenaran. Adakah di antara para shahabat Rasulullah n, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in dan para imam setelah mereka yang berpendapat demikian?! Kalaulah itu benar, pasti mereka telah mengatakannya dan saling berlomba untuk mendirikan parpol! Namun kenyataannya mereka tidak seperti itu. Apakah HT lebih mengerti tentang ayat tersebut dari mereka?!

Cukup menunjukkan batilnya pendalilan ini adalah bahwa parpol terbangun di atas asas demokrasi, yang amat bertolak belakang dengan Islam. Bagaimana ayat ini dipakai untuk melegitimasi sesuatu yang bertolak belakang dengan makna yang dikandung ayat? Wallahu a’lam.

2. Berinteraksi dengan Umat (Masyarakat)

Berinteraksi dengan umat (Tafa’ul Ma’al Ummah) merupakan tahapan yang harus ditempuh setelah berdirinya partai politik dan berhasil dalam tahapan pembinaan dan pengkaderan. Pada tahapan ini, sasaran interaksinya ada empat:

Pertama: Pengikut Hizb, dengan mengadakan pembinaan intensif agar mampu mengemban dakwah, mengarungi medan kehidupan dengan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik (Lihat Mengenal HT, hal. 24). Pembinaan intensif di sini tidak lain adalah doktrin ‘ashabiyyah (fanatisme) dan loyalitas terhadap HT.

Kedua: Masyarakat, dengan mengadakan pembinaan kolektif/umum yang disampaikan kepada umat Islam secara umum, berupa ide-ide dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb. Dan menyerang sekuat-kuatnya seluruh bentuk interaksi antar anggota masyarakat, tak luput pula interaksi antara masyarakat dengan penguasanya. Taqiyuddin An-Nabhani berkata: “Oleh karena itu, menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antar sesama anggota masyarakat dalam rangka mempengaruhi masyarakat tidaklah cukup, kecuali dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.” (Lihat Mengenal HT, hal. 24, Terjun ke Masyarakat, hal. 7)

Betapa ironisnya, Rasulullah n memerintahkan kita agar menjadi masyarakat yang bersaudara dan taat kepada penguasa, sementara HT justru sebaliknya. Mereka memecah belah umat dan memporakporandakan kekuatannya. Lebih parah lagi, bila hal itu dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu gerakan sebagaimana yang dinyatakan pendiri mereka: “Keberhasilan gerakan diukur dengan kemampuannya untuk membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) rakyat, dan kemampuannya untuk mendorong mereka menampakkan kemarahannya itu setiap kali mereka melihat penguasa atau rezim yang ada menyinggung ideologi, atau mempermainkan ideologi itu sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu penguasa.” (Pembentukan Partai Politik Islam, hal. 35-36)

Ketiga: Negara-negara kafir imperialis yang menguasai dan mendominasi negeri-negeri Islam, dengan berjuang menghadapi segala bentuk makar mereka (Lihat Mengenal HT, hal. 25).

Demikianlah yang mereka munculkan. Namun kenyataannya, di dalam upaya penggulingan para penguasa kaum muslimin, tak segan-segan mereka meminta bantuan kepada orang-orang kafir dan meminta perlindungan dari negara-negara kafir. (Lihat Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 5)

Keempat: Para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian. Menentang mereka, mengungkapkan pengkhianatan, dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilanggar atau tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, yaitu bila melalaikan salah satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum islam. (Terjun Ke Masyarakat, hal. 7, Mengenal HT, hal. 16,17).

Para pembaca, inilah hakikat manhaj Khawarij yang diperingatkan Rasulullah n. Tidakkah diketahui bahwa Rasulullah n menjuluki mereka dengan “Sejahat-jahat makhluk” dan “Anjing-anjing penduduk neraka”! Semakin parah lagi di saat mereka tambah berkomentar: “Bahkan inilah bagian terpenting dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.” (Mengenal HT, hal. 3)

Tidakkah mereka merenungkan sabda Rasulullah n: “Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam bentuk manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah bersabda (artinya): “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun dicambuk punggungmu dan dirampas hartamu maka (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman a, 3/1476, no. 1847)?!

Demikian pula, tidakkah mereka renungkan sabda Rasulullah n: “Barangsiapa ingin menasehati penguasa tentang suatu perkara, maka janganlah secara terang-terangan. Sampaikanlah kepadanya secara pribadi, jika ia menerima nasehat tersebut maka itulah yang diharapkan. Namun jika tidak menerimanya maka berarti ia telah menunaikan kewajibannya (nasehatnya).” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim, dari shahabat ‘Iyadh bin Ghunmin z, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, hadits no. 1096)?!
Namun sangat disayangkan, HT tetap menunjukkan sikap kepala batunya, sebagaimana yang mereka nyatakan: “Sikap HT dalam menentang para penguasa adalah menyampaikan pendapatnya secara terang-terangan, menyerang dan menentang. Tidak dengan cara nifaq (berpura-pura), menjilat, bermanis muka dengan mereka, simpang siur ataupun berbelok-belok, dan tidak pula dengan cara mengutamakan jalan yang lebih selamat. Hizb juga berjuang secara politik tanpa melihat lagi hasil yang akan dicapai dan tidak terpengaruh oleh kondisi yang ada.” (Mengenal HT, hal. 26-27)

Mereka gembar-gemborkan slogan “Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kata-kata haq di hadapan penguasa yang zalim.” Namun sayang sekali mereka tidak bisa memahaminya dengan baik. Buktinya, mereka mencerca para penguasa di mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan. Padahal kandungan kata-kata tersebut adalah menyampaikan nasehat “di hadapan” sang penguasa, bukan di mimbar-mimbar dan lain sebagainya. Tidakkah mereka mengamalkan wasiat Rasulullah n yang diriwayatkan shahabat ‘Iyadh bin Ghunmin di atas?! Dan jangan terkecoh dengan ucapan mereka, “Meskipun demikian, Hizb telah membatasi aktivitasnya dalam aspek politik tanpa menempuh cara-cara kekerasan (perjuangan bersenjata) dalam menentang para penguasa maupun orang-orang yang menghalangi dakwahnya.” (Mengenal HT, hal. 28). Karena mereka pun akan menempuh cara tersebut pada tahapannya (tahapan akhir).

