Arsip

Posts Tagged ‘maksiat’

Nasihat Buat Wanita Muslimah Yang Berhias Seronok

17 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Kitab Al Hijab (Departemen Agama Saudi Arabia)

Kejelekan Tabarruj (berhias ala jahiliyah, seronok)

· Tabarruj adalah maksiat kepada Allah dan Rasul.

Barangsiapa yang maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia hanya akan mencelakakan dirinya sendiri dan tidak akan mencelakakan Allah sedikitpun.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

((كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إلاَّ مَنْ أبَى ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : مَنْ أطَاعَنِي دَخَلَ الجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أبَى))

“Semua umatku akan masuk surga kecuali orang yang menolak” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah! Siapakah orang yang menolak itu? Beliau menjawab: “Siapa yang taat kepadaku akan masuk surga dan siapa yang maksiat kepadaku maka ia telah menolak.”

· Tabarruj menyebabkan laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalambersabda:

((سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ ، عَلَى رُؤُوسِهِنَّ كَأَسْنِمَةِ البَخْتِ ، اِلْعَنُوهُنَّ فَإنَّهُنَّ مَلْعُونَاتٌ))

“Akan ada pada akhir umatku nanti wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, kepala mereka bagaikan punuk unta, laknatlah mereka karena mereka adalah wanita-wanita yang pantas dilaknat.”

· Tabarruj adalah sifat penghuni neraka.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

((صِنْفَانِ مِنْ أهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا : قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأذْنَابِ البَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ … ))

“Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah saya lihat; kaum yang membawa cemeti bagai ekor sapi yang digunakan memukul menusia dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang…”

· Tabarruj penyebab hitam dan gelap di hari kiamat.

Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, beliau bersabda:

((مَثَلُ الرَّافِلَةِ في الزِّينَةِ في غَيْرِ أهْلِهَا ، كَمَثَلِ ظُلْمَةٍ يَوْمَ القِيَامَةِ لاَ نُورَ لهَا))

“Permisalan wanita yang berhias untuk selain suaminya, adalah bagaikan kegelapan pada hari kiamat, tidak ada cahaya baginya.”

Maksudnya adalah wanita yang berlenggak-lenggok ketika berjalan dengan menarik pakaiannya, akan datang pada hari kiamat dalam keadaan hitam dan gelap, bagaikan berlenggak-lenggok dalam kegelapan. Dan hadits ini walaupun lemah, tetapi artinya benar, karena kenikmatan dalam maksiat adalah siksaan, wangi-wangian akan menjadi busuk dan cahaya menjadi kegelapan. Kebalikan dari taat, bahwa bau mulut orang yang berpuasa dan darah orang yang mati syahid lebih harum di sisi Allah dari bau minyak kasturi.”

· Tabarruj adalah kemunafikan.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalambersabda:

((خَيْرُ نِسَائِكُمُ الوَدُودُ الوَلُودُ ، المُوَاسِيَةُ ، المُوَاتِيَةُ ، إذَا اتَّقَيْنَ اللهَ، وَشَرُّ نِسَائِكُمُ المُتَبَرِّجَاتُ المُتَخَيِّلاَتُ وَهُنَّ المُنَافِقَاتُ ، لاَ يَدْخُلْنَ الجَنَّةَ إلاَّ مِثْلَ الغُرَابِ الأعْصَمِ))

“Sebaik-baik wanita kalian adalah yang memiliki kasih sayang, subur (banyak anak), suka menghibur dan siap melayani, bila mereka bertakwa kepada Allah. Dan sejelek-jelek wanita kalian adalah wanita pesolek dan penghayal mereka itu adalah wanita-wanita munafik, mereka tidak akan masuk surga kecuali seperti ghurab a’sham.”

Yang dimaksud ghurab a’sham adalah burung gagak yang memiliki cakar dan kaki merah, pertanda minimnya wanita masuk surga, karena burung gagak yang memiliki sifat seperti ini sangat jarang ditemukan.

· Tabarruj mengoyak tirai pelindung dan membuka aib.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalambersabda:

((أيَّمَا امْرَأَةٍ وَضَعَتْ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا، فَقَدْ هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ))

“Siapa saja di antara wanita yang menanggalkan pakaian-nya di selain rumah suaminya, maka ia telah mengoyak tirai pelindung antara dirinya dan Allah Azza wa Jalla.”

· Tabarruj adalah perbuatan keji.

Wanita itu adalah aurat, dan membuka aurat adalah keji dan dibenci. Allah Shalallahu ‘alaihi wassalamberfirman:

وَإذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إنَّ اللهَ لاَ يَأْمُرُ بِالفَحْشَاءِ

“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakan-nya.” Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” (Q.S. Al-A’raf: 28)

Sebenarnya setanlah yang memerintahkan manusia melakukan perbuatan keji itu, sebagaimana firman Allah:

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالفَحْشَاءِ

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir).” (Q.S. Al-Baqorah: 268)

· Tabarruj adalah ajaran iblis

Sesungguhnya kisah Adam dengan Iblis memberikan gambaran kepada kita bagaimana musuh Allah, Iblis itu membuka peluang untuk melakukan perbuatan dosa dan mengoyak tirai pelindung dan bahwa Tabarruj itulah tujuan asasi baginya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا

“Hai anak Adam! Janganlah kamu sekali-kali dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (Q.S. Al-A’raf: 27)

Jadi iblislah yang mengajak kepada Tabarruj dan buka-bukaan. Dialah pemimpin utama bagi para pencetus apa yang dikenal dengan Tahrirul Mar’ah (pembebasan wanita).

· Tabarruj adalah jalan hidup orang-orang Yahudi.

Orang-orang Yahudi memiliki peran yang sangat besar dalam menghancurkan umat ini melalui wanita, dan kaum wanita sejak dulu memiliki pengalaman di bidang ini, di mana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalambersabda:

((فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ ، فَإنَّ أوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إسْرَائِيلَ كَانَتْ في النِّسَاءِ))

“Takutlah pada dunia dan takutlah pada wanita karena fitnah pertama pada Bani Israel adalah pada wanita.”

· Tabarruj adalah Jahiliyah busuk.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الجَاهِلِيَّةِ الأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah.” (Q.S. Al-Ahzab: 33)

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam telah menyifati ajakan Jahiliyah sebagai ajakan busuk dan kotor. Jadi ajakan Jahiliyah adalah saudara kandung Tabarruj Jahiliyah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

((كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أمْرِ الجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمِي))

“Semua yang merupakan perkara Jahiliyah tersimpan di bawah telapak kakiku.”

Baik itu bernama Tabarruj Jahiliyah, ajakan Jahiliyah ataupun kesombongan Jahiliyah.

· Tabarruj adalah keterbelakangan.

Buka-bukaan dan telanjang adalah fitrah hewan ternak, tidak seorangpun yang condong kepadanya kecuali dia akan terperosok jatuh ke derajat yang paling rendah dari pada derajat manusia yang telah dimuliakan Allah. Dari sini nampaklah bahwa Tabarruj adalah tanda kerusakan fitrah, ketiadaan ghirah dan mati rasa:

Anda mengangkat baju hingga lutut

Demi Tuhanmu, sungai apa yang akan anda seberangi

Baju itu bagaikan naungan di waktu pagi

Yang semakin pendek, waktu demi waktu

Anda mengira bahwa laki-laki itu tidak memiliki perasaan

Padahal anda sendiri yang mungkin tidak punya perasaan

· Tabarruj adalah pintu adzab yang merata.

Seseorang yang memperhatikan nash-nash syare’at dan sejarah (Islam) akan meyakini adanya kerusakan yang ditimbulkan oleh Tabarruj dan bahayanya atas agama dan dunia, apalagi bila diperparah dengan Ikhtilath (percampurbauran antara laki-laki dan wanita).

Akibat dan Bahaya Tabarruj Yang  Menakutkan

Wanita-wanita yang melakukan Tabarruj berlomba-lomba menggunakan perhiasan yang diharamkan untuk menarik perhatian kepadanya. Sesuatu yang justru akan merusak akhlak dan harta serta menjadikan wanita sebagai barang hina yang diperjualbelikan, dan di antara bahayanya adalah:

1. Rusaknya akhlak kaum lelaki khususnya para pemuda yang terdorong melakukan zina yang diharamkan ini.

2. Memperdagangkan wanita sebagai sarana promosi atau untuk meningkatkan usaha perdagangan dan sebagainya.

3. Mencelakakan diri wanita sendiri, karena Tabarruj itu menunjukkan niat jelek dari apa yang ia suguhkan untuk menggoda orang-orang jahat dan bodoh.

4. Tersebarnya penyakit, seperti sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :
(( لَمْ تَظْهَرِ الفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إلاَّ فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ وَالأوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ فِي أسْلاَفِهِمُ الَّذِينَ مَضَوْا ))
“Tidaklah suatu perbuatan zina itu nampak pada suatu kaum hingga mereka mengumumkannya kecuali akan tersebar di antara mereka penyakit menular dan penyakit-penyakit lain yang belum pernah ada pada orang-orang dulu.”

5. Mempermudah mata melakukan maksiat, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalambersabda: “Kedua mata zinanya adalah melihat.” Serta menyulitkan ketaatan ghadhul bashar (menundukkan pandangan) yang merupakan sesuatu yang lebih berbahaya dari ledakan bom atom dan gempa bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu dengan sehancur-hancurnya.” (Q.S. Al-Isra’: 16)

Dalam hadits juga disebutkan:

((إنَّ النَّاسَ إذَا رَأَوْا المُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوهُ أوْشَكَ أنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعَذَابٍ))

“Sesungguhnya manusia bila melihat kemungkaran dan tidak merubahnya, dikhawatirkan Allah akan menimpakan mereka adzab.”

Wahai ukhti muslimah! Tidakkah anda memperhatikan hadits nabi : “Buanglah duri dari jalan kaum muslimin.” Dan bila membuang duri dari jalan termasuk cabang iman, maka duri manakah yang lebih berat, batu di jalan atau fitnah yang merusak hati, menerbangkan akal dan menyebarkan kekejian di antara orang-orang mu’min.

Sesungguhnya tidaklah seorang lelaki muslim terkena fitnah pada hari ini karena anda yang telah memalingkannya dari mengingat Allah dan menghalanginya dari jalan yang lurus -padahal anda sanggup mencegahnya dari fitnah itu- kecuali di hari esok nanti Allah akan menghukum anda dengan adzab yang sangat pedih.

