Arsip

Archive for the ‘Problema Maksiat’ Category

Hukum Menjalankan Bisnis Salon Kecantikan

29 Februari 2012 Tinggalkan komentar

Fatwa no. 16965  (Bab 24/Hal.  26)

Tanya:

Saya menjalankan bisnis salon kecantikan khusus wanita. Saya menghindari perbuatan yang melanggar syariat termasuk menghilangkan rambut dari wajah atau  alis, memasang rambut palsu, dan melakukan pewarnaan rambut. Saya hanya merias pengantin yang memakai atau tidak memakai jilbab (kerudung). Beberapa saudara perempuan dalam Islam mengatakan kepada saya bahwa merias pengantin yang tidak memakai jilbab adalah Haram (dilarang). Saya takut kepada Allah dengan penuh penyesalan. Kemudian saya pergi ke Farskour untuk bertanya kepada beberapa ulama tentang hal ini. Ada yang mengatakan perbuatan  ini adalah haram dan saya hanya diharuskan untuk merias pengantin yang mengenakan jilbab saja, sedangkan yang lain mengatakan bahwa tidak haram selama saya merias pengantin untuk suaminya.

Jawab:

Menjalankan bisnis salon kecantikan bagi wanita adalah tidak diperbolehkan, karena mengarah kepada pemborosan dan berakibat buruk termasuk penyimpangan moral dan meniru orang-orang kafir. Adapun merias wanita bertabaruj (Mutabarijah/berdandan dengan tidak sopan yang melanggar aturan berpakaian Islam) yang memperlihatkan kecantikannya kepada laki-laki asing, lebih buruk dan melanggar apa yang Allah dan Rasul-Nya larang. Anda sebaiknya mencari pekerjaan lain. Dan Allah tahu yang terbaik.

Semoga Allah memberi kita keberhasilan. Semoga damai dan berkat Allah atas Nabi Muhammad, keluarganya, dan sahabat!

Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan ‘Ifta

Ketua: ` Abdul `Aziz bin` Abdullah bin Baz

Anggota:

`Abdullah bin Ghudayyan

Sholih Al-Fawzan

`Abdul` Aziz Al al-Syaikh

Bakar Abu Zaid

Sumber:

http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&BookID=7&PageID=9319&back=true

Hukum Anak “Haram”

23 Mei 2011 1 komentar

Tanya:

Bismillah,

Assalamu’alaikum warohmatulloh wabarokatuh
Ya Ustadz, ana mau tanya berkenaan dengan nasab. Begini:

Ibu ana pernah cerita sama ana, kata beliau, ketika menikah sama bapak ana dulu, mereka menikah tanpa wali. beliau mengakui bahwa menikahnya dengan bapak ana adalah dengan cara “kawin lari”.

Setelah mengetahui hal itu, ana kemudian  bilang sama ibu ana agar menikah lagi sama bapak karena sebenarnya mereka belum sah nikahnya. beliau sebenarnya mau, tapi bapak ana yg gak mau.

Nah, yg ingin ana tanyakan. Pertama, masalah nasab ana ini gimana, ya Ustadz. Di blog ana, ana menuliskan fulan bin fulan (yakni nisbah kepada ayah). Apakah hal ini dibenarkan? Sedang ana terlahir sebagai “anak haram”. Bolehkah nasab kepada ibu? Misalnya seperti shahabat abdulloh bin ummi maktum yang nasab ke ibu, bukan bapak. Mohon petunjuknya ya Ustadz.

Yg kedua bagaimana solusinya biar orang tua ana bisa “resmi” menikahnya. sedang dari pihak bapak nggak mau, ya mungkin alasannya “malu”, begitu.
Demikian, atas jawabannya ana ucapkan jazakallohu khoiron katsiron wa barokallohufiikum.

[mohon maaf pertanyaan telah kami edit, serta nama dan email penanya tidak kami tampilkan, semuanya guna menjaga privasi penanya, (admin)]

Dijawab oleh:

Al Ustadz Hammad Abu Muawiyah

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa menikah tanpa wali (bagi wanita) adalah haram dan tidak syah sehingga dia dihukumi perzinahan. Karenanya anak yang terlahir dari pernikahan seperti itu adalah anak zina, dan nasabkan dikembalikan kepada ibunya, bukan kepada ayahnya. Ini berdasarkan hadits Aisyah dan Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (yakni: anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina adalah batu (yakni: tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hanya saja jika ‘kawin lari’ ini dilakukan karena mereka meyakini bolehnya atau meyakini syahnya ‘kawin lari’, maka pernikahan seperti ini dikategorikan ke dalam nikah syubhat. Dan hukum anak yang lahir dari pernikahan syubhat seperti ini bukanlah anak ‘haram’ akan tetapi syah sebagai anak dari ayah dan ibunya, karenanya dia bisa menisbatkan namanya kepada ayahnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Asy-Syafi’i, dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah dan Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumullah- dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/641).