3. Pengambilalihan Kekuasaan (Istilaamul Hukmi)

Tahapan ini merupakan puncak dan tujuan akhir dari segala aktivitas HT. Dengan tegasnya Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan: “Hanya saja setiap orang maupun syabab (pemuda) Hizb harus mengetahui, bahwasanya Hizb bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan secara praktis dari tangan seluruh kelompok yang berkuasa, bukan dari tangan para penguasa yang ada sekarang saja. Hizb bertujuan untuk mengambil kekuasaan yang ada dalam negara dengan menyerang seluruh bentuk interaksi penguasa dengan umat, kemudian dijadikannya kekuasaan tadi sebagai Daulah Islamiyyah.” (Terjun ke Masyarakat, hal. 22-23)

Dalam tahapan ini, ada dua cara yang harus ditempuh:

1) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Islam, di mana sistem hukum Islam ditegakkan, tetapi penguasanya menerapkan hukum-hukum kufur, maka caranya adalah melawan penguasa tersebut dengan mengangkat senjata.

2) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Kufur, di mana sistem hukum Islam tidak diterapkan, maka caranya adalah dengan Thalabun Nushrah (meminta bantuan) kepada mereka yang memiliki kemampuan (kekuatan). (Lihat Strategi Dakwah HT, hal. 38, 39, 72)

Subhanallah! Lagi-lagi prinsip Khawarij si “Sejahat-jahat makhluk” dan “Anjing-anjing penduduk neraka” yang mereka tempuh. Wahai HT, ambillah pelajaran dari perkataan Al-Imam Ibnul Qayyim t berikut ini: “Bahwasanya Nabi n mensyariatkan kepada umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran agar terwujud melalui pengingkaran tersebut suatu kebaikan (ma’ruf) yang dicintai Allah k dan Rasul-Nya. Jika ingkarul mungkar mengakibatkan terjadinya kemungkaran yang lebih besar darinya dan lebih dibenci oleh Allah k dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan walaupun Allah k membenci kemungkaran tersebut dan pelakunya. Hal ini seperti pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak, sungguh yang demikian itu adalah sumber segala kejahatan dan fitnah hingga akhir masa… Dan barangsiapa merenungkan apa yang terjadi pada (umat) Islam dalam berbagai fitnah yang besar maupun yang kecil, niscaya akan melihat bahwa penyebabnya adalah mengabaikan prinsip ini dan tidak sabar atas kemungkaran, sehingga berusaha untuk menghilangkannya namun akhirnya justru muncul kemungkaran yang lebih besar darinya.” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/6)

Mungkin HT berdalih bahwa semua penguasa itu kafir, karena menerapkan hukum selain hukum Allah. Kita katakan bahwa tidaklah semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz t: “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak keluar dari empat keadaan:

1. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

2. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama/sederajat dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

3. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini dan berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.

4. Seseorang yang mengatakan: “ Aku berhukum dengan hukum ini,” namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwasanya berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini), atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman, dan teranggap sebagai dosa besar. (At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, Muhammad Al-’Uraini hal. 21-22)
Demikian pula, kalaulah sang penguasa itu terbukti melakukan kekufuran, maka yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah penegakan hujjah dan nasehat kepadanya, bukan pemberontakan.
Adapun dalih mereka dengan hadits Auf bin Malik z:

قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهُ! أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لا، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ.

Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (membe-rontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian!” (HR. Muslim, 3/1481, no. 1855)

bahwa “mendirikan shalat di tengah-tengah kalian” adalah kinayah dari menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, sehingga –menurut HT– walaupun seorang penguasa mendirikan shalat namun dinilai belum menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, maka dianggap kafir dan boleh untuk digulingkan! Ini adalah pemahaman sesat dan menyesatkan.
Para pembaca, tahukah anda dari mana ta‘wil semacam itu? Masih ingatkah dengan landasan berpikir mereka? Ya, ta`wil itu tidak lain dari akal mereka semata… Bukan dari bimbingan para ulama. Wallahul musta’an.

Akhir kata, demikianlah gambaran ringkas tentang HT dan selubung sesatnya tentang khilafah. Semoga menjadi titian jalan untuk meraih petunjuk Ilahi. Amin.

Footnote:

1 Menolak sifat-sifat Allah k dengan ta`wil, kecuali beberapa sifat saja. (ed)

2 Lanjutan riwayat tersebut: “Dan sungguh aku telah melihat Nabi n mengusap pungggung khufnya.” (ed)

Sumber Website: http://asysyariah.com/print.php?id_online=287

 

Sejarah Suram Ikhwanul Muslimin

10 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.

Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al-Qardhawi, At-Turabi tersebar luas dengan berbagai bahasa, sehingga sempat mewar-nai gerakan-gerakan dakwah di berbagai negara.

Ikhwanul Muslimin, gerakan ini tidak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah dia. Karismanya benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya, yang kemudian senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna di medan dakwah sepeninggalnya.

Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari kita simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin.

Kelahirannya

Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati.

Pendidikannya

Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seo-rang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.

Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal perke-nalannya dengan gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya. Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi Man’ul Muharramat.

Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti: “…Dan kami pergi bersama-sama di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat ‘Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan. Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan dengan suara yang nyaring, membuat orang melihat kami,” ujar Mahmud Abdul Halim dalam bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109)

Di antara aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi bersama teman-teman se-tarekat ke kuburan, untuk meng-ingatkan mereka tentang kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan yang masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati hakekat kematian nanti.

Al-Banna terus bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: “…(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yang berbai’at.” Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: “Dan saya berteman dengan saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam… Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yang memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya menda-pat ajaran tarekat ini darinya. Ia juga mem-beri saya wirid dan amalan tarekat itu.”

Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat ini mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yang diketuai oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya. Al-Banna mengatakan: “Di saat-saat ini, nampak pada kami untuk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya… Lalu dalam perjuangan ini, aku menggantikannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu.”

Al-Banna menghabiskan waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M. Di sela-sela masa itu, ia juga banyak membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah yang banyak dipengaruhi pemikiran Mu’ta-zilah. Di sisi lain, iapun suka mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan salafinya.

Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumuddin. Namun bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan pendidikan.

Ia akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini, ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah aktivitasnya tercetus dalam benaknya, ide untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang duduk di warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil untuk mendakwahi mereka. Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M.

Usai pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke daerah itu pada tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40 hari untuk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata, ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara masyarakat, sementara ia berkehendak agar dapat berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menjauh dari semua kelompok yang ada dan berkonsentrasi mendakwahi mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnya-pun tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.

Pembentukan Gerakan Ikhwanul Muslimin

Pada bulan Dzulqa’dah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untuk Islam dan sama-sama bersumpah untuk menjadikan hidup mereka untuk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan umum.

Wafatnya

Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.