Segeralah taat kepada Allah, tinggalkan kritikan dan ejekan manusia, karena perhitungan Allah kelak sangat ketat.

(Dinukil dari kitab : الحجاب Al Hijab. Penebit: Darul Qosim دار القاسم للنشر والتوزيع P.O. Box 6373 Riyadh 11442)

Sumber: http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=431

(UNDUHAN) Taubat Lagi Maksiat Lagi

12 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Taubat Lagi Maksiat Lagi

Pemateri: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Silahkan diunduh di bawah ini:

Unduhan # 998 KB #

NB: Klik kanan  “Unduhan” lalu pilih ” Save”

Kategori:Unduhan Tobat Tag:, ,

Kemaksiatan, Cermin Hilangnya Wibawa Umat Islam

6 Januari 2011 1 komentar

Penulis: Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Tidak diragukan lagi bahwa kehinaan dan malapetaka yang ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu disebabkan karena banyak manusia lalai, merasa tidak bersalah jika melaksanakan dosa dan kemaksiatan. Mereka pun pura-pura tidak tahu bahwa yang demikian itu akan menyebabkan turunnya ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman :

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang benar.” (Ar-Rum : 41)

Kemuliaan kaum musliminpun terpuruk dikarenakan penganutnya acuh tak acuh terhadap agamanya, yang halal menjadi haram dan sebaliknya, yang haram menjadi halal. Akibat dari semua itu dosa dan kemaksiatan menjadi sarapan pagi, siang dan malam harinya …… Wallahu Musta’an.

Umar Ibnul Khaththab berkata, “Sesungguhnya kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dengan Islam, walau bagaimanapun kita pasti menginginkan kemuliaan tersebut, tapi jika tanpa Islam, maka Allah akan menghinakan kita.” (dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi)

Dari perkataan seorang khalifah ini, jelaslah kehancuran dan kehinaan kaum muslimin akan didapat jika lalai dan meninggalkan agamanya. Maka hendaklah seluruh kaum muslimin sadar akan hal ini dan mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan dari dosa dan kemaksiatannya serta hal-hal yang akan menyebabkan ia berbuat dosa.

Adapun dampak yang ditimbulkan dari dosa dan maksiat adalah sebagai berikut :

· Sesungguhnya dengan dosa dan maksiat akan melemahkan hati dari keinginannya. Sedikit demi sedikit keinginan untuk melakukan kemaksiatan akan menguat, dan keinginan untuk bertobat akan melemah hingga akhirnya akan hilang keinginan hati untuk bertaubat secara keseluruhan.

· Seseorang akan terus melakukan perbuatan dosa dan maksiat, sehingga ia akan menganggap remeh dosa tersebut. Kalau sudah demikian maka akan datang kehancuran, sebab dosa yang dianggap remeh adalah besar di sisi Allah Ta’ala. Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin tatkala melihat dosanya seakan-akan ia berada di pinggir gunung yang ia takut gunung itu akan menimpa dirinya. Dan sesungguhnya seorang yang fajir tatkala melihat dosanya, seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya lalu membiarkannya terbang.” (HR. Bukhari)

· Sesungguhnya dosa dan maksiat akan menghilangkan rasa malu, yang merupakan tonggak kehidupan hati, pokok dari segala kebaikan, apabila hilang rasa malu maka lenyaplah kebaikan. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda: “Malu adalah kebaikan seluruhnya.” (HR. Bukhari Muslim)

· Disebabkan dosa dan maksiat, Allah Ta’ala akan melupakan hamba-Nya dan meninggalkannya, maka terjadilah kehancuran yang tidak diharapkan.

Masih banyak dampak dan akibat yang ditimbulkan dari dosa dan kemaksiatan yang harus dijauhi oleh setiap kaum muslimin…. Dengan kembali kepada agamanya, kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah, berpegang teguh kepada keduanya untuk mengembalikan ‘izzul Islam wal muslimin (Kemuliaan Islam dan Muslimin).

Wallahu A’lam bishawab

(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah Yusuf, dari Bulletin Al Wala wal Bara Edisi ke-15 Tahun ke-1 / 28 Maret 2003 M / 25 Muharrom 1424 H. Url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/15.htm#sub2)

Sumber Website: http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=139

Kategori:Pintu Tobat Tag:, ,

Berciuman dan Taubat Darinya

15 Oktober 2010 Tinggalkan komentar

Ustadz yang saya hormati. Saya ingin bertanya. Jika seorang pemuda mendekati seorang wanita lalu keduanya bercengkerama serta berciuman, lalu pemuda ini sadar dan langsung menjauhi dirinya dari wanita tersebut. Pemuda ini ingin bertaubat dari dosa-dosa yang telah diperbuat olehnya, tapi dia selalu dihantui rasa bersalah pada dirinya sendiri yang telah berbuat seperti itu. Yang ingin saya tanyakan, apakah pemuda itu bisa bertaubat dan apa pemuda itu harus meminta maaf kepada wanita tersebut ustadz? Jika iya, bagaimana kalau wanita itu tidak memaafkan serta bagaimana cara pemuda tadi menghilangkan rasa takutnya itu?

 

Dijawab oleh Al Ustadz Abu Zakaria Riski :

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah. Wash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wa ‘ala ashhabihi wasallam tasliiman katsiran. Wa ba’du.

Perbuatan zina termasuk perbuatan yang terlarang dan keji. Juga tergolong salah satu dari sekian dosa-dosa besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kalian mendekati setiap perbuatan zina, karena sesungguhnya perbuatan zina adalah perbuatan yang keji dan jalan yang teramat buruk.” (Al-Isra: 32)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah tertulis atas anak-anak keturunan Adam bagian mereka dari perbuatan zina. Niscaya dia akan mendapatinya. Kedua mata, zinanya adalah melihat. Kedua telinga, zinanya adalah mendengar. Lisan, zinanya adalah berbicara. Tangan, zinanya adalah menyentuh. Kaki, zinanya adalah melangkah. Dan hati dengan berharap dan berkhayal. Dan hal itu dibenarkan oleh kemaluan, atau didustakan.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)

Bercengkerama, berciuman, saling menyentuh dan semisalnya tergolong perbuatan zina, yang akan mengantarkan kepada perbuatan yang lebih besar. Dan perbuatan ini termasuk di antara perbuatan maksiat yang akan menjatuhkan pelakunya ke dalam perbuatan dosa besar.

Karena itulah para ulama menyebutkan bahwa taubat itu wajib atas setiap perbuatan dosa. Apabila kemaksiatan tersebut antara seorang hamba dan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada kaitannya dengan hak salah seorang bani Adam, maka haruslah memenuhi tiga syarat:

Pertama: Pelaku maksiat tersebut haruslah berlepas diri dari kemaksiatan.

Kedua: Pelaku maksiat haruslah menyesali perbuatannya.

Ketiga: Pelaku maksiat ini mesti ber’azam untuk tidak kembali melakukan maksiat tersebut selamanya.

Apabila salah satu dari tiga syarat ini tidak terpenuhi, maka taubatnya tidaklah sah.

Jika perbuatan maksiat tersebut bersinggungan dengan salah seorang anak Adam, maka syarat taubat ada empat: Tiga syarat di atas tadi, dan syarat keempat: berlepas dari hak anak Adam tersebut. Jikalau berupa harta atau semisalnya, maka dia harus mengembalikannya. Jikalau berupa dera atas sebuah tuduhan (palsu), maka dia menyerahkan dirinya untuk mendapatkan ganjaran atas tuduhan tersebut, atau meminta pengampunannya. Dan jika berupa ghibah, maka dia harus meminta penghalalan dari orang tersebut selama permintaan tersebut tidak menyebabkan mafsadat yang lebih besar. Dan diharuskan bertaubat dari seluruh perbuatan dosa. Jika dia bertaubat dari sebagian perbuatan dosa, taubatnya sah menurut pandangan ulama As-Sunnah atas dosa itu. Sementara dosa-dosa lainnya tetap tersisa. Dalil-dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan konsensus ulama Islam sangatlah jelas menunjukkan keharusan bertaubat. [1]

Jadi sepatutnyalah bagi orang tersebut untuk menyesali diri atas perbuatan maksiat yang dilakukannya dan menanamkan di dalam dirinya untuk tidak kembali melakukan perbuatan tersebut. Karena inilah hakikat taubat menurut para ulama syara’. Dan diriwayatkan dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Penyesalan diri merupakan taubat.” [2]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Kecuali orang-orang yang bertaubat setelah perbuatan -dosa- itu dan melakukan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah adalah Zat yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” (An-Nuur: 5)

Adapun laki-laki yang disebutkan pada soal tersebut, tidaklah harus meminta maaf kepada si wanita, bahkan wanita tersebut juga harus bertaubat dan menyadari kemaksiatan yang dilakukannya bersama si laki-laki. Sedangkan untuk menghilangkan rasa takut dan rasa bersalah di dalam dirinya adalah dengan benar-benar merealisasikan taubatnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyertakan amal-amal kebaikan, memperbanyak doa dan munajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Kecuali bagi yang bertaubat dan beriman serta melakukan amal shalih, maka mereka itu Allah akan gantikan keburukan mereka dengan kebaikan. Dan Allah adalah Zat yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Dan barangsiapa yang bertaubat dan melakukan amal shalih, maka sesungguhnya dia telah bertaubat kepada Allah dengan sebaik-baik taubat.” (Al-Furqan: 70-71)

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 17)

Wallahu a’lam.

Catatan kaki:

[1] Dikutip dari perkataan Imam an-Nawawi di Riyadh Ash-Shalihin hal. 37-38 dengan sedikit perubahan konteks.

[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 4252, Al-Hakim 4/243 dan beliau menshahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi, Al-Baihaqi di dalam Al-Kubra 10/154 dan selain mereka. Hadits ini juga dishahihkan oleh Al-Albani.

Sumber: Majalah Akhwat vol. 5/1431 H/2010, hal. 87-89.