Adapun setelah mengetahui bahwa hukum ‘kawin lari’ adalah tidak syah, maka keduanya (ayah dan ibunya) wajib untuk berpisah lalu keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim (satu kali haid). Ini adalah fatwa dari Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Mar’i -hafizhahullah-.

Kembali ke pertanyaan antum: Apakah boleh bernisbat kepada ibu?

Jawab: Jika ‘kawin lari’ orang tua antum termasuk dari nikah syubhat maka tidak ada masalah antum bernisbat kepada ayah. Jika bukan termasuk nikah syubhat, yakni keduanya sudah mengetahui tidak syahnya ‘kawin lari’ maka antum tidak boleh bernisbat kepada ayah tapi hanya bernisbat kepada ibu, berdasarkan hadits Abu Hurairah dan Aisyah di atas.

Adapun keengganan ayah untuk menikah kembali, ana kira bisa dimaklumi karena dia mengira nikah ulang itu harus adakan nikah dengan mengundang banyak orang plus resepsi lagi. Tapi saya kira antum sudah mengetahui bahwa yang menjadi rukun dan syarat syahnya nikah hanyalah adanya kedua mempelai, adanya ijab qabul, keridhaan kedua mempelai, wali bagi wanita, mahar, dan 2 orang saksi dari kalangan lelaki dewasa. Jadi kapan rukun dan syarat nikah ini terpenuhi maka nikahnya sudah syah walaupun tidak ada resepsi dan tidak mengundang orang lain. Jadinya antum tinggal memahamkan ayah antum akan masalah ini, semoga dia bisa paham. Dan antum juga bisa mengingatkan bahwa jika dia tidak mau menikah maka anak-anaknya adalah anak ‘haram’ dan bukan anaknya sehingga akan berlaku padanya hukum:

a.    Dia dan anak-anak istrinya (karena anak-anak dinisbatkan kepada ibunya) tidak saling mewarisi.

b.    Dia tidak wajib memberi nafkah kepada anak istrinya.

c.    Dia tersebut bukan mahram bagi anak wanita istrinya.

d.    Dia tidak bisa menjadi wali bagi anak wanita istrinya dalam pernikahan.

Wallahul muwaffiq, wahuwa a’lam wa ahkam.

===

Tanya:

abu ismail said:
February 7th, 2010 at 3:36 pm

Bismilah…Apakah hukum anak zina?Apa yg seharusx ayah anak zina itu harus di perbuat..Apakah menelantarkanx atau tetap mengasuhx

Dijawab oleh:

Al Ustadz Hammad Abu Muawiyah

Adapun dosa maka dia tentunya tidak mendapatkan dosa atas ulah orang tuanya, karena setiap orang tidak akan menanggung dosa orang lain. Maka anak zina mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti anak kaum muslimin lainnya, kecuali dalam beberapa perkara:

a. Dia (jika wanita) dan lelaki yang berzina dengan ibunya bukanlah mahram.

b. Lelaki tersebut tidak wajib memberikan nafkah kepada dirinya, walaupun boleh saja lelaki tersebut melakukannya.

c. Dia tidak berhak mendapatkan warisan dari lelaki tersebut.

d. Lelaki tersebut bukanlah walinya (jika dia wanita) dalam pernikahan.

e. Dia tidak dinisbatkan kepada lelaki tersebut (baik dalam hal nama maupun yang lainnya) akan tetapi dia dinisbatkan kepada ibunya. Karenanya perawatan anak ini diserahkan kepada ibunya.

Hanya saja ada dua perkara yang bisa dilakukan oleh lelaki itu agar dia juga bisa mengasuh anak tersebut:

1. Menikahi wanita yang telah dia zinahi dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perbuatan zina dan wanita itu telah melahirkan (jika wanita itu hamil). Dengan begitu dia (lelaki) itu bisa menjadi ayahnya yang syah, walaupun anak itu dihukumi sebagai rabibah (anak tiri)nya

2. Jika lelaki ini menikah dengan wanita lain selain wanita yang melahirkan anak zina ini, maka dia bisa menyuruh istrinya untuk menyusui anak tersebut (jika anaknya masih bayi). Dengan demikian dia bisa menjadi ayah susuannya.