Demikian sejarah ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia dirikan. Pembaca mungkin berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai dengan sudut pandang yang digunakan. Namun bila kita melihatnya dengan kacamata syar’i, menimbangnya dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita akan mendapatinya sebagai sejarah yang suram. Mengapa? Karena kita melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yang berlatar belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai kegiatan bid’ahnya, seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang diada-adakan, dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dengan cara bid’ah sampai pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab Mu’tazilah, dan seorang yang berakidah salafi.

Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan corak gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tidak jelas, buram. Tidak seperti Ash-Shirathul Mustaqim yang Nabi n katakan:

تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا

“Aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya seperti siangnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah no. 33)

Untuk melihat lebih dekat dan jelas buktinya mari kita simak pembahasan berikutnya.

Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin

Sekilas, dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yang didirikannya. Namun itu tidak cukup untuk mengungkap lebih gamblang. Untuk itu perlu kami nukilkan di sini beberapa kesimpulan yang didasari oleh komentar Al-Banna sendiri atau tokoh-tokoh gerakan ini atau simpatisannya.

Pertama: Menggabung Kelompok-kelompok Bid’ah

Tentu pembaca tahu, bahwa bid’ah tercela secara mutlak dalam agama:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Semua bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)

Kata-kata ini senantiasa Nabi n ucapkan dalam pembukaan khutbahnya. Bahkan Nabi n juga katakan:

لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً

“Allah melaknati orang yang melindungi bid’ah.” (HR. Muslim, Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh Lighairillah, no. 5096)

Yakni ridha terhadapnya dan tidak mengingkarinya. Dan banyak lagi hadits yang lain. Tapi anehnya, Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bid’ah sebagaimana dia sendiri ungkapkan: “Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah salafiyyah… tarekat sunniyah… hakekat shufiyyah…dan badan politik…” (Majmu’ah Rasa`il, hal. 122)

Ini menggambarkan usaha untuk mencampur antara al-haq dan al-bathil. Dan ini adalah cara yang batil. Jika memang dakwahnya adalah salafiyyah yang sesungguhnya –dan itulah kebenaran– tidak mungkin dipadukan dengan shufiyyah dengan berbagai bid’ahnya dan praktek politik praktis yang diimpor dari Barat.

Karena prinsip ini, maka realita membuktikan bahwa: “Ratusan ribu manusia telah bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka dari kelompok yang bermacam-macam, paham yang berbeda-beda. Di antara mereka ada sekelompok Shufi yang menyangka bahwa kelompok ini adalah Shufi gaya baru…,” demikian ungkap Muhammad Quthub dalam bukunya Waqi’una Al-Mu’ashir (hal. 405).

Bahkan dengan kelompok Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dengan usaha Al-Banna untuk menyatukan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan tak sedikit anggota gerakan yang beraliran Syi’ah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna sekaligus pimpinan umum ketiga gerakan ini, mengungkapkan: “Pada tahun empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah, singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dengan serius untuk mendekatkan antar berbagai paham, sehing-ga musuh tidak menjadikan perpecahan paham sebagai celah, yang dari situ mereka robek-robek persatuan muslimin. Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Syi’ah, maka ia pun melarang untuk masuk dalam permasalahan semacam ini… Kemudian mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa Sunnah dan Syi’ah adalah muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah dalam hal itu sama dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara keduanya adalah pada perkara-perkara yang mungkin bisa didekatkan.” (Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250)

Benarkah dua kelompok itu sama dan bersih dalam dua kalimat syahadat? Tidakkah Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syi’ah ada yang menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib? Tidakkah dia tahu bahwa Syi’ah menuhankan imam-imam mereka, dengan menganggap mereka mengetahui perkara-perkara ghaib? Tidakkah dia tahu bahwa di antara Syi’ah ada yang meyakini bahwa Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah –mestinya kepada Ali, bukan kepada Nabi n–? Seandainya hanya ini saja (penyimpangan) yang dimiliki Syi’ah, mungkinkah didekatkan antara keduanya? Lebih-lebih dengan segudang kekafiran dan bid’ah Syi’ah.

Kedua: Lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`

Pembaca, tentu anda tahu bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan Al-Bara` (antipati terhadap kebatilan) merupakan prinsip penting dalam agama kita, Islam.

Abu ‘Utsman Ash-Shabuni (wafat 449 H) mengatakan: “Dengan itu, (Ahlus Sunnah) seluruhnya bersepakat untuk merendahkan dan menghinakan ahli bid’ah, dan menjauhkan serta menjauhi mereka, dan tidak berteman dan bergaul dengan mereka, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi mereka.” (‘Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal. 123, no. 175)

Tapi prinsip ini menjadi luntur dan benar-benar luntur dalam manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Itu terbukti dari penjelasan di atas. Juga sambutan hangatnya terhadap pimpinan aliran Al-Marghiniyyah, sebuah aliran wihdatul wujud yang menganggap Allah menjadi satu dengan makhluk (lihat Qafilatul Ikhwan Al-Muslimin, 1/259, karya As-Sisi). Lebih dari itu –dan anda boleh kaget– Al-Banna mengatakan: “Maka saya tetapkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan permusuhan karena agama. Karena Al-Qur`an menganjurkan untuk bersahabat dengan mereka. Dan Islam adalah syariat kemanusiaan sebelum syariat kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan menjadikan kesepakatan antara kita dengan mereka… dan ketika Allah ingin menyinggung masalah Yahudi, Allah menyinggung mereka dari sisi ekonomi, firman-Nya….” (Al-Ikhwanul Al-Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409 dinukil dari Al-Maurid, hal. 163-164)

Apa yang pantas kita katakan wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di sini:

أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (Al-Baqarah: 85)

Ke mana hafalan Al-Qur`an-nya? Siapapun yang membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan Yahudi, mereka membunuh para nabi, mencela Allah, tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad n, dan beberapa kali berusaha membunuh Nabi n. Apakah ini semua tidak pantas menimbulkan permusuhan antara muslimin dengan Yahudi dalam pandangannya?