URL :  http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/10/07/berciuman-dan-taubat-darinya/

Dinukil dari: http://kaahil.wordpress.com/2010/10/15/berciuman-dalam-islam-3-syarat-sah-taubat-dari-perbuatan-maksiatzina-berciuman-lidah-bibir-dll-dengan-pacar/

 

Menjatuhkan Diri Sehingga Tidak Melakukan Maksiat, Maka Diganti dengan Kebaikan oleh Allah

6 Oktober 2010 Tinggalkan komentar

Dituturkan bahwa ada seorang pemuda di kalangan kaum Bani Isra’il, yang tak ada pemuda lain yang segagah pemuda ini. Pemuda ini berprofesi sebagai penjual keranjang yang terbuat dari daun korma. Suatu hari, ketika pemuda ini menjajakan dagangannya, tiba-tiba seorang wanita keluar dari dalam rumah salah seorang raja Bani Isra’il. Ketika melihat pemuda penjaja dagangan, wanita itu bergegas masuk kembali, dan berkata kepada putri raja: “Barusan ada seorang pemuda di depan pintu rumah yang menjajakan keranjang, yang belum pernah saya melihat pemuda setampan dia. Suruh dia masuk!”

Putri raja itu pun mengatakan pada pemuda itu sesuai dengan perintah wanita itu. Lalu sang pemuda masuk, dan pintu segera dikunci. Dan putri raja menemui pemuda itu dengan muka dan bagian atas dadanya terbuka. Pemuda itu lantas mengingatkan: “Tutuplah, semoga Allah memaafkanmu.” Tapi wanita itu menanggapinya dengan: “Saya memanggilmu bukan untuk itu, melainkan untuk ini.” Lalu wanita itu merayu dan membujuk sang pemuda. Dan anak muda itu kembali menyadarkan: “Takutlah kepada Allah.”

Wanita itu bukan takut, malah mengancam pemuda dengan kata-kata: “Kalau kamu tidak menurut pada keinginan saya, akan saya laporkan pada raja bahwa kamu masuk dan mendesak saya agar melakukan hal-hal yang tidak senonoh.” Sahut pemuda itu: “Beri waktu saya untuk berwudhu.” Wanita itu pun menimpali: “Apa kamu hendak berkilah pada saya?” Pemuda itu menjawab: “Hai Nona, biarkan saya wudhu di atas gedung yang tinggi itu, tempat yang tak mungkin bagi saya untuk lari.”

Ketika pemuda itu tengah berada di atas gedung yang tinggi, dia pun berdoa: “Ya Allah, saya dibujuk untuk melakukan maksiat kepada Engkau. Dan saya lebih memilih menjatuhkan diri daripada harus maksiat pada-Mu.” Maka dengan mengucapkan “Bismillah,” dia pun menjatuhkan diri dari gedung itu. Lantas Allah menurunkan malaikat dan memegang lengan ketiak pemuda itu sehingga ia jatuh dengan posisi tegak di atas kedua kakinya. Ketika pemuda itu sudah jatuh ke tanah, dia pun berucap: “Ya Allah, kalau Engkau berkehendak, berilah saya rezeki hingga saya tak perlu lagi berjualan keranjang ini.”

Kemudian Allah mengutus sekawanan belalang yang terbuat dari emas. Diambilnya kawanan belalang emas itu sehingga memenuhi bajunya. Ketika belalang emas itu sudah berada dalam bajunya, ia pun berucap: “Ya Allah, kalau emas ini merupakan rezeki yang Kau berikan sebagai anugerah dunia, maka berilah keberkahan di dalamnya. Namun bila itu mengurangi karuniaku di sisi-Mu kelak di akhirat, maka saya tidak membutuhkannya.” Lantas ia diseru: “Belalang emas itu kami berikan untukmu sebagai salah satu ganjaran dari duapuluh lima balasan untukmu karena kesabaranmu ketika menjatuhkan diri dari gedung yang tinggi.”

Namun pemuda itu berujar: “Ya Allah, saya tidak perlu pada rezeki yang mengurangi karunia saya di sisi-Mu nanti di akhirat.” Lantas belalang emas itu pun kembali diangkat.

Sumber: Sorga di Dunia karya Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi
(penerjemah: Abu Sumayyah Syahiidah), penerbit: Pustaka Al -Kautsar, cet. Kedua, Mei 2000, hal. 81-83.

Sumber: http://menujuhidayah.wordpress.com/2010/09/21/menjatuhkan-diri-sehingga-tidak-melakukan-maksiat-maka-diganti-dengan-kebaikan-oleh-allah/

Taubat, Muara Terindah bagi Seorang Hamba

28 September 2010 Tinggalkan komentar

Laksana musafir yang singgah sejenak di suatu tempat, sekedar untuk beristirahat dan mengumpulkan bekal, lalu melanjutkan perjalanannya kembali hingga sampai ke tempat tujuannya. Demikianlah hakikat kehidupan manusia di muka bumi ini, bahwa setiap kita hakikatnya adalah musafir yang sedang berjalan menuju kampung kita yang sejati, yaitu negeri akhirat yang kekal.

Maka sudah sepantasnya kita mempersiapkan diri dan berbekal dengan ketakwaan untuk kehidupan kita yang sesungguhnya, yaitu kehidupan yang tidak ada kematian lagi setelahnya, yang ada hanyalah kebahagian selama-lamanya ataukah sebaliknya: adzab yang panjang.

Namun sudah menjadi tabiat manusia tergelincir dalam dosa, padahal tidaklah manusia itu diciptakan kecuali semata-mata untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka tatkala seseorang tergelincir ke dalam lembah kenistaan, hendaklah ia segera kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, meninggalkan kesalahannya dan bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut di masa datang. Inilah suatu amalan besar yang dinamakan dengan taubat.

Makna Taubat

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Makna taubat secara bahasa adalah kembali, sedangkan menurut perngertian syar’i taubat adalah kembali dari maksiat kepada Allah Ta’ala menuju ketaatan kepada-Nya. Dan taubat yang paling agung serta paling wajib adalah taubat dari kekafiran kepada keimanan.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَف

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, Jika mereka berhenti (bertaubat dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.” (Al-Anfal: 38)

Kemudian tingkatan taubat berikutnya adalah taubat dari dosa-dosa besar, berikutnya taubat dari dosa-dosa kecil. Dan wajib bagi setiap manusia untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari setiap dosa.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 1/38)

Kewajiban Bertaubat

Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan kewajiban yang diperintahkan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)

Juga firman Allah Ta’ala:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)

Dalam hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

عن الأَغَرِّ بنِ يسار المزنِيِّ – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – : ((يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ)) رواه مسلم

Dari al-Agar bin Yasar radhiyallahu’anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah Ta’ala, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus kali.” (HR. Muslim, no. 7034)

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Ulama telah sepakat (ijma’) atas wajibnya taubat, karena perbuatan-perbuatan dosa dapat membinasakan pelakunya dan menjauhkannya dari Allah Ta’ala, maka wajib menghindarinya dengan segera.”

Jadi, kewajiban taubat harus dilaksanakan dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda, karena semua perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam harus dilaksanakan dengan segera jika tidak ada dalil yang membolehkan penundaannya. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa menunda taubat merupakan suatu perbuatan dosa yang membutuhkan taubat tersendiri.

Syarat-syarat Taubat

Pertama: Ikhlas

Hendaklah seorang bertaubat dengan niat yang ikhlas, yaitu semata-mata mencari keridhaan Allah Ta’ala dan agar mendapatkan ampunan-Nya, bukan karena ingin dipertontonkan kepada manusia (riya’), atau hanya karena takut kepada penguasa, ataupun kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Karena taubat kepada Allah Ta’ala adalah termasuk ibadah yang harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mencontoh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).

Kedua: Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan

Karena penyesalan menunjukkan kejujuran taubat seseorang, oleh karenanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

النَّدَمُ تَوْبَة

“Penyesalan adalah taubat.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 3146, 3147)

Ketiga: Meninggalkan dosa

Meninggalkan dosa termasuk syarat taubat yang paling penting, sebab itu adalah bukti benarnya taubat seseorang, maka tidak diterima taubatnya apabila ternyata dia masih terus-menerus melakukan dosa tersebut.

Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Permohonan ampun tanpa meninggalkan dosa adalah taubatnya para pendusta.” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/3)

Adapun cara meninggalkan dosa, jika berupa kewajiban yang ditinggalkan; adalah dengan melaksanakan kewajiban itu. Sedangkan dosa melakukan perbuatan haram, maka wajib untuk segera meninggalkan perbuatan haram tersebut dengan segera dan tidak boleh terus melakukannya meskipun hanya sesaat.

Keempat: Bertekad untuk tidak mengulang kembali perbuatan dosa tersebut di masa mendatang

Apabila di dalam hati seseorang masih tersimpan keinginan untuk kembali melakukan dosa tersebut jika ada kesempatan, maka tidak sah taubatnya.

Kelima: Apabila dosa tersebut berupa kezaliman kepada orang lain, maka harus meminta maaf dan atau mengembalikan hak-hak orang lain yang diambil dengan cara yang batil

Seperti apabila seseorang pernah mencaci orang lain maka hendaklah dia meminta pemaafan orang tersebut, atau seorang yang pernah mencuri harta orang lain maka hendaklah dia meminta maaf dan mengembalikan harta tersebut atau meminta penghalalannya.

Bahaya Perbuatan zalim

Kezaliman kepada orang lain merupakan dosa besar yang mengakibatkan kebangkrutan besar pada hari kiamat. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ. قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak (lagi) memiliki dinar dan harta”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari ummatku adalah seorang yang datang (menghadap Allah Ta’ala) pada hari kiamat dengan (membawa pahala) sholat, puasa, zakat, namun ketika di dunia dia pernah mencaci fulan, menuduh fulan, memakan harta fulan, menumpahkan darah fulan, memukul fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikan yang pernah dia lakukan untuk diberikan kepada orang-orang yang pernah dia zalimi. Hingga apabila kebaikan-kebaikannya habis sebelum terbalas kezalimannya, maka kesalahan orang-orang yang pernah dia zalimi tersebut ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilempar ke neraka.” (HR. Muslim, no. 6744)

Keenam: Taubat harus pada waktunya

Apabila seseorang baru mau bertaubat setelah lewat waktunya, maka taubatnya tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Adapun waktu diterimanya taubat untuk setiap manusia adalah sebelum kematian datang menjemputnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآَنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Dan tidaklah taubat itu diberikan kepada orang-orang yang mengerjakan kejahatan sampai ketika datang kematian kepada salah seorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam keadaan kafir, bagi mereka telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (An-Nisa’: 18)

Sedangkan waktu diterimanya taubat untuk keseluruhan manusia adalah selama matahari belum terbit dari barat. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar bertaubat orang yang berbuat salah pada siang hari. Dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar bertaubat orang yang berbuat salah pada malam hari, (hal ini terus terjadi) sampai terbit matahari dari barat.” (HR. Muslim, no. 7165)

Ketujuh: Menerangkan kebenaran

Jika pelaku suatu dosa adalah pengajak atau penyeru kepada dosa tersebut maka wajib atasnya untuk menerangkan kepada ummat (terutama kepada pengikutnya) bahwa hal itu adalah kesalahan atau kesesatan. Demikian pula, apabila dosanya berupa menyembunyikan kebanaran, maka wajib baginya untuk menerangkan kebenaran tersebut.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ * إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Al-Baqarah: 159-160]

Bahaya Meremehkan Dosa

Inilah salah satu penghalang taubat, yaitu ketika seseorang meremehkan perbuatan dosa yang dia lakukan karena menganggapnya sebagai dosa kecil. Justru apabila seseorang menganggap remeh perbuatan maksiatnya kepada Allah Ta’ala maka dia telah terjatuh pada dosa besar, karena perbuatan menganggap remeh dosa merupakan satu bentuk dosa besar.