Yang jelas, diharamkan bagi siapapun untuk menelantarkan anak yang tidak berdosa walaupun dia merupakan anak ‘haram’. Wallahu a’lam

===

Tanya:

Ariani said:
December 5th, 2010 at 5:35 am

Assalammualaikum wr.wb

Afwan ustadz, Saya mau bertanya, 3 tahun lalu saya menikah dengan suami saya dan di karuniai seorang anak perempuan, tapi pernikahan tersebut terjadi setelah hamil di laur nikah/MBA (Maaf ustadz). saya di nikahkan resmi langsung ayah saya sbg wali. saya pernah dengar saran-saran dari keluarga suami,bahwa setelah nanti anak pertama saya itu lahir, saya dan suami harus menikah kembali. Tapi ustadz, masalahnya sekarang saya telah hamil lagi 2 bulan dan kami belum melaksanakan nikah kembali setelah melahirkan. yang ingin saya tanya bagaimana status anak saya yang pertama? dan bagaimana status calon bayi yang masih saya kandung? apa yang harus kami lakukan? apakah suami tidak bisa menjadi wali bagi anak2 saya? syukran ustadz..wassalammualikum wr.wb

Dijawab oleh:

Al Ustadz Hammad Abu Muawiyah

Waalaikumussalam warahmatullah

Saran dari keluarga itu sangat benar, dan itulah yang wajib dikerjakan.
Anak pertama adalah anak zina, dia tidak mempunyai hubungan dengan suami saudari sekarang.

Adapun anak yang dalam kandungan maka hukumnya tergantung keyakinan saudari mengenai syah tidaknya nikah tersebut sebelum hamil. Jika saudari sudah tahu tidak syahnya nikah tersebut sebelum hamil yang kedua akan tetapi tetap melakukan hubungan dengan suami sehingga hamil anak kedua, maka anak kedua juga dihukumi sebagai anak zina. Wallahu a’lam

Kalau demikian maka suami bukanlah mahram (jika anaknya wanita) bagi kedua anak tersebut dan karenanya juga dia tidak bisa menjadi wali keduanya.

Yang wajib sekarang adalah segera bertaubat kepada Allah Ta’ala dari semua dosa, memutuskan pernikahan. Dan melangsungkan kembali pernikahan setelah anak kedua lahir. Karena sekarang saudari dalam masa iddah (hamil) sementara pernikahan yang diadakan dalam masa iddah adalah tidak syah. Masa iddah wanita hamil berakhir dengan dia melahirkan kandungannya

Sumber :

http://al-atsariyyah.com/hukum-anak-%E2%80%98haram%E2%80%99.html

Istri Zina, Bagaimana Sikap Suami?

8 Februari 2011 Tinggalkan komentar

Tanya

Bismillah, Seorang wanita yang bersuami hamil dengan pria lain dan diakui oleh wanita tersebut. Bagaimana sikap suami?

dari: +628113xxxxxx

Dijawab oleh: Al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Suaminya harus mencerainya dan menafikan (menampik) status kandungannya bahwa itu bukan anaknya di hadapan saksi-saksi berdasarkan pengakuan wanita itu sendiri. Wallahu a’lam.

Sumber Website: http://tashfiyah.net/?p=513

Kategori:Problema Maksiat

Hukum Mengunjungi Tempat Bersejarah Atau Museum

1 Februari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis:  Asy-Syaikh Yahya Al Hajuriِ

Soal:

Apakah hukum berziarah ke tempat bersejarah seperti museum, patung-patung, tempat-tempat ibadah dan semacamnya dengan tujuan rekreasi dan mengambil pelajaran serta merenungkan kesesatan yang ada pada mereka. Jazakallahu khairan

Jawab:

Museum-museum di dalamnya banyak patung, terutama museum orang kafir. Maka siapa yang mampu untuk menghancurkan patung tersebut ketika masuk dan saya kira hal itu tidak bisa dilakukan. Apabila tidak mampu sudah barang tentu tidak diperbolehkan. Adapun apabila dia pergi ke museum yang meninggalkan barang-barang kuno seperti pakaian, ataupun sandal-sandal besar yang mereka pakai atau barang-barang antik dan sesuatu yang dahulu mereka jadikan untuk pakaian unta atau kuda, maka ini tidak ada larangannya. Maka wajib atas muslim untuk tidak lalai dari dzikrullah. Di antara dalil atas perkara yang kami sebutkan adalah firman Allah Ta’ala:

﴿وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامً﴾ [الفرقان:72]

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kejahatan dan apabila melewati perkara yang tidak ada faedahnya, mereka melewatinya dengan menjaga kehormatan mereka.” (Al Furqan: 72)

Hal ini karena dia tidak mampu untuk merubah kemungkaran. Dalil lainnya, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

« لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة»

“Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.” (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Maksud dari hadits ini adalah bahwa malaikat tidak masuk dikarenakan adanya kemungkaran itu dan begitu pula pernah datang Jibril hendak masuk ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia melihat ada patung dan anak anjing, maka beliau berkata: “Penggallah kepala gambar-gambar ini dan suruhlah anjing itu keluar!” Dan Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu melihat kain-kain terpampang di atas dinding, maka beliau tadak masuk ke rumah orang yang mengundangnya untuk walimah. Dalil-dalil ini saya kira sudah mencukupi. Wabillahit taufiq.

Sumber :
Al As’ilah Al Indonisiah

Sumber Website:

http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=39

Sikap Seorang Muslim Dalam Menyikapi Hari Raya Orang Kafir (Natal, Paskah, Imlek, Dan Lain-lain)

31 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Tuntunan Ulama’ Salaf dalam menyikapi hari raya non muslim
Penulis: Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Iftaa. Fatwa n

Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin

Pertanyaan :

Apakah boleh memberikan ucapan selamat hari raya atau yang lainnya kepada orang orang Masihiyun (penganut ajaran Isa al Masih)?

Jawaban :

Yang benar adalah jika kita mengatakan : Orang-orang nasrani, karena kalimat masihiyun berarti menisbatkan syariat (yang di bawah Nabi Isa) kepada agama mereka, artinya mereka menisbatkan diri mereka kepada Al-Masih Isa bin Maryam.

Padahal telah diketahui bahwa Isa bin Maryam Alaihissalam telah membawa kabar gembira untuk Bani Israil dengan(kedatangan) Muhammad.

Allah Subhanahu wa Taala berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: `Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)`. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: Ini adalah sihir yang nyata” (Ash-Shaff: 6).

Maka jika mereka mengkafiri/mengingkari Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam maka berarti mereka telah mengkafiri Isa, kerena mereka telah menolak kabar gembira yang beliau sampaikan kepada mereka. Dan oleh karena itu kita mensifati mereka dengan apa yang disifatkan Allah atas mereka dalam Al-Qur`an dan dengan apa yang disifatkan oleh Rasulullah Shallallahu wa `alaihi wa Sallam dalam As-Sunnah, dan yang disifatkan/digambarkan oleh para ulama muslimin dengan sifat ini yaitu bahwa mereka adalah nashrani sehingga kitapun mengatakan: sesungguhnya orang-orang nashrani jika mengkafiri Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam maka sebenarnya mereka telah mengkafiri Isa bin Maryam.

Akan tetapi mereka mengatakan: Sesungguhnya Isa bin Maryam telah memberi kabar gembira kepada kami dengan seorang rasul yang akan datang sesudahnya yang namanya Ahmad, sementara yang datang namanya adalah Muhammad. Maka kami menanti (rasul yang bernama) Ahmad, sedangkan Muhammad adalah bukanlah yang dikabargembirakan oleh Isa. Maka apakah jawaban atas penyimpangan ini?

Jawabannya adalah kita mengatakan bahwa Allah telah berfirman: Maka ketika ia (Muhammad) datang kepada mereka dengan penjelasan-penjelasan،. Ayat ini menunjukkan bahwa rasul tersebut telah datang; dan apakah telah datang kepada mereka seorang rasul selain Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam setelah Isa? Tentu saja tidak, tidak seorang rasulpun yang datang sesudah Isa selain Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam. Dan berdasarkan ini maka wajiblah atas mereka untuk beriman kepada Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam dan juga kepada Isa `Alaihissalam.

Rasul telah beriman kepada Al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya (mereka mengakatan): `Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya.،¦ (Al-Baqarah:285)

Oleh karena itu Nabi Shallallahu wa `alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah(Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3435 dalam kitab Ahaditsul Anbiya` bab Qauluhu Ta`ala: Ya Ahal Kitabi La Taghlul Fi Dinikum, dan oleh Muslim no. 28 dalam kitab Al-Iman bab Ad-Dalil `Alaa Inna Man Maata `Alat Tauhiid Dakhalal Jannah Qath`an dari hadits `Ubadah bin Ash-Shamit Radhiallahu Anhu).