Bukti lain tentang lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`, bahwa sebagian penasehatnya adalah Nashrani. Menurut pengakuan Yusuf Al-Qardhawi, katanya: “Saya tumbuh di sebuah lingkungan yang berkorban untuk Islam. Madrasah ini, yang memimpinnya adalah seorang yang mempunyai ciri khas keseimbangan dalam pemikiran, gerakan, dan hubungannya. Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ini sendiri adalah umat dari sisi ini, di mana dia bisa bergaul dengan semua manusia, sampai-sampai sebagian penasehatnya adalah orang-orang Qibthi –yakni suku bangsa di Mesir yang beragama Nashrani– dan ia masukkan mereka ke dalam departemen politiknya…” (Al-Islam wal Gharb, ma’a Yusuf Al-Qardhawi, hal. 72, dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4)

Padahal Allah k berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Ali ‘Imran: 118)

Ketiga: Tidak Perhatian terhadap Aqidah

Pembaca, aqidah adalah hidup matinya seorang muslim. Bagi muslim sejati, yang berharga menjadi murah demi membela aqidah. Aqidah adalah segala-galanya, tidak bisa main-main, tidak bisa coba-coba. Tapi tidak demikian adanya dengan kelompok yang kita bicarakan ini. Itu terbukti dari keterangan di atas, ditambah keadaan Al-Banna sendiri yang tidak beraqidah salaf dalam mengimani Asma`ul Husna dan sifat-sifat Allah. Salah jalan, ia terangkan aqidah salaf tapi ternyata itu aqidah khalaf (yang datang belakangan dan menyelisihi salaf). Ungkapnya: “Adapun Salaf, mereka mengatakan: Kami beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan kami serahkan keterangan tentang maksudnya kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga mereka menetapkan sifat Al-Yad (tangan) dan Al-’Ain (mata)… Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya…” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 292, 324)

Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adalah salah satu dari tiga unsur penting dalam ilmu-ilmu tentang Allah k. Intinya adalah mengimani nama-nama Allah k dan sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah k sebutkan dalam Al-Qur`an atau Nabi n sebutkan dalam hadits yang shahih.

Aqidah Ahlussunnah dalam hal ini tergambar dalam jawaban Imam kota Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbuhi t, ketika ditanya oleh seseorang: “Allah naik di atas ‘Arsy-Nya, bagaimana di atas itu?” Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab: “Naik di atas itu diketahui maknanya. Caranya tidak diketahui. Iman dengannya adalah wajib. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah!”

Ucapan Al-Imam Malik ini minimalnya mengandung empat hal:

1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan perbuatan Allah yang lain seperti, murka, cinta, melihat, dan sebagainya. Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dengan bahasa Arab yang bisa dimengerti.

2. Tapi caranya tidak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti apa tidaklah diketahui, karena Allah k tidak memberi-tahukan perincian tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yang lain.

3. Iman dengannya adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam Al-Qur`an dan Nabi n mengabarkan dalam haditsnya yang shahih.

4. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah: yakni bertanya tentang tata caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa adanya, karena Allah k tidak pernah memberitakan perincian tata caranya. Berbeda dengan ahli bid’ah yang melakukan takyif yakni mereka-reka kaifiyyah sifat tersebut, atau bertanya untuk mencari tahu dengan pertanyaan: Bagaimana?

Dengan penjelasan di atas, maka ucapan Hasan Al-Banna: …”Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya”, adalah ucapan yang menyelisihi kebenaran. Dan ini tentu bukan manhaj salaf. Bahkan ini adalah manhaj Ahluttafwidh atau Al-Mufawwidhah, yang menganggap ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan huruf muqaththa’ah, yakni huruf-huruf di awal surat seperti alif lam mim, yang tidak diketahui maknanya.

Madzhab ini sangat berbahaya, yang konsekuensinya adalah menganggap Nabi n dan para shahabatnya bodoh, karena mereka tidak mengetahui makna ayat-ayat itu. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah t mengatakan bahwa: “Al-Mufawwidhah termasuk sejahat-jahat ahli bid’ah.” (lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 71)

Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang kesyirikan terbesar di Mesir yaitu kuburan Sayyidah Zainab, lalu memberikan wejangan di sana, tetapi sama sekali tidak menyinggung kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat buku Qafilatul Ikhwan, 1/192). Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia mengatakan: “Dan berdoa apabila diiringi dengan tawassul kepada Allah k dengan perantara seseorang dari makhluk-Nya, adalah perbedaan pendapat yang sifatnya furu’ (cabang) dalam hal tata cara berdoa dan bukan termasuk perkara aqidah.” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)

Pembaca, jika anda mengikuti kajian-kajian majalah kesayangan ini, pada dua edisi sebelumnya dalam Rubrik Aqidah akan anda dapati pembahasan tentang tawassul. Tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk menyampaikan doa kepada Allah) telah dibahas panjang lebar oleh ulama dan sangat erat kaitannya dengan aqidah. Di antara tawassul itu ada yang sampai kepada derajat syirik akbar, adapula yang bid’ah. Dari sisi ini, bisa pembaca bandingkan antara nilai aqidah menurut para ulama dan menurut Hasan Al-Banna.

Keempat: Menganggap Sepele Bid’ah dalam Agama

Sekilas telah anda ketahui tentang bahaya bid’ah yang Nabi n katakan:

شَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا

“Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)

Oleh karenanya, Nabi n berpesan:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ …

“Dan jauhi oleh kalian perkara-perkara baru (yakni dalam agama) karena semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan di neraka.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Namun berbeda keadaannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana anda baca dalam sejarah ringkas Al-Banna. Berbagai macam bid’ah ia kumpulkan, kelompok-kelompok bid’ah ia rangkul, acara bid’ah ia datangi seperti maulud Nabi dan dzikir bersama dengan satu suara, bahkan sebagian bacaannya mengandung aqidah wihdatul wujud. Tentu itu bukan secara kebetulan, terbukti dengan penegasannya: “Dan bid’ah idhafiyyah, tarkiyyah, dan iltizam pada ibadah-ibadah yang bersifat mutlak adalah perbedaan fiqih, yang masing-masing punya pendapat dalam masalah itu…” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)

Ia hanya anggap bid’ah-bid’ah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba bandingkan dengan wasiat Nabi n di atas. Oleh karenanya, muncul kaidah mereka yang sangat populer: “Kita saling membantu pada perkara yang kita sepakati, dan saling mamaklumi pada apa yang kita perselisihkan.” Pada prakteknya, mereka saling memaklumi dengan Syi’ah, Shufi yang ekstrim, bahkan Yahudi dan Nashrani, apalagi ahli bid’ah yang belum sederajat dengan mereka.

Sedikit penjelasan terhadap ucapan Al-Banna, bid’ah idhafiyyah adalah sebuah amalan yang pada asalnya disyariatkan, tapi dalam pelaksanaannya ditambah-tambah dengan sesuatu yang bid’ah. Termasuk di dalamnya yaitu sebuah ibadah yang mutlak, artinya tidak terkait dengan waktu, jumlah, tata cara, atau tempat tertentu. Tetapi dalam pelaksanaannya, seseorang mengaitkan dengan tata cara tertentu dan iltizam (terus-menerus) dengannya. Contoh dzikir dengan ucapan La ilaha Illallah, dalam sebuah hadits dianjurkan secara mutlak, tapi ada orang yang membatasi dengan jumlah tertentu (500 kali, misalnya) dan beriltizam dengannya.