Dan dosa kecil sekali pun apabila dilakukan terus menerus, tentu akan menjadi dosa besar, sebagaimana hakikat lautan yang luas hanyalah kumpulan tetesan-tetesan air yang sanggup menjadi ombak yang besar. Demikianlah dosa-dosa kecil, apabila berkumpul pada diri seseorang niscaya akan membinasakannya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إياكم ومُحقراتُ الذنُوبِ، كقَومٍ نَزلُوا في بطْنِ وادٍ فجاءَ ذا بعودٍ ، وجاء ذا بعودٍ حتى أنضَجُوا خبزتهم ، وإنَّ محقَّراتِ الذُّنوب متى يُؤخذ بها صاحبُها تُهلِكْهُ

“Hati-hatilah dengan dosa-dosa kecil, (karena dosa-dosa kecil itu) bagaikan suatu kaum yang turun di suatu lembah dan masing-masing orang membawa satu ranting kayu bakar yang pada akhirnya bisa menyalakan api hingga mereka bisa memasak roti mereka. Demikianlah dosa-dosa kecil, apabila berkumpul dalam diri seseorang niscaya akan membinasakannya.” (HR. Thabrani, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shohihah, no. 3102)

Maka hendaklah setiap kita bersegera untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala, terlebih lagi ketika kita tidak mengetahui kapan kita akan dipanggil oleh Allah Ta’ala dan berpisah dengan kehidupan dunia ini, untuk kemudian dimintai pertanggungjawaban atas setiap perbuatan kita.

Dan janganlah seseorang berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah Ta’ala betapa pun besarnya dosa yang telah dia kerjakan, karena hakikat seorang hamba yang baik bukanlah yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali, tapi hamba Allah Ta’ala yang terbaik adalah seorang yang apabila dia berbuat dosa, dia senantiasa bertaubat kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

كُلُّ بنِي آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak adam senantiasa berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang senantiasa bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 3139)

Wabillahit taufiq, walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Dinukil dari: http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/02/taubat-muara-terindah-bagi-seorang-hamba/

Pintu Taubat Masih Terbuka

9 Juni 2010 2 komentar

Romadhon telah lewat membawa kenangan yang banyak bagi kaum muslimin. Secercah harapan terpatri dalam sanubari setiap insan yang mencoba menggapai ridho ilahi. Dari balik penghambaan dan penghinaan diri di hadapan Allah Robb semesta alam, lahir sebuah cita dan rasa untuk menapaki jalan-jalan yang disinari oleh lentera-lentera keimanan, ilmu, dan amal sholeh.

Gema takbir, tahmid, dan tahlil menembus relung hati yang paling dalam; gembira, dan bangga dengan kebersaman kaum muslimin di Hari Raya Ied itu. Sang Khothib mulai menabur ilmu, menebar hikmah. Kata demi kata menyeruak dalam kalbu setiap manusia. Nampak sebuah sosok nun jauh terdiam seribu bahasa, menyesali, dan menangisi noda dan bercak hitam dari dosa yang ia lakukan dahulu. Dia hanya bisa terdiam menangis sambil mendengar nasihat dari seorang khothib. Segala kenangan pahit dari kehidupan yang ternodai dengan kedurhakaan kepada Allah Sang Maha Pencipta tiba-tiba muncul satu demi satu. Khotib itu seakan-akan berbicara kepadanya, “Kenapa engkau dahulu lalai di masa lalumu…engkau lancang kepada Allah, tak mau menundukkan wajah bersujud kepada-Nya…engkau merasa aman dari dosa sehingga berani menenggak khomer…kenapa engkau mendurhakai orang tuamu, padahal dialah merawatmu dengan penuh kasih. Lalu engkau balas dengan kedurhakaan. Segala penderitaan, dan musibah, mereka lalui demi merawat dirimu. Kebaikan itu engkau balas dengan kekejaman, kekasaran, ketidaksopanan, dan seterusnya. Usai sholat ied ini engkau pulanglah kepada orang tuamu; peluklah dan cium kedua tangannya dengan penuh sayang sambil meminta maafnya”. Sosok manusia ini semakin membludak kesedihannya. Butiran-butiran air mata penyesalan dan taubat menetes bak embun suci di pagi hari membasahi bumi. Dia melirik karena malu dilihat orang, ternyata sekumpulan manusia pun menangis saat mendengar khotib. Sosok ini bertanya, “Adakah pintu taubat bagiku?” Sang Khothib ketika itu mengakhiri khutbahnya, “Pintu taubat bagi orang-orang yang berdosa masih terbuka…”.

Setelah itu sang khotib pun mulai membawakan ayat-ayat suci, dan kalam nabawi.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersamanya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”. (QS. At-Tahrim : 8).

“Masihkah Ada Pintu Taubat Bagiku?” Pertanyaan ini juga pernah terlontar dari mulut seorang bajingan durjana yang pernah melumuri kehidupannya dengan berbagai macam maksiat. Dia adalah sebuah pribadi yang biadab sampai ia telah menumpahkan darah, dan membunuh 100 nyawa sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits yang shohih.

Pembaca yang budiman, cerita dan kisah pembunuh 100 nyawa tersebut, ada baiknya kami sajikan agar para pembaca bisa meneguk ibroh dari lautan ilmu yang terdapat dalam kalam nabawi (sabda Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-).

Kisahnya, Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,

كَانَ فِيْمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا, فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ, فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ , فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا فَهَلْ لَهْ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فَقَالَ: لاَ, فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً, ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ, فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ, فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ , فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فَقَالَ: نَعَمْ, وَمَنْ يَحُوْلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ ؟ اِنْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا , فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُوْنَ اللهَ, فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ, فَإِنَّهَا أَرْضُ سُوْءٍ, فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيْقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ, فَاخْتَصَمَتْ فِيْهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ, فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ : جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ, وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ, فَأَتَاهُ مَلَكٌ فِيْ صُوْرَةِ آدَمِيٍّ, فَجَعَلُوْهُ حَكَمًا بَيْنَهُمْ, فَقَالَ: قِيْسُوْا مَا بَيْنَ اْلأَرْضَيْنِ , فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ, فَقَاسُوْهُ فَوَجَدُوْهُ أَدْنَى إِلَى اْلأَرْضِ الَّتِيْ أَرَادَ, فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ

“Dahulu ada seorang laki-laki sebelum kalian yang telah membunuh 99 nyawa. Dia bertanya tentang orang yang paling berilmu di atas permukaan bumi. Lalu ditunjukkanlah seorang rahib (ahli ibadah). Kemudian ia pun datang kepada sang rahib seraya mengatakan bahwa dirinya telah membunuh 99 nyawa. Apakah masih ada taubat baginya? “tidak ada!!”, tukas si rahib. Maka orang itu membunuh si rahib dan menyempurnakan (bilangan 99) dengan membunuh si rahib menjadi 100 nyawa. Kemudian ia bertanya lagi tentang orang yang paling berilmu di atas pemukaan bumi. Lalu ditunjukkan seorang yang berilmu (ulama’) seraya menyatakan bahwa dirinya telah membunuh 100 nyawa, apakah masih ada taubat baginya. Orang yang berilmu itu menyatakan bahwa siapakah yang menghalangi antara dirinya dengan taubat? “Berangkatlah engkau ke negeri demikian dan demikian, karena disana ada sekelompok manusia yang menyembah Allah -Ta’ala- . Maka sembahlah Allah bersama mereka, dan janganlah engkau kembali kembali ke kampungmu, karena ia adalah kampung yang jelek”, kata orang yang beilmu itu. Orang itu pun berangkat sampai di tengah perjalanan, ia di datangi oleh kematian. Maka para malaikat rahmat, dan malaikat adzab (siksa) pun bertengkar tentang orang itu. Malaikat rahmat berkata, “Dia (bekas pembunuh) ini telah datang dalam keadaan bertaubat lagi menghadapkan hatinya kepada Allah -Ta’ala-“. Malaikat adzab berkata, “Orang ini sama sekali belum mengamalkan suatu kebaikan”. Lalu mereka (para malaikat itu) pun didatangi oleh seorang malaikat dalam bentuk seorang manusia. Mereka (para malaikat) pun menjadikannya sebagai hakim. Malaikat (yang menjadi hakim) berkata, “Ukurlah antara dua tempat itu; kemana saja laki-laki lebih itu dekat, maka berarti ia kesitu”. Mereka mengukurnya; ternyata laki-laki itu lebih dekat ke negeri yang ia inginkan. Akhirnya malaikat rahmat menggenggam (ruh)nya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Anbiyaa’, bab: Am Hasibta anna Ashhaba Kahfi war Roqim (3283), Muslim dalam Kitab At-Taubah, bab: Qobul Taubah Al-Qotil Wa in Katsuro qotluh (2766), Ibnu Majah dalam Kitab Ad-Diyat, bab: Hal li Qotil Al-Mu’min Taubah (2622)]

Hadits ini adalah hadits yang shohih dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam– ketika beliau menceritakan sebagian diantara berita-berita gaib orang-orang Bani Isra’il. Berita ini beliau terima melalui wahyu dari Allah, bukan dari kitab Taurat, atau Injil.

Hadits ini banyak mengandung mutiara hikmah yang terpancar dari wahyu Allah -Ta’ala- . Para ulama’ telah mengeluarkan hikmah, dan faedah-faedahnya dalam kitab-kitab hadits.