Maka tidak sempurna iman kita kecuali dengan beriman kepada Isa Alaihissalam dan bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allah, sehingga kita tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang nashrani; bahwa ia adalah putra Allah, dan tidak (pula mengatakan) bahwa ia adalah tuhan. Dan kita tidak pula mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang yahudi: bahwa beliau adalah pendusta dan bukan seorang Rasul dari Allah, akan tetapi kita mengatkan bahwa Isa di utus kepada kaumnya dan bahwa syariat Isa dan nabi-nabi yang lainnya telah dihapus oleh syariat Nabi Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam.

Adapun memberi ucapan selamat hari raya kepada orang-orang nashrani atau yahudi maka ia adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab Ahkam Ahli Adz-Dzimmah, dan silahkan anda membaca teks tulisan beliau: “Dan adapun memberikan ucapan selamat untuk syiar-syiar kekufuran yang bersifat khusus maka ia adalah haram secara ijma`, seperti mengucapkan selama untuk hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan : “hari raya yang diberkahi untuk anda،¦ Maka yang seperti ini kalaupun orang yang mengucapkan selamat dari kekufuran maka perbuatan itu termasuk yang diharamkan. Dan ia sama dengan memberikan selamat untuk ujudnya kepada salib. Bahkan itu lebih besar dosanya dan lebih dimurkai oleh Allah daripada memberikan selamat atas perbuatannya meminum khamar, membunuh, melakukan zina dan yang semacamnya. Dan banyak orang yang tidak memiliki penghormatan terhadap Ad-dien terjatuh dalam hal itu dan ia tidak mengetahui apa yang telah ia lakukan”. Selesai tulisan beliau.
(Dinukil dari Ash-Shahwah Al-Islamiyah, Dhawabith wa Taujihat, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin).

Pertanyaan :

Apakah boleh berpartisipasi dengan kalangan non muslim dalam Hari-hari Raya mereka (Natal, Tahun Baru, Paskah, Imlek, dll, red), seperti hari ulang tahun misalnya?

Jawaban :

Alhamdulillah. Seorang muslim tidak boleh berpartisipasi dalam hari-hari perayaan mereka dan turut menunjukkan kegembiraan dan keceriaan bersama mereka dalam memperingatinya, atau ikut libur bersama mereka, baik itu peringatan yang bersifat keagamaan atau keduniawiaan. Karena itu menyerupai musuh-musuh Allah yang memang diharamkan, selain juga berarti menolong mereka dalam kebatilan. Diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai satu kaum berarti termasuk golongan mereka.”

Sementara Allah juga berfirman: “Bertolong-tolonganlah dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan; bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Keras siksanya..” (QS.Al-Maa-idah : 2)

Maka kami nasihat agar Anda menelaah kibat Iqtidhaa-ush Shiratil Mustaqiem karya Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah– sebuah buku yang amat bermutu sekali dalam persoalan tersebut. Wabillahit Taufiq. Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Iftaa. Fatwa nomor 2540)

Pertanyaan :

Saya menyaksikan banyak kaum muslimin yang turut berpartisipasi dalam merayakan Hari Natal dan berbagai perayaan lain. Apakah ada dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang bisa saya tunjukkan kepada mereka bahwa kegiatan tersebut tidaklah disyariatkan?

Jawaban :

Ikut serta dalam Hari Raya orang kafir bersama mereka tidak boleh, berdasarkan hal-hal berikut:
Pertama: itu berarti menyerupai mereka. Nabi bersabda: “Barangsiapa menyerupai satu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dikatakan oleh Al-Albani -Rahimahullah– : “Hasan shahih.” (Shahih Abu Dawud II : 761)

Ini merupakan ancaman keras. Abdullah bin Amru bin Ash Radhiallahu ‘anhuma pernah menyatakan: “Barangsiapa yang tinggal di negeri kaum musyrikin dan mengkuti acara Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu meniru mereka hingga mati, ia akan merugi di Hari Kiamat nanti.”

Kedua: Ikut serta berarti juga menyukai dan mencintai mereka

Allah berfirman: “Janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai wali kalian..”

Demikian juga Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman; janganlah kalian menjadikan musuh-musuh-Ku dan musuh-musuh kalian sebagai wali yang kalian berikan kepada mereka kecintaan padahal mereka telah kafir terhadap kebenaran yang datang kepada mereka..”