Bid’ah tarkiyyah, adalah mening-galkan sesuatu yang Allah halalkan atau mubahkan dengan niat ber-taqarrub, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dengan itu. Contohnya adalah orang yang tidak mau menikah dengan tujuan semacam itu, seperti yang dilakukan pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yang mencontoh mereka. (lihat Mukhtashar Al-I’tsham, hal. 11 dan 72)

Kelima: Bai’at Bid’ah

Bai’at adalah sebuah ibadah. Layaknya ibadah yang lain, tidak bisa dibenarkan kecuali dengan dua syarat: ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi n. Dalam sejarah Nabi dan para shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka, mereka tidak pernah memberikan bai’at kepada selain khalifah, imam, atau penguasa muslim. Maka, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair –seorang tabi’in–: “Sesuatu yang tidak diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat yang ikut Perang Badr), maka hal itu bukan bagian dari agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165). Al-Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang di masa shahabat bukan sebagai agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang bai’at, beliau menjawab: “Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyyul amr (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at yang ada ini adalah bid’ah, dan merupakan akibat dari adanya ikhtilaf (perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang berada di satu negara atau satu kerajaan, hendaknya bai’at mereka hanya satu dan untuk satu pimpinan…” (Fiqh As-Siyasah As-Syar’iyyah hal. 281 dan lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 214). Lebih rinci tentang hukum bai’at, silakan anda buka-buka kembali Asy-Syariah edisi-edisi sebelumnya.

Sementara, Hasan Al-Banna sendiri berbai’at kepada syaikh tarekat shufi. Dan ketika mendirikan gerakan ini, ia dibai’at oleh enam tunas gerakan ini, bahkan Al-Banna menjadikan bai’at sebagai unsur penting manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Dia katakan: “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh, hafalkanlah: 1. Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Kokoh, 8. Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10. Percaya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 268)

Untuk mengkaji kritis secara tuntas point-point itu tentu butuh berlembar-lembar kertas. Namun cukup untuk mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun bai’at ini berdiri di atas asas bai’at yang salah. Sebagai tambahan, tahukah anda apa yang dimaksud ketaatan pada point keenam? Silahkan anda simak penuturan Al-Banna: “…Dan pada periode kedua yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dalam periode ini adalah keshufian yang murni dari sisi rohani dan militer murni dari sisi amal. Dan selalu, motto dua sisi ini adalah ‘komando’ dan ‘taat’ tanpa ragu, bimbang, bertanya, segan.” (Risalah Ta’lim, karya Al-Banna, hal. 274)

Yakni taat komando secara mutlak, bagaikan mayat di hadapan yang memandikan. Sedangkan Nabi n saja, dalam bai’at yang sah mensyaratkan ketaatan dengan dua syarat:

1. Pada perkara yang sesuai syariat.

2. Sebatas kemampuan.
(lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 217)

Tahukah pula anda, apa yang dimaksud dengan paham pada point pertama? Mari kita simak penuturan sang imam ini: “Hanyalah yang saya maukan dengan ‘paham’ ini, adalah engkau harus yakin bahwa pemikiran kami adalah Islami dan benar, dan agar engkau memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang kami ringkas seringkas-ringkasnya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)

Pembaca, haruskah seseorang berbai’at untuk membenarkan pemikiran Al-Banna yang sedemikian rupa, seperti anda baca? Haruskah kita memahami Islam seperti dia pahami, hanya berkutat pada 20 prinsip yang ia buat, itu pun bila prinsip-prinsip itu benar?

Anehnya juga, ketika menyebutkan 38 kewajiban muslim berkaitan dengan bai’at tersebut, salah satunya adalah: “Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis yang membuat susah tidur.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277, dinukil dari Haqiqatud Da’wah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), namun dia tidak menyinggung masalah pembenahan aqidah.

Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yang ia dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan ini dari Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi n dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya. Lebih-lebih, gerakan ini juga, tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh Allah seperti, Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syi’ah yang lain, Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap merugikan dengan cara yang tidak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya berlebihan dalam menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dengan yakin salah satu di antara mereka mengatakan: “Bahwa ia (yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana.” (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229, 117, 228)

Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam bukunya Shahih Al-Bukhari berjudul: “Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adalah syahid”, lalu beliau sebutkan dalilnya. Beliau juga menyebutkan hadits dalam bab lain: “…Bahwa Ummul ‘Ala berkata: ‘Utsman bin Mazh’un dapat bagian di rumah kami (setelah diundi), maka ketika ia sakit kami mera-watnya. Tatkala wafat, aku katakan: ‘Persaksianku atas dirimu wahai Abu Sa`ib (‘Utsman bin Mazh’un) bahwa Allah telah memuliakanmu’. Maka Nabi n mengatakan: ‘Darimana engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’ Saya katakan: ‘Ayah dan ibuku tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya tidak tahu.’ Maka Nabi n mengatakan: ‘Sesungguhnya aku, demi Allah, dan aku ini adalah utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan Allah perlakukan kepadaku dan kepada kalian’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Wahai saudaraku, sadarlah dan ambillah pelajaran….

Sumber Website: http://asysyariah.com/print.php?id_online=303

Kelompok Sesat Murji’ah Pendangkal Keimanan Umat

10 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.

Munculnya kelompok-kelompok sesat dan para penghasungnya, merupakan petaka bagi kehidupan beragama umat manusia. Keberadaannya di tengah-tengah umat, ibarat duri dalam daging yang semakin lama semakin merusak dan membahayakan. Syubhat-syubhat yang digulirkan pun, kian hari kian mendangkalkan tonggak-tonggak keimanan yang telah terhunjam dalam sanubari mereka. Tak pelak, dengan kemunculannya terburailah ikatan persatuan umat yang telah dirajut sebaik-baiknya oleh baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Murji`ah (مُرْجِئَة) Tergolong Kelompok Sesat

Di antara kelompok sesat yang telah menyimpang dari jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah kelompok Murji`ah. Ia merupakan kelompok sempalan yang berorientasi pada pendangkalan keimanan. Syubhat-syubhatnya amat berbahaya bagi tonggak-tonggak keimanan yang telah terhunjam dalam sanubari umat. Dasar pijakannya adalah akal dan pengetahuan bahasa Arab yang dipahami sesuai dengan hawa nafsu mereka, layaknya kelompok-kelompok bid’ah lainnya. Mereka berpaling dari keterangan-keterangan yang ada dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, serta perkataan para sahabat dan tabi’in. (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/118)

Mengapa Disebut Murji`ah?