Di dalam hadits ini terdapat bimbingan bagi kita agar seorang ketika ingin bertaubat, maka hendaknya ia meninggalkan kampung halamannya yang penuh dengan maksiat atau kekafiran, karena dikhawatirkan ia akan kembali kepada kebiasaannya berupa maksiat atau kekafiran yang pernah ia lakukan dahulu sebelum taubat. Selain itu, teman juga punya pengaruh besar dalam mengembalikan seseorang ke lembah maksiat. Berapa banyak manusia yang dahulu mau bertaubat, bahkan sudah bertaubat dari kebiasaannya, seperti zina, khomer, dan lainnya. Namun beberapa saat kemudian ia kembali lagi kepada kebiasaannya yang buruk tersebut. Oleh karena itu Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ, فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ

“Seorang itu berada di atas jalan hidup (kebiasaan) temannya. Lantaran itu, hendaknya seseorang diantara kalian memeperhatikan orang yang ia temani”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4833), dan At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2378). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (927)]

Abu Hamid-rahimahullah- berkata, “Menemani orang yang bersemangat akan membangkitkan semangat. Menemani orang yang zuhud akan membuat kita zuhud terhadap dunia, karena tabiat manusia tercipta untuk selalu menyerupai dan meneladani orang”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy bi Syarh Jami’ At-Tirmidziy (7/42), cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah]

Jadi, seorang yang mau bertaubat, atau sudah bertaubat, namun ia masih tetap bergaul dan bersahabat dengan teman-teman lamanya dari kalangan ahli maksiat, maka yakin bahwa orang itu tak bisa bertaubat dengan benar. Kalaupun ia bisa bertaubat, maka taubatnya tak akan nashuha (murni).

Al-Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy-rahimahullah- berkata ketika mengomentari hadits pembunuh 100 nyawa di atas, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan berpindah dari kampung yang ia bermaksiat di dalamnya, karena sesuai dengan pengalaman, orang seperti ini akan terkalahkan (terpengaruh), entah karena ia teringat dengan perbuatan-perbuatannya yang lalu sebelum ia taubat, dan terpengaruh dengannya, atau entah karena ada orang yang menolongnya kepada maksiat, dan mendorongnya kepada hal itu. Oleh karena ini, pada akhir hadits beliau bersabda, “…dan janganlah engkau kembali ke kampungmu, karena ia adalah kampung yang jelek”. Jadi, di dalamnya terdapat isyarat bahwa seorang yang mau bertaubat seyogyanya meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya yang telah biasa ia lakukan dahulu di masa ia bermaksiat, dan berpindah darinya seluruhnya”. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (6/517), cet. Darul Ma’rifah]

Inilah jalan bagi orang yang mau bertaubat. Seorang yang mau taubat nasuha, ia harus meninggalkan maksiat, menyesali maksiatnya, dan bertekad kuat untuk tidak kembali lagi kepadanya. Jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia kembalikan, dan meminta maaf kepadanya. [Lihat Riyadhus Sholihinmin Kalam Sayyid Al-Mursalin (hal. 17), karya An-Nawawiy -rahimahullah-]

Taubat nashuha (taubat yang murni dan sungguh-sungguh) tak mungkin akan tercapai dan berkelanjutan, kecuali jika seseorang tak mau meninggalkan lingkungannya yang rusak, lalu mencari lingkungan yang jauh dari perkara-perkara yang mendorong dirinya terjatuh dalam maksiat. Oleh karena itu, seorang dianjurkan untuk berangkat mencari lingkungan orang-orang beriman, dan beramal sholeh yang terhiasi oleh cahaya ilmu. Sehingga ia bisa mendapatkan teman dari kalangan orang sholeh, dan berilmu yang membantu dirinya untuk selalu taat, dan tegar dalam meninggalkan maksiat.

Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaliyhafizhahullah– berkata saat memetik beberapa buah faedah hadits di atas, “(Di dalam hadits ini terkandung beberapa faedah, di antaranya,) disyari’atkan berpindah dari kampung yang ia bermaksiat kepada Allah di dalamnya menuju kepada negeri yang Allah tidak dimaksiati di dalamnya, atau penduduknya lebih sedikit kejelekannya dibandingkan yang pertama. Seyogyanya bagi orang yang bertaubat agar ia meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang ia biasa kerjakan di masa ia senang bermaksiat, dan berubah, serta menyibukkan diri dengan selainnya. Menemani orang yang berilmu agama, bertaqwa, dan sholeh akan sangat membantu untuk taat kepada Allah, dan mengekang setan. Bersabarnya seseorang dalam usaha mencari orang-orang yang sholeh merupakan dalil (tanda) yang menunjukkan tentang benarnya kemauan seseorang dalam bertaubat kepada Allah”. [Lihat Bahjah An-Nazhirin (1/62), cet. Dar Ibnul Jauziy, 1422 H]

Jadi, seseorang yang jujur taubatnya akan nampak pada dirinya tanda-tanda perubahan, dan usaha untuk berubah. Oleh karena itu, seorang tak mungkin akan dikatakan jujur bertaubat, jika ia masih dalam kebiasaannya bermaksiat, dan tidak ada usaha pada dirinya untuk meninggalkan teman-temannya lamanya yang menjerumuskan dirinya dalam lembah maksiat. Seorang tak cukup hanya mengucapkan, “Astaghfirullah” (Aku memohon ampunan dosa kepada), lalu tak ada perubahan pada dirinya untuk baik, dan tak mau meninggalkan teman-teman lamanya.

Terakhir kami nasihatkan dengan firman Allah -Ta’ala- ,

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nuur: 31).

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 81 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Pentobat Maksiat menukil dari: http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/pintu-taubat-masih-terbuka.html

Jangan Biarkan Tangan Itu Merenggutmu

Penulis: Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim

Dunia telah menawarkan gemerlap perhiasannya. Di sana ada sisi-sisi kehidupan yang mengancam kehormatan kaum wanita. Tak layak kita lalai menelaah ancaman itu melalui untaian nasihat untuk mengingatkan setiap wanita muslimah yang menginginkan keselamatan.

Saudariku muslimah, hendaknya engkau waspada akan bahaya hubungan yang haram dan segala yang berselubung “cinta” namun menyembunyikan sesuatu yang nista. Engkau pun hendaknya berhati-hati terhadap pergaulan bebas dengan para pemuda ataupun laki-laki tak bermoral yang ingin merampas kehormatanmu di balik kedok “cinta”.

Duhai saudariku muslimah – semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya padamu – ada hal-hal yang semestinya engkau waspadai :

Pertama, tabarruj1. Hati-hatilah, jangan sampai dirimu terjatuh dalam perangkapnya dan janganlah kecantikan yang Allah anugerahkan kepadamu membuatmu terpedaya. Sesungguhnya akhir dari sebuah kecantikan hanyalah bangkai yang menjijikkan dalam kegelapan kubur dan secarik kain kafan, beserta cacing-cacing yang merasa iri padamu dan merampas kecantikan itu darimu.

Ingatlah Saudariku, wanita yang bertabarruj berhak mendapatkan laknat, sebagaimana sabda Nabi 2 :
“Laknatilah mereka (wanita yang bertabarruj), karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terlaknat”.

Bahkan beliau  telah bersabda3:
“Dan wanita-wanita yang berpakaian namun (pada hakekatnya) telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk ke dalam surga, bahkan mereka tidak akan dapat mencium harumnya surga, padahal wanginya dapat tercium dari jarak sekian-sekian”.

Tidakkah engkau ketahui, duhai Saudariku, saat ini wanita telah menjadi barang dagangan yang murah. Buktinya adalah iklan-iklan televisi. Tidaklah engkau melihat iklan sepatu atau alat-alat olahraga, bahkan iklan kolam renang, pasti di sana ditayangkan sosok wanita.

Di manakah gerangan orang-orang yang menuntut kebebasan kaum wanita? Sesungguhnya mereka menuntut kebebasan wanita bukanlah karena simpati atau iba terhadap wanita, justru mereka menuntut kebebasan itu agar dapat menikmati wanita!

Satu bukti bahwa wanita itu tidak berharga di sisi mereka adalah ucapan salah seorang dari “serigala” tak bermoral. Ia menyatakan: ”Gelas (khamar) dan perempuan cantik lebih banyak menghancurkan umat Muhammad daripada seribu senjata. Maka tenggelamkanlah mereka dalam cinta syahwat”.

Tahukah dirimu, bagaimana para wanita diperdagangkan oleh orang-orang yang menuntut kebebasannya? Seakan-akan mereka berkata:
Janganlah kau tertipu dengan senyumanku
Karena kata-kataku membuatmu tertawa,
Namun sesungguhnya perbuatanku membuatmu menangis

Yang kedua, telepon. Berapa banyak sudah pemudi yang direnggut kesuciannya dan ditimpa kehancuran dalam kehidupannya? Bahkan sebagian di antara mereka bunuh diri. Semua itu tidak lain disebabkan oleh telepon.

Coba engkau simak kisah ini! Sungguh, di dalamnya tersimpan pelajaran berharga. Ada seorang gadis berkenalan dengan seorang pemuda melalui telepon, kemudian mereka menjalin hubungan akrab. Seiring berlalunya waktu tumbuhlah benih-benih asmara di antara mereka. Suatu hari “serigala” itu mengajaknya pergi. Tatkala ia berada di atas mobil, lelaki itu menghisap rokok.

Ternyata asap rokok itu membiusnya. Setelah sadar ia temukan dirinya berada di depan pintu rumahnya dalam keadaan telah dilecehkan kehormatannya. Ia mendapati dirinya mengandung anak hasil zina. Akhirnya gadis itu bunuh diri, karena ingin lari dari aib dan cela. Sungguh lelaki itu ibarat seekor serigala yang memangsa kambing betina. Setelah puas mengambil apa yang ia kehendaki, ia pergi dan meninggalkannya.
Yang ketiga, khalwat.4 Semestinya engkau jauhi khalwat, karena khalwat adalah awal bencana yang akan menimpamu, sebagaimana ucapan Nabi 5 :
“Tidaklah seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang perempuan kecuali yang ketiganya adalah syaitan”.

Apabila syaitan datang padamu, ia akan menjerumuskanmu dalam musibah. Berapa banyak gadis yang diperdaya oleh lelaki tak bermoral, hingga terjadilah perkara yang keji. Semuanya dikemas dengan label “cinta”.

Ada seorang gadis pergi berdua bersama pasangannya, lalu lelaki itu merayunya dengan kata-kata yang manis. Dikatakannya pada gadis itu, yang mereka lakukan itu adalah sesuatu yang indah dan menyenangkan. Akhirnya lelaki itu pun mengajaknya pergi ke tempat yang sunyi. Ketika sang gadis meminta untuk pulang, lelaki itu menolaknya, kemudian…

Keempat, pergaulan yang jelek. Nabi  bersabda6 :
“Seseorang itu ada diatas agama temannya, maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa yang ia jadikan teman”

Wahai saudariku, ambillah pelajaran dari selainmu, sebelum engkau mengalami apa yang ia alami. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dapat memetik nasihat dari peristiwa yang menimpa orang lain, dan orang yang celaka adalah orang yang hanya bisa mendapat nasihat dari sesuatu yang menimpa dirinya sendiri.

Akhirnya, segala puji hanyalah bagi Allah Rabb seluruh alam.

(diterjemahkan dari kitabUkhti Al Muslimah Ihdzari Adz Dzi’ab karya Salim Al ‘Ajmi
oleh Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim)

Catatan Kaki:
1. Tabarruj adalah berhias di depan selain mahramnya
2. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad nomor 7083 dengan tahqiq Ahmad Syakir. Beliau mengatakan :”Sanad hadits ini shahih”.
3. Diriwayatkan Imam Muslim nomor 2128.
4. Khalwat adalah berdua-duaan dengan selain mahram.
5. Shahih Sunan At-Tirmidzi karya Syaikh Al Albani : 1187 dan dalam Silsilah Ash-Shahihah karya beliau juga nomor hadits 430.
6. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud, lihatlah Silsilah Ash-Shahihah Imam Al-Albani nomor 927.

Pentobat Maksiat menukil dari: http://asysyariah.com/print.php?id_online=80


Jangan Meremehkan Dosa

Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad AbdulMu’thi

Manusia adalah makhluk yang lalai. Tidak hanya lalai untuk mengerjakan amal ketakwaan namun juga lalai dari dosa-dosa. Lebih memilukan lagi jika manusia acap mengentengkan dosa atau maksiat yang ia perbuat. Seolah-olah dengan sikapnya itu, ia aman dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia ataupun di akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan bumi dan menghiasinya dengan berbagai perhiasan yang indah dan menawan untuk menguji hamba-Nya, siapa di antara mereka yang taat kepada-Nya dan siapa yang membangkang perintah-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى اْلأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً. وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang ada di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (Al-Kahfi: 7-8)

Diperintahnya hamba untuk melakukan kebaikan dan dilarangnya dari kemaksiatan adalah semata-mata demi kebaikan hamba, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat penyayang terhadap manusia. Dan suatu hal yang pasti bahwa tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan suatu kebaikan sekecil apapun kecuali pasti di dalamnya terkandung maslahat, baik disadari ataupun tidak. Demikian pula jika melarang sesuatu, tentu di dalamnya terdapat mudarat yang membahayakan hamba.

Kewajiban Mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Takut Kepada-Nya
Tak kenal maka tak sayang. Demikian keadaan orang yang tidak mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sehingga, sesuai dengan kadar pengetahuan seseorang terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebatas itu pula pengagungannya terhadap-Nya. Sesungguhnya mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benar pengenalan merupakan pokok kebaikan. Dengannya, seseorang selalu merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga tidaklah dia berucap kecuali yang benar dan tidak berbuat melainkan yang baik. Berbeda dengan orang yang tidak mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benar pengenalan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya.” (Az-Zumar: 67)

Ayat ini mencakup setiap orang yang meremehkan kedudukan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti orang-orang atheis yang mengingkari adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula orang–orang musyrik yang meyakini adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala serta meyakini bahwa Ia yang mengatur alam semesta, namun dalam beribadah mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Ayat ini juga meliputi orang–orang yang mengingkari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-sifat-Nya atau memercayainya tetapi menakwilkannya dengan selain makna yang sesungguhnya.

Termasuk meremehkan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bermaksiat kepada-Nya dan melakukan apa yang diharamkan-Nya berupa kemaksiatan, serta meninggalkan ketaatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan.

Suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa orang yang membangkang kepada makhluk (misalnya raja) berarti dia telah meremehkannya. Bagaimana dengan orang yang membangkang terhadap Al-Khaliq (Allah Subhanahu wa Ta’ala)?! (Lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab At-Tauhid Asy-Syaikh Al-Fauzan, 2/442-447)

Sebab-sebab Terjatuhnya Seseorang dalam Maksiat

Sesungguhnya lemahnya keimanan dan keyakinan seseorang terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang menciptakan makhluk dan yang mengaturnya, merupakan perkara yang berbahaya. Tidak adanya perasaan takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyebabkan seseorang meremehkan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ancaman-Nya. Janji-Nya di dunia (bagi yang taat) adalah kemenangan dan kebahagiaan, serta di akhirat adalah surga yang luasnya seperti langit dan bumi. Adapun ancaman-Nya (bagi yang membangkang) di dunia adalah kehinaan dan ketidaktentraman, serta di akhirat kelak adalah belenggu yang melilit tubuhnya dan diseret ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan atas hamba yang beriman untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta takut kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Adalah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kalau seandainya ada yang memanggil dari langit: ‘Wahai manusia, seluruh kalian masuk surga kecuali satu orang,’ maka saya khawatir bahwa sayalah orangnya.”

Di antara sebab terjatuhnya seseorang ke dalam maksiat adalah kebodohan seseorang tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan syariat-Nya. Kebodohan merupakan penyakit kronis yang jika tidak segera diobati akan membinasakan pemiliknya. Obat dari kebodohan adalah mempelajari Al-Qur`an dan Sunnah (hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Cinta dunia dan tenggelam dalam kelezatannya sehingga melalaikan dari ketaatan juga faktor utama yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam dosa. Demikian pula lalai dengan tujuan hidup yang sesungguhnya serta tidak mau mengambil pelajaran dari yang telah lewat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لاَ يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلاَ مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَ يَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الْغَرُورُ

“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian dan takutlah suatu hari yang (pada hari itu) seorang ayah tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong ayahnya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayamu dan jangan pula penipu (syaitan) memperdayamu dalam menaati Allah.” (Luqman: 33)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَكَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنْ قَرْنٍ هُمْ أَشَدُّ مِنْهُمْ بَطْشًا فَنَقَّبُوا فِي الْبِلاَدِ هَلْ مِنْ مَحِيصٍ

“Dan berapa banyak umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, padahal mereka (yang telah dibinasakan itu) pernah menjelajahi beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?” (Qaf: 36) [Lihat Taujihul Muslimin ila Thariq An-Nashri Wat Tamkin karya Muhammad Jamil Zainu, dkk, hal. 39-45)

Tingkatan-tingkatan Dosa

Dosa adalah bentuk pelanggaran terhadap larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala atau meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya. Dan dosa itu bertingkat-tingkat kejahatannya. Ada yang besar dan ada pula yang kecil. Adapun dosa besar adalah setiap pelanggaran yang pelakunya mendapatkan had (hukuman yang telah ada ketentuannya dari syariat) seperti membunuh, berzina dan mencuri, atau yang ada ancaman secara khusus di akhirat nanti berupa adzab dan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau yang pelakunya dilaknat melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Al-Kaba`ir karya Adz-Dzahabi rahimahullahu hal. 13-14, cet. Maktabah As Sunnah)

Adapun jumlah dosa besar lebih dari tujuh puluh. Sekian banyak dosa besar itupun bertingkat-tingkat. Ada dosa besar yang paling besar misalnya syirik, membunuh jiwa tanpa hak, dan durhaka kepada orangtua. Karena bahaya yang mengancam pelaku dosa besar di dunia dan di akhirat nanti, kita dapati sebagian ulama Ahlus Sunnah menulis kitab tentang dosa-dosa besar (al-kaba`ir) semisal Al-Imam Adz-Dzahabi dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumallah. Hal ini agar orang tahu tentang dosa-dosa besar sehingga mereka akan menjauhinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan surga dan ampunan-Nya bagi yang menjauhi dosa-dosa besar sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلاً كَرِيْمًا

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (An-Nisa`: 31)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah menjadikan orang yang meninggalkan dosa-dosa besar masuk dalam golongan orang yang beriman dan bertawakal kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ اْلإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

“Maka segala sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang–orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal, dan bagi orang–orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (Asy-Syura: 36-37)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصَّلاَة ُالْـخَمْسُ وَالْـجُمُعَةُ إِلَى الْـجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu dan Jum’at ke Ju’mat (berikutnya) adalah penghapus apa yang di antaranya dari dosa selagi dosa besar tidak didatangi (dilakukan).” (HR. Muslim Kitabut Thaharah Bab Fadhlul Wudhu wash Shalah ‘Aqibihi no. 233 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Kapan suatu Dosa menjadi Besar?

Ketika hendak melakukan dosa, janganlah melihat kepada kecilnya dosa. Namun lihatlah, kepada siapa dia berbuat dosa? Patutkah bagi seseorang yang diciptakan dan diberi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sarana yang lengkap dan cukup, lantas melanggar larangan-Nya?!
Sesungguhnya suatu dosa bisa menjadi besar karena hal-hal berikut:

1. Dosa yang dilakukan secara rutin.

Sehingga dahulu dikatakan: “Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus, dan tidak ada dosa besar jika diikuti istighfar (permintaan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).”

2. Menganggap remeh suatu dosa.

Ketika seorang hamba menganggap besar dosa yang dilakukannya maka menjadi kecil di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun jika ia menganggap kecil maka menjadi besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan dalam suatu atsar bahwa seorang mukmin melihat dosa-dosanya laksana dia duduk di bawah gunung di mana ia khawatir gunung itu akan menimpanya.

Sedangkan orang durhaka melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia halau dengan tangannya. (Shahih Al-Bukhari no. 6308)

3. Bangga dengan dosa yang dilakukannya serta menganggap bisa melakukan dosa sebagai suatu nikmat.

Setiap kali seorang hamba menganggap manis suatu dosa, maka menjadi besar kemaksiatannya serta besar pula pengaruhnya dalam menghitamkan hati. Karena setiap kali seorang berbuat dosa, akan dititik hitam pada hatinya.

4. Menganggap ringan suatu dosa karena mengira ditutupi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diberi tangguh serta tidak segera dibeberkan atau diadzab.

Orang yang seperti ini tidak tahu bahwa ditangguhkannya adzab adalah agar bertambah dosanya.

5. Sengaja menampakkan dosa di mana sebelumnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mendorong orang yang pada dirinya ada bibit–bibit kejahatan untuk ikut melakukannya.