Murji`ah, nisbat kepada irja` (إِرْجَاء) yang artinya mengakhirkan. Kelompok ini disebut dengan Murji`ah, dikarenakan dua hal:

1. Karena mereka mengakhirkan (tidak memasukkan, pen.) amalan ke dalam definisi keimanan. (Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 113)

2. Karena keyakinan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhirkan (membebaskan, pen.) adzab atas (pelaku, pen.) kemaksiatan. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, karya Al-Imam Ibnul Atsir, 2/206)

Siapakah Pelopor Utamanya?

Di antara sekian nama yang diidentifikasi sebagai pelopor utamanya adalah:

1. Ghailan Ad-Dimasyqi, seorang gembong kelompok sesat Qadariyyah yang dibunuh pada tahun 105 H. (Lihat Al-Milal Wan Nihal, karya Asy-Syahrastani hal. 139)

2. Hammad bin Abu Sulaiman Al-Kufi. (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/297 dan 311)

3. Salim Al-Afthas. (Lihat Kitabul Iman, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 179)

Kapan Munculnya?

Murji`ah tergolong kelompok sesat yang tua umurnya. Ia muncul di akhir-akhir abad pertama Hijriyyah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud Ath-Thayalisi dari Syu’bah dari Zubaid, ia berkata: ‘Ketika muncul kelompok Murji`ah, maka aku mendatangi Abu Wa`il dan aku tanyakan kepada beliau perihal mereka.’ Maka tampaklah dari sini bahwa pertanyaan tersebut berkaitan dengan aqidah mereka (Murji`ah), dan disampaikan (kepada Abu Wa`il) di masa kemunculannya. Sementara Abu Wa`il sendiri wafat pada tahun 99 H dan ada yang mengatakan pada tahun 82 H. Dari sini terbukti, bahwa bid’ah irja` tersebut sudah lama adanya.” (Fathul Bari 1/137)

Kemudian kelompok sesat Murji`ah ini tampil secara lebih demonstratif di negeri Kufah (Irak, pen.). Sehingga jadilah mereka sebagai rival (tandingan) bagi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah, dengan pahamnya bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.” (Lihat Majmu’ Fatawa 13/38)

Sekte-sekte Murji`ah

Murji`ah sendiri terpecah menjadi beberapa sekte, masing-masing memiliki bentuk kesesatan tersendiri. Di antara mereka, ada yang murni Murji`ah dan ada pula yang tidak. Adapun yang murni Murji`ah antara lain; Yunusiyyah (pengikut Yunus bin ‘Aun An-Numairi), ‘Ubaidiyyah (pengikut ‘Ubaid Al-Mukta`ib), Ghassaniyyah (pengikut Ghassan Al-Kufi), Tsaubaniyyah (pengikut Abu Tsauban Al-Murji’), Tumaniyyah (pengikut Abu Mu’adz At-Tumani), dan Shalihiyyah (pengikut Shalih bin Umar Ash-Shalihi). Sedangkan yang tidak murni Murji`ah, antara lain; Murji`ah Fuqaha (Murji`ah dari kalangan -sebagian- ahli fiqih Kufah, pengikut Hammad bin Abu Sulaiman), Murji`ah Qadariyyah (Murji`ah dari kalangan kelompok anti taqdir, pengikut Ghailan Ad-Dimasyqi), Murji`ah Jabriyyah (Murji`ah yang juga beraqidah Jabriyyah, pengikut Jahm bin Shafwan, gembong kelompok sesat Jahmiyyah), Murji`ah Khawarij (Mereka adalah sempalan kelompok Khawarij yang tampil beda dengan induk semangnya, yaitu dengan tidak memberikan sikap sedikitpun alias ber-tawaqquf terhadap pelaku dosa besar), Murji`ah Karramiyyah (Murji`ah dari pengikut Muhammad bin Karram, salah seorang gembong Musyabbihah1). (Untuk lebih rincinya, lihat Majmu’ Fatawa 7/543-550, Al-Milal Wan Nihal, hal. 140-145 dan Firaq Mu’ashirah, 2/761)

Kesesatan-kesesatan Kelompok Murji`ah

Secara garis besar, kesesatan Murji`ah dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Mereka semua sepakat bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.

Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hakikat keimanan, dengan tiga versi:
– Iman: keyakinan dalam hati dan perkataan dengan lisan (versi Murji`ah Fuqaha).

– Iman: pengetahuan/ pembenaran dalam hati saja (versi Jahm bin Shafwan dan mayoritas Murji`ah).

– Iman: perkataan dengan lisan saja (versi Muhammad bin Karram).2

Bantahan:

Pertama: Kesepakatan mereka bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan, sungguh bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama salaf dan yang mengikuti jejak mereka.

Dalam Al-Qur`an, seringkali Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut amalan shalih dengan sebutan iman. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya) berkata: “Seringkali Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut amalan shalih dengan sebutan iman. Sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (Al-Anfal: 2-4)

وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ

“Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan keimanan kalian.” (Al-Baqarah: 143)

Yang dimaksud dengan ‘keimanan kalian’ di sini adalah shalat kalian dengan menghadap Baitul Maqdis. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya dengan iman.” (Min Ushuli Aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hal. 19-20)

Adakalanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa amalan shalih dalam Al-Qur`an sebagai ciri/tanda bagi orang-orang beriman, yang sekaligus sebagai isyarat bahwa predikat mukmin tak bisa diraih hanya dengan keyakinan di hati dan ucapan di lisan saja, akan tetapi harus dengan pembuktian amalan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman itu. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (Al-Mu`minun: 1-9)3

Dalam As-Sunnah, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun seringkali menyebutkan bahwa amalan adalah bagian dari iman. Di antaranya sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ

“Iman itu mempunyai 60 sekian cabang. Cabangnya yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’ dan cabangnya yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu (juga) cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 58, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Dalam hadits ini diterangkan, bahwa iman mempunyai cabang yang banyak jumlahnya. Ada yang berupa ucapan (amalan) lisan seperti ucapan ‘Laa ilaaha illallah’. Ada yang berupa amalan tubuh seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Ada pula yang berupa amalan hati seperti sifat malu.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya berkata yang baik atau lebih baik diam (kalau tidak bisa berkata yang baik, pen.).” (HR. Al-Bukhari no. 5672, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Dalam hadits ini diterangkan, bahwa amalan tidak mengganggu tetangga, memuliakan tamu, dan bertutur kata dengan baik merupakan bagian dari keimanan.