Demikian pula orang yang sengaja berbuat maksiat di hadapan orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتِـي مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ الْـمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُولُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا؛ وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

“Semua umatku dimaafkan oleh Allah kecuali orang yang berbuat (maksiat) terang-terangan. Dan di antara bentuk menampakkan maksiat adalah seorang melakukan pada malam hari perbuatan (dosa) dan berada di pagi hari Allah menutupi (tidak membeberkan) dosanya lalu dia berkata: ‘Wahai Si fulan, tadi malam aku melakukan begini dan begini.’ Padahal dia berada di malam hari ditutupi oleh Rabbnya namun di pagi hari ia membuka apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tutupi darinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Ibnu Baththal rahimahullahu mengatakan: “Menampakkan maksiat merupakan bentuk pelecehan terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya, dan orang–orang shalih dari kaum mukminin…” (Fathul Bari, 10/486)

Sebagian salaf mengatakan: “Janganlah kamu berbuat dosa. Jika memang terpaksa melakukannya, maka jangan kamu mendorong orang lain kepadanya, nantinya kamu melakukan dua dosa.”

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ

“Orang–orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma’ruf.” (At-Taubah: 67)

6. Dosa menjadi besar jika dilakukan seorang yang alim (berilmu) yang menjadi panutan. (Lihat Taujihul Muslimin ila Thariq An-Nashri Wat Tamkin hal. 29-32 karya Muhammad Jamil Zainu)

Pengaruh Dosa atau Maksiat

Pengaruh dosa terhadap hati seperti bahayanya racun bagi tubuh. Dan tidak ada suatu kejelekan di dunia dan di akhirat kecuali sebabnya adalah dosa dan maksiat.

Apakah yang menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga -tempat yang penuh kelezatan dan kenikmatan- kepada negeri yang terdapat berbagai penderitaan (dunia)?!

Apa pula yang menyebabkan Iblis diusir dari kerajaan yang ada di langit serta mendapat kutukan Allah k?!

Dengan sebab apa kaum Nabi Nuh ‘alaihissallam yang kufur ditenggelamkan oleh banjir, kaum ‘Aad dibinasakan oleh angin, serta berbagai siksaan di dunia yang menimpa umat-umat terdahulu sehingga ada yang diubah tubuhnya menjadi kera dan babi?

Itu semua adalah akibat dari dosa yang mereka lakukan. Hendaklah peristiwa yang telah berlalu cukup menjadi pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang setelahnya. Karena orang yang baik adalah yang mampu mengambil pelajaran dari orang lain dan bukan menjadi pelajaran yang jelek bagi generasi setelahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَكُلاًّ أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ اْلأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa sebab dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-‘Ankabut: 40)

Dosa menghalangi seorang dari memperoleh ilmu yang bermanfaat. Karena ilmu merupakan cahaya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala letakkan pada hati seseorang, sedangkan maksiat yang akan meredupkan cahaya tersebut. Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu duduk di hadapan gurunya, Al-Imam Malik t, sang guru melihat kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i t. Maka ia berpesan kepadanya: “Sungguh, aku memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan pada hatimu cahaya, maka janganlah kau padamkan dengan gelapnya kemaksiatan.”

Maksiat menyebabkan seorang terhalang dari rizki, sebagaimana sebaliknya yaitu takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendatangkan rizki.

Adanya kegersangan pada hati orang yang berbuat maksiat dan kesenjangan antara dia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Disulitkan urusannya, sehingga tidaklah ia menuju kepada suatu perkara kecuali ia mendapatkannya tertutup.

Kegelapan yang ia dapatkan pada hatinya. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sesungguhnya kebaikan mendatangkan sinar pada wajah, cahaya di hati, luasnya rizki, kuatnya badan, dan dicintai oleh makhluk. Sedangkan kejelekan (kemaksiatan) akan menimbulkan hitamnya wajah, gelapnya hati, lemahnya badan, berkurangnya rizki, dan kebencian hati para makhluk.

Kemaksiatan melenyapkan barakah umur serta memendekkannya. Karena, sebagaimana kebaikan menambahkan umur, maka (sebaliknya) kedurhakaan memendekkan umur.

Tabiat dari kemaksiatan adalah melahirkan kemaksiatan yang lainnya. Lihatlah hasad yang ada pada saudara-saudara Nabi Yusuf ‘alaihissallam yang menyeret mereka kepada tindakan memisahkan antara bapak dan anaknya sehingga menimbulkan kesedihan pada orang lain, memutuskan hubungan kekerabatan, berucap dengan kedustaan, membodohi orang, dan yang sejenisnya.

Kemaksiatan menjadikan seorang hamba hina di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Mereka (pelaku maksiat) rendah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga mereka bermaksiat kepada-Nya, karena seandainya mereka orang yang mulia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah k akan jaga mereka dari dosa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُهِنِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ

“Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya.” (Al-Hajj: 18)

Kemaksiatan mengundang kehinaan, merusak akal. Dan jika dosa telah banyak maka pelakunya akan ditutup hatinya sehingga digolongkan sebagai orang–orang yang lalai.

Dosa memunculkan berbagai kerusakan di muka bumi, pada air, udara, tanaman, buah-buahan, dan tempat tinggal.

Kemaksiatan menghilangkan sifat malu yang merupakan pokok segala kebaikan serta melemahkan hati pelakunya.

Kemaksiatan menyebabkan hilangnya nikmat dan mendatangkan adzab. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tidaklah turun suatu bencana kecuali karena dosa, dan tidaklah dicegah suatu bencana kecuali dengan taubat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30) [Lihat Al-Jawabul Kafi: 113-208, Taujihul Muslimin hal. 58-61]

Pelajaran dan Nasihat

Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihissallam dengan Tangan-Nya, Ia memuliakannya di hadapan para malaikat dengan memerintahkan mereka sujud kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarinya nama-nama segala sesuatu serta menempatkannya bersama istrinya Hawa di dalam surga, tempat berhuninya beragam nikmat. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memperingatkan kepada keduanya dari bahaya godaan Iblis serta melarang keduanya dari memakan dari buah pohon di surga, sebagai ujian.

Tetapi Iblis yang terkutuk selalu menggoda dengan bujuk rayunya yang manis hingga Adam dan Hawa memakan dari pohon yang terlarang tersebut. Keduanya pun bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dengan serta-merta lepaslah baju keduanya sehingga tampak auratnya. Kemudian keduanya dikeluarkan dari surga ke bumi, tempat yang penuh dengan kekeruhan dan keletihan. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala masih sayang kepada mereka berdua di mana keduanya sadar akan kesalahannya dan bertaubat sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuninya.

Perhatikan peristiwa yang menimpa Adam dan Hawa! Tadinya menempati surga dengan keindahannya serta dihormati oleh malaikat. Namun dengan satu kemaksiatan, kemuliaan dicabut, bajupun menjadi lepas sehingga tersingkap auratnya, serta harus menjalani kehidupan yang sengsara di dunia setelah sebelumnya hidup sentosa di surga.

Demikian pula di saat perang Uhud pada tahun ke-3 Hijriah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan pasukan pemanah di atas bukit. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka untuk tidak meninggalkan posisi mereka baik muslimin kalah atau menang. Pada awalnya muslimin mampu memukul mundur pasukan musyrikin sehingga tiba saatnya mereka memunguti harta rampasan perang.

Para pemanah menyangka bahwa perang telah usai dan mengira tidak ada manfaatnya lagi mereka tetap di atas bukit. Sehingga sebagian mereka ingin turun, tetapi ditegur oleh sebagian yang lain dengan pesan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak turun. Namun sebagian nekad turun dan bermaksiat pada perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itulah sebagian musyrikin melihat benteng pertahanan muslimin di atas bukit telah bisa ditembus sehingga mereka menyerang dari belakang bukit sisa-sisa pasukan pemanah sehingga mereka terbunuh.

Mereka pun menyerang muslimin dari belakang dalam keadaan pedang-pedang telah dimasukkan ke dalam sarungnya. Lalu datang pula serangan dari depan hingga mereka terjepit. Gugurlah sekian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syuhada dan sebagian lagi terluka, sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terluka dan terperosok ke dalam lubang yang dibuat oleh musyrikin. Sehingga mereka pulang ke Madinah dengan kekalahan, kaki terseok-seok, serta tubuh yang penuh luka. Itu semua disebabkan kemaksiatan sebagian pasukan muslimin.

Cobalah perhatikan! Dengan satu kemaksiatan, kemenangan yang sudah di depan mata hilang. Dan pahitnya kekalahan dirasakan oleh seluruh pasukan, padahal di dalamnya ada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia. Maka bisa dibayangkan bagaimana orang–orang yang setiap saat melanggar perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak takutkah mereka terhadap adzab yang akan ditimpakan?!

Tidak Mengentengkan Dosa

Terkadang seseorang menganggap enteng suatu dosa terlebih jika itu dosa kecil. Sehingga ia terus-menerus melakukannya dan kurang memedulikannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan akan hal ini dengan sabdanya:

إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ كَمَثَلِ قَوْمٍ نَزَلُوا بَطْنَ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُوْدٍ وَجَاءَ ذَا بِعُودٍ، حَتَّى حَمَلُوا مَا انْضَجُّوا بِهِ خُبْزَهُمْ وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ

“Berhati-hatilah kalian dari dosa-dosa kecil. Karena perumpamaan dosa kecil seperti suatu kaum yang singgah pada suatu lembah lalu datang seorang dengan membawa satu dahan (kayu bakar) dan yang lain (juga) membawa satu dahan hingga mereka telah mengumpulkan sesuatu yang bisa menjadikan roti mereka matang. Dan sesungguhnya dosa-dosa kecil, ketika pelakunya diadzab dengannya maka akan membinasakannya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabarani, dan lain-lain dari jalan Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 2686)

Waspadalah dari dosa dan jangan tertipu karena kecil atau sedikitnya. Lihatlah bagaimana dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong tangan seorang pencuri karena mencuri (hanya) 3 dirham seperti dalam Shahih Al-Bukhari (no. 6795).

Dan seorang wanita masuk neraka gara-gara kucing yang dikurungnya. Dia tidak memberinya makan dan tidak melepasnya agar bisa memakan serangga bumi sehingga kurus dan mati. (Lihat Shahih Muslim no. 2619)

Demikian pula dahulu di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang yang terbunuh di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga para sahabat memberikan ucapan selamat kepadanya. Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Tidak. Sesungguhnya pakaian yang dia curi dari harta rampasan perang Khaibar yang belum dibagi-bagi akan menyala atasnya api neraka.” [Lihat Shahih Muslim no.115 Kitabul Iman]

Menjauhi Tempat Maksiat

Pelaku maksiat membawa kesialan bagi dirinya dan orang lain. Sebab dikhawatirkan akan turun kepadanya adzab yang menyebar kepada yang lainnya, terkhusus bagi yang tidak mengingkari kemaksiatannya. Sehingga menjauh dari pelaku maksiat adalah suatu keharusan. Karena, jika kejahatan telah merajalela maka manusia akan binasa secara umum.

Demikian pula tempat-tempat orang yang bermaksiat dan tempat diadzabnya pelaku maksiat harus dijauhi karena dikhawatirkan turunnya adzab. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabatnya tatkala melewati daerah kaum Tsamud yang diadzab Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Janganlah kalian masuk kepada mereka-mereka yang diadzab kecuali dengan menangis, karena dikhawatirkan akan menimpa kalian apa yang telah menimpa mereka.” (HR. Ahmad, lihat Ash-Shahihah no. 19)

Demikian pula tatkala ada seorang dari Bani Israil yang telah membunuh seratus nyawa lalu ia ingin bertaubat dan bertanya kepada seorang ‘alim, apakah masih ada taubat baginya? Dia menjawab: ”Ya.” Lalu dia menyarankan orang itu untuk pergi dari kampungnya yang jahat ke kampung yang baik.

Dari sini jelas bahwa menjauhi tempat-tempat maksiat dan pelaku maksiat termasuk perkara yang diperintahkan. Ibrahim bin Ad-ham rahimahullahu mengatakan: “Barangsiapa ingin taubat, hendaklah ia keluar dari tempat-tampat kedzaliman serta meninggalkan bergaul dengan orang yang dahulu ia bergaul dengannya (dalam maksiat). Jika hal ini tidak dilakukan maka dia tidak mendapatkan yang diharapkan.”

Waspadailah dosa karena dia suatu kesialan! Akibatnya sangat tercela, hukumannya pedih, hati yang menyukainya berpenyakit. Terbebas dari dosa suatu keberuntungan, selamat dari dosa tak ternilaikan, dan terfitnah (diuji) dengan dosa terlebih setelah rambut beruban adalah musibah besar. (Lihat Qala Ibnu Rajab hal. 53-55)

Segera Kembali ke Jalan Allah

Wahai orang yang tenggelam dalam dosa dan perbuatan nista, kembalilah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala! Sadarlah bahwa kamu akan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatanmu di dunia ini! Belumkah tiba saatnya engkau berhenti dari diperbudak setan yang ujungnya engkau menjadi temannya di neraka yang menyala-nyala?! Lepaskanlah belenggu setan yang melilit dirimu, dan larilah menuju Ar-Rahman (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan bersimpuh di hadapan-Nya, niscaya kamu diberi jaminan keamanan dan kebahagiaan. Lembaran hitam kelammu akan diganti dengan yang putih lagi bersih serta akan dibentangkan di hadapanmu jalan yang terang. Bersegeralah sebelum segala sesuatunya terlambat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang–orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)
Wallahu a’lam.

Sumber Website: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=619

 

Pengaruh Buruk Perbuatan Dosa

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Setiap hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Ar-Rahman. Nikmat kesehatan, keamanan, ketenangan, rizki berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Belum lagi nikmat iman bagi ahlul iman. Sungguh, dalam setiap tarikan napas, ada nikmat yang tak terhingga. Dari mulai tidur, bangun dari tidur hingga tidur kembali, ada nikmat yang tiada terkira. Maka Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika berulang-ulang menegaskan dalam surat Ar-Rahman:
فَبِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian berdua (bangsa jin dan manusia) dustakan?”
Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ini semestinya dihadapi dengan penuh rasa syukur. Namun sangat disesali, hanya sedikit dari para hamba yang mau bersyukur:
وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba’: 13)
Kebanyakan dari mereka mengkufuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau malah mempergunakan nikmat tersebut untuk bermaksiat dan berbuat dosa kepada Ar-Rahman. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka banyak kebaikan namun mereka membalasnya dengan kejelekan.
Demikianlah keadaan anak manusia, setiap harinya selalu berbuat dosa. Kita pun tak luput dari berbuat dosa, baik karena tergelincir ataupun sengaja memperturutkan hawa nafsu dan bisikan setan yang selalu menggoda. Amat buruklah keadaan kita bila tidak segera bertaubat dari dosa-dosa yang ada dan menutupinya dengan berbuat kebaikan. Karena perbuatan dosa itu memiliki pengaruh yang sangat jelek bagi hati dan tubuh seseorang, di dunianya ini maupun di akhiratnya kelak.
Al-Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu menyebutkan secara panjang lebar dampak negatif dari dosa. Beberapa di antaranya bisa kita sebutkan di sini sebagai peringatan:
1. Terhalang dari ilmu yang haq. Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, sementara maksiat akan memadamkan cahaya.
Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu belajar kepada Al-Imam Malik rahimahullahu, Al-Imam Malik terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i. Al-Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini, “Aku memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu pernah bersajak:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي
فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ
وَ فَضْلُ اللهِ لاَ يُؤْتاَهُ عَاصِ
“Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada Waki’
Maka ia memberi bimbingan kepadaku agar meninggalkan maksiat
Ia berkata, “Ketahuilah ilmu itu merupakan keutamaan
dan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.” 1
2. Terhalang dari beroleh rizki dan urusannya dipersulit.
Takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendatangkan rizki dan memudahkan urusan seorang hamba sebagaimana firman-Nya:
وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.
3. Hati terasa jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa asing dengan-Nya, sebagaimana jauhnya pelaku maksiat dari orang-orang baik dan dekatnya dia dengan setan.
4. Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelapnya malam. Karena ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati, akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki.
Bila kegelapan itu semakin pekat akan tampaklah tandanya di mata si hamba. Terus demikian, hingga tampak di wajahnya yang menghitam yang terlihat oleh semua orang.
5. Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh, karena kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat tubuhnya. Adapun orang fajir/pendosa, sekalipun badannya tampak kuat, namun sebenarnya ia selemah-lemah manusia.
6. Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur dan menghilangkan keberkahannya, sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya. Mengapa demikian? Karena kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh bila hatinya hidup. Sementara, orang yang hatinya mati walaupun masih berjalan di muka bumi, hakikatnya ia telah mati. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan orang kafir adalah mayat dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka bumi:
أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ
“Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.” (An-Nahl: 21)
Dengan demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-waktu kehidupannya yang dijalani karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghadap kepada-Nya, mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu, tidaklah terhitung sebagai umurnya.
Bila seorang hamba berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan maksiat, berarti hilanglah hari-hari kehidupannya yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan jadi penyesalan baginya:
يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Aduhai kiranya dahulu aku mengerjakan amal shalih untuk hidupku ini.” (Al-Fajr: 24)
7. Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya, sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf: “Termasuk hukuman perbuatan jelek adalah pelakunya akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain. Seorang hamba bila berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata, ‘Lakukan pula aku.’ Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut, maka kebaikan ketiga akan berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah keuntungannya, kian bertambahlah kebaikannya. Demikian pula kejelekan….”
8. Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat, hingga pada akhirnya keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.
9. Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat, hatinya tidak lagi merasakan jeleknya perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.
Bila sudah seperti ini model seorang hamba, ia tidak akan dimaafkan, sebagaimana berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَََّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فيَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan dimaafkan kesalahan/dosanya kecuali orang-orang yang berbuat dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukannya tersebut2 namun di pagi harinya ia berkata pada orang lain, “Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Rabbnya menutupi kejelekan yang diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan (tabir) Allah yang menutupi dirinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 7410)
10. Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perbuatan homoseksual adalah warisan kaum Luth.
Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan menguranginya, adalah warisan kaum Syu’aib.
Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.
Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.
11. Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Rabbnya.
Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan seorang hamba maka tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.
وَمَنْ يُهِنِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ
“Siapa yang dihinakan Allah niscaya tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” (Al-Hajj: 18)
Walaupun mungkin secara zhahir manusia menghormatinya karena kebutuhan mereka terhadapnya atau mereka takut dari kejelekannya, namun di hati manusia ia dianggap sebagai sesuatu yang paling rendah dan hina.
12. Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa, pada akhirnya ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggapnya kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Karena bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya (no. 6308) menyebutkan ucapan sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا
“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”
13. Maksiat akan merusak akal. Karena akal memiliki cahaya, sementara maksiat pasti akan memadamkan cahaya akal. Bila cahayanya telah padam, akal menjadi lemah dan kurang.
Sebagian salaf berkata: “Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hilang akalnya.”
Hal ini jelas sekali, karena orang yang hadir akalnya tentunya akan menghalangi dirinya dari berbuat maksiat. Ia sadar sedang berada dalam pengawasan-Nya, di bawah kekuasaan-Nya, ia berada di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala, di bawah langit-Nya dan para malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala menyaksikan perbuatannya.
14. Bila dosa telah menumpuk, hatipun akan tertutup dan mati, hingga ia termasuk orang-orang yang lalai. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas: “Itu adalah dosa di atas dosa (bertumpuk-tumpuk) hingga mati hatinya.”3
15. Bila si pelaku dosa enggan untuk bertaubat dari dosanya, ia akan terhalang dari mendapatkan doa para malaikat. Karena malaikat hanya mendoakan orang-orang yang beriman, yang suka bertaubat, yang selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِيْنَ يَحْمِلُوْنَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُوْنَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُوْنَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِيْنَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيْلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيْمِ. رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ. وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
“Malaikat-malaikat yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman, seraya berucap, ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semuanya. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha memiliki hikmah. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan pada hari itu maka sungguh telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar’.” (Ghafir: 7-9)
Demikian beberapa pengaruh negatif dari perbuatan dosa dan maksiat yang kami ringkaskan dari kitab Ad-Da`u wad Dawa`, karya Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu hal. 85-99. Semoga dapat menjadi peringatan.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Lihat Diwan Asy-Syafi’i (45), Al-Fawa`id Al-Bahiyyah (223), dan Syarh Tsulatsiyyat Al-Musnad (1/769).
2 Yakni tak ada seorang pun yang mengetahuinya.
3 Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an, 12/190.

Pentobat Maksiat menukil dari: http://asysyariah.com/print.php?id_online=505