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu dengan lisannya maka dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, no. 78, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan mengingkari kemungkaran merupakan bagian dari iman.

Adapun ijma’ adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Merupakan ijma’ (kesepakatan) para shahabat, tabi’in, dan yang kami jumpai dari para ulama (dunia), bahwa iman meliputi perkataan, amalan, dan niat (keyakinan hati). Tidaklah mencukupi salah satu darinya tanpa sebagian yang lain.”4 (Majmu’ Fatawa 7/308)

Kedua: Adapun tiga versi tentang hakikat keimanan yang ada pada kaum Murji`ah, maka semuanya bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’, bahkan bertentangan dengan fitrah yang suci. Hal ini bisa dibuktikan dengan memerhatikan poin-poin berikut:

Pernyataan mereka bahwa iman hanya dengan keyakinan dalam hati dan perkataan lisan, tanpa beramal.
Apakah Al-Jannah itu diraih dengan santai-santai tanpa amalan dan kesungguhan?! Kalau begitu, untuk apa kita diperintah untuk shalat, zakat, shaum Ramadhan, haji, dan amalan shalih lainnya?!

Pernyataan mereka bahwa iman sebatas pembenaran/ pengetahuan dalam hati saja. Lalu apa bedanya iman kita dengan ‘iman’ sebagian orang-orang kafir?!5

Pernyataan mereka bahwa iman hanya dengan perkataan lisan saja.
Kalau begitu, apa bedanya dengan iman kaum munafik yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala?!
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Di antara prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah bahwa iman meliputi perkataan, amalan, dan keyakinan hati. Ia bisa bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa pula berkurang dengan sebab kemaksiatan. Iman bukan sekadar perkataan dan amalan, tanpa adanya keyakinan di hati, karena yang demikian merupakan imannya kaum munafiqin. Bukan pula sebatas ma’rifah (wacana) tanpa ada perkataan dan amalan. Karena yang demikian itu merupakan ‘iman’ orang-orang kafir durjana… Bukan pula iman hanya keyakinan hati belaka, atau perkataan dan keyakinan hati tanpa amalan. Karena yang demikian itu merupakan imannya Murji`ah.” (Min Ushuli Aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hal. 19)

2. Bahwa iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang, akan tetapi ia merupakan satu kesatuan yang utuh. Sehingga suatu dosa besar (kemaksiatan) tidaklah dapat mengurangi/merusak keimanan sedikit pun, sebagaimana pula suatu ketaatan tak akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu, pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasiq, bahkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan adzab apapun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.6

Bantahan:

Pertama: Pernyataan mereka bahwa iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang, sungguh bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.

Dalam Al-Qur`an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan bahwa iman dapat bertambah disebabkan ketaatan dan dapat berkurang disebabkan kemaksiatan. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang dikatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya manusia (orang-orang kafir Quraisy, pen.) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kalian kepada mereka,’ maka perkataan itu justru menambah keimanan mereka dan menjawab: ‘Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Penolong kami dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (Al-Anfal: 2-4)

فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ

“Adapun orang-orang yang beriman, maka (surat Al-Qur`an yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut) menambah iman mereka, dalam keadaan mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 124)

لِيَزْدَادُوا إِيْمَانًا مَعَ إِيْمَانِهِمْ

“Agar keimanan mereka bertambah, di samping keimanan yang sudah ada pada mereka.” (Al-Fath: 4)

وَيَزْدَادَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِيْمَانًا

“Dan supaya orang-orang yang beriman itu, semakin bertambah keimanannya.” (Al-Muddatstsir: 31)

Di dalam As-Sunnah, banyak juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa iman bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Di antaranya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu dengan lisannya maka dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, no. 78, dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Tidaklah iman itu dikatakan lemah/berkurang, kecuali karena dia bisa kuat/bertambah.

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masingnya ada kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Adanya mukmin yang kuat dan mukmin yang lemah, menunjukkan bahwa iman masing-masing orang berbeda-beda, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas (bertambah atau berkurang).

Adapun ijma’ ulama, maka sebagaimana yang dikatakan Musa bin Harun Al-Hammal: “Telah mendiktekan (imla`) kepada kami Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullahu: ‘Tanpa ada keraguan sedikit pun, bahwa iman meliputi perkataan dan amalan,7 bisa bertambah dan bisa berkurang. Hal itu berdasarkan riwayat-riwayat dan atsar yang shahih lagi pasti, serta pernyataan-pernyataan individu dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in, dan generasi setelah tabi’in dari kalangan ahli ilmu. Mereka semua sepakat dan tak berselisih dalam hal ini. Demikian pula di masa Al-Auza’i di Syam, Sufyan Ats-Tsauri di Irak, Malik bin Anas di Hijaz, dan Ma’mar bin Rasyid di Yaman. (Pernyataan) mereka semua sama dengan kami, yaitu iman meliputi perkataan dan amalan, bisa bertambah dan bisa berkurang’.”8 (Majmu’ Fatawa 7/308)

Kedua: Adapun perkataan mereka (Murji`ah) bahwa ‘dosa besar (kemaksiatan) tidak dapat mengurangi/merusak keimanan sedikitpun, sebagaimana pula suatu ketaatan tak akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu, pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasiq, bahkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan adzab apapun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala’, merupakan perkataan batil dan sesat dari beberapa sisi. Di antaranya adalah:

– Bahwa prinsip9 yang dijadikan landasan bagi perkataan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama, sebagaimana yang telah disebutkan pada poin pertama. Sehingga, segala prinsip yang dibangun di atasnya pun menjadi batil.

– Bahwa dalil-dalil tentang bisa bertambahnya iman, sekaligus berfungsi sebagai dalil tentang bisa berkurangnya. karena sebelum iman itu bertambah maka dia berkurang.10

– Para ulama sepakat bahwa keimanan itu tidaklah berkurang kecuali dengan sebab kemaksiatan. Sebagaimana yang dikatakan Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu: “Ahli fiqih dan hadits telah sepakat bahwa iman meliputi perkataan dan amalan, dan tidak ada amalan kecuali berdasarkan niat. Demikian pula, iman bisa bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa pula berkurang dengan kemaksiatan.” (At-Tamhid, 9/238)

Bahkan Al-Imam Al-Auza’i rahimahullahu mengatakan: “Iman itu meliputi perkataan dan amalan, bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Barangsiapa menyatakan bahwa iman itu bisa bertambah namun tidak bisa berkurang, maka berhati-hatilah darinya karena dia adalah seorang ahli bid’ah (mubtadi’).” (Asy-Syari’ah, hal. 113)

– Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasiq, bahkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan adzab apapun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ini adalah batil dan sesat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim merupakan kefasikan, dan memeranginya merupakan kekufuran.” (HR. Al-Bukhari no. 48, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Baththah dengan sanadnya yang sampai kepada Mubarak bin Hassan, ia berkata: “Aku pernah berkata kepada Salim Al-Afthas (salah seorang pelopor Murji`ah, pen.): ‘Ada seseorang yang taat kepada Allah dan tidak bermaksiat kepadanya, ada pula seseorang yang bermaksiat kepada Allah dan tidak menaati-Nya, kemudian keduanya meninggal dunia. Maka Allah masukkan seorang yang taat tersebut ke dalam Al-Jannah (surga) dan Allah masukkan si pelaku maksiat ke dalam An-Naar (neraka). Apakah antara keduanya ada perbedaan dalam hal keimanan?’ Maka Dia (Salim Al-Afthas) menjawab: ‘Tidak ada perbedaan antara keduanya.’ Akhirnya kejadian ini kusampaikan kepada ‘Atha` (salah seorang imam tabi’in, pen.), lalu beliau berkata: ‘Tanyakan kepadanya apakah iman itu sesuatu yang baik ataukah sesuatu yang buruk? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): ‘ Supaya Allah Subhanahu wa Ta’ala memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagian di atas yang lain, lalu semuanya Dia tumpuk dan Dia masukkan ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.’ (Al-Anfal: 37). Maka, kutanyakan kepada mereka (Murji`ah, pen.) apa yang disarankan oleh ‘Atha`, dan tak seorang pun dari mereka (kaum Murji`ah) yang mampu menjawabnya.”11 (Majmu’ Fatawa 7/180)

Penutup

Para pembaca yang mulia, dari bahasan yang telah lewat amatlah jelas bahayanya kelompok sesat Murji`ah ini. Prinsip-prinsipnya benar-benar mendangkalkan keimanan umat, membuat mereka malas beramal shalih dan bermudah-mudahan melakukan kemaksiatan, dengan penuh keyakinan bahwa imannya sempurna dan dia akan aman dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak heran, bila Al-Imam Ibrahim An-Nakha’i rahimahullahu mengatakan: “Sungguh, fitnah Murji`ah ini lebih aku khawatirkan terhadap umat daripada fitnah Azariqah (Khawarij).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, 3/1061)

Akhir kata, demikianlah apa yang dapat kami sajikan seputar kelompok Murji`ah dan kesesesatannya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi para pencari kebenaran. Selanjutnya, bagi para pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang kesesatan Murji`ah berikut jawabannya, maka silahkan merujuk Majmu’ Fatawa jilid 7 (Kitabul Iman), Asy-Syari’ah, karya Al-Imam Al-Ajurri, Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Al-Lalika`i (4/913-933, 5/955-1078) dan lain sebagainya dari kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Footnote:

1 Musyabbihah adalah kelompok yang menyamakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

2 Lihat Majmu’ Fatawa (7/195, 387).

3 Ayat di atas, termasuk di antara beberapa ayat yang disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya Bab Umuril Iman, sebelum beliau menyebutkan hadits-hadits tentang amalan keimanan.

4 Demikian pula yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah, hal. 114. Untuk mengetahui nama-nama para ulama tersebut, lihatlah Majmu’ Fatawa (7/308-311) dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Al-Lalika’i (4/913-933, 5/955-959).

5 Sebagaimana firman Allah (artinya): “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakininya.” (An-Naml: 14)

6 Lihat Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 113-114 dan Syarh Lum’atul I’tiqad, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hal. 162-163.

7 Terkandung padanya perkataan hati dan amalan hati (keyakinan). (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/170-171)

8 Untuk mengetahui lebih rinci nama-nama para ulama tersebut berikut perkataan mereka, lihatlah Majmu’ Fatawa (7/309-311) dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, karya Al-Imam Al-Lalika’i (5/960-1036).

9 Yaitu prinsip mereka bahwasanya iman tidak bisa bertambah dan tidak berkurang, akan tetapi ia merupakan satu kesatuan yang tak berbilang.

10 Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Dalil-dalil tentang bertambahnya iman ini, sekaligus juga sebagai dalil tentang berkurangnya, karena sebelum iman itu bertambah maka dia berkurang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang secara tersurat menunjukkan tentang bertambahnya iman, maka secara tersirat ia pun menunjukkan tentang berkurangnya iman.” (Al-Qaulul Mufid Fi Adillatit Tauhid, hal. 62)

11 Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Ahlus Sunnah Wal Jamaah berada di tengah-tengah. Mereka menyatakan bahwasanya pelaku dosa besar (di bawah syirik, pen) adalah seorang yang berdosa, terancam adzab (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), imannya berkurang dan dihukumi sebagai orang fasiq (tidak seperti Murji`ah yang menyatakan bahwasanya pelaku dosa besar itu sempurna imannya dan tidak terancam adzab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala). Namun –menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah– pelaku dosa besar tersebut belum keluar dari keimanan dan tidak pula kekal di dalam neraka (An-Naar) jika ia di masukkan ke dalamnya. Dia berada di bawah kehendak (masyi’ah) Allah Subhanahu wa Ta’ala; jika Allah berkehendak untuk mengampuninya maka ia akan mendapatkan ampunan-Nya (dan dimasukkan ke dalam Al-Jannah secara langsung, tanpa melalui proses adzab, pen), dan jika Allah berkehendak untuk mengadzabnya maka dia akan diadzab terlebih dahulu sesuai dengan kadar dosa yang dilakukannya, kemudian dikeluarkan dari An-Naar dan dimasukkan ke dalam Al-Jannah (tidak seperti yang dinyatakan Wa’idiyyah (Khawarij dan Mu’tazilah, pen) bahwasanya pelaku dosa besar tersebut telah keluar dari keimanan dan kekal di dalam An-Naar). Murji`ah hanya mengambil dalil-dalil ampunan/pahala, Wa’idiyyah (Khawarij dan Mu’tazilah, pen) hanya mengambil dalil-dalil ancaman/adzab. Sedangkan Ahlus Sunnah Wal Jamaah menggabungkan (mengambil) dalil-dalil ampunan/pahala dan dalil-dalil ancaman/adzab.” (Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 113)

Sumber Website: http://asysyariah.com/print.php?id_online=459