Yang ketiga: Hari Raya adalah masalah agama dan akidah, bukan masalah keduniaan, sebagaimana ditegaskan dalam hadits: “Setiap kaum memiliki Hari Raya, ini adalah Hari Raya kita..” Hari Raya mereka mengekspresikan akidah mereka yang rusak, penuh syirik dan kekafiran.

Keempat: “Dan mereka-mereka yang tidak menghadiri kedustaan (kemaksiatan)..” ditafsirkan oleh para ulama bahwa yang dimaksud dengan kedustaan dalam ayat itu adalah Hari-hari Raya kaum musyrikin. Sehingga tidak boleh menghadiahkan kepada mereka kartu ucapan selamat, atau menjualnya kepada mereka, demikian juga tidak boleh menjual segala keperluan Hari Raya mereka, baik itu lilin, pohon natal, makanan-makanan; kalkun, manisan atau kue yang berbentuk stik atau tongkat dan lain-lain.

Kalau yang dimaksud dengan peringatan di situ adalah peringatan Hari Raya orang-orang kafir dan musyrikin tersebut, jelas tidak boleh kita berpartisipasi dalam Hari Raya yang batil tersebut. Karena itu mengandung kerja sama dan menolong mereka dalam berbuat dosa dan permusuhan. Berpartisipasi dalam Hari Raya mereka juga berarti Menyerupai orang-orang kafir. Islam telah melarang menyerupai orang-orang kafir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk dalam golongan mereka.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Ahmad)

Umar bin Al-Khattab pernah menyatakan: “Jauhilah musuh-musuh Allah pada Hari Raya mereka.” Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi)

Ibnul Qayyim -Rahimahullah– menyatakan: “Kaum muslimin tidak boleh menghadiri perayaan Hari-hari Raya kaum musyrikin menurut kesepakatan para ulama yang berhak memberikan fatwa. Para ulama fikih dari madzhab yang empat sudah menegaskan hal itu dalam buku-buku mereka. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Umar bin Al-Khattab Radhiallahu ‘anhu bahwa beliau pernah berkata: “Janganlah menemui orang-orang musyrik di gereja-gereja mereka pada Hari Raya mereka. Karena kemurkaan Allah sedang turun di antara mereka.” Umar juga pernah berkata: “Jauhilah musuh-musuh Allah itu pada Hari Raya mereka.” Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanad yang bagus dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘anhuma beliau pernah berkata: “Barangsiapa lewat di negeri non Arab, lalu mereka sedang merayakan Hari Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu ia meniru mereka hingga mati, maka demikianlah ia dibangkitkan bersama mereka di Hari Kiamat nanti.” (Lihat Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I : 723-724).

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah– menyatakan dalam bukunya yang agung Iqtidha-ush Shirathil Mustaqiem Mukhalafata Ash-haabil Jahiem: “Adapun apabila seorang muslimin menjual kepada mereka pada Hari-hari Raya mereka segala yang mereka gunakan pada Hari Raya tersebut, berupa makanan, pakaian, minyak wangi dan lain-lain, atau menghadiahkannya kepada mereka, maka itu termasuk menolong mereka mengadakan Hari Raya mereka yang diharamkan. Dasarnya satu kaidah: tidak boleh menjual anggur atau jus kepada orang kafir yang jelas digunakan untuk membuat minuman keras. Juga tidak boleh menjual senjata kepada mereka bila digunakan untuk memerangi kaum muslimin.”

Kemudian beliau menukil dari Abdul Malik bin Habib dari kalangan ulama Malikiyyah: “Sudah jelas bahwa kaum muslimin tidak boleh menjual kepada orang-orang Nashrani sesuatu yang menjadi kebutuhan Hari Raya mereka, baik itu daging, lauk-pauk atau pakaian. Juga tidak boleh memberikan kendaraan kepada mereka, atau memberikan pertolongan untuk Hari Raya, karena yang demikian itu termasuk memuliakan kemusyrikan mereka dan menolong mereka dalam kekufuran mereka.” (Al-Iqtidhaa cet. Darul Makrifah dengan tahqiq Al-Qafiyy hal. 229-231)

Semua perayaan tahunan dan pertemuan tahunan (yang dirayakan non Muslim, red) adalah Hari-hari Raya bid’ah dan ajaran bid’ah yang tidak pernah diturunkan oleh Allah penjelasan tentang hal itu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berhati-hatilah terhadap amalan yang dibuat-buat. Setiap amalan yang dibuat-buat adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi serta yang lainnya)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Masing-masing kaum memiliki Hari Raya, dan ini adalah Hari Raya kita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah– mengulas persoalan tersebut secara panjang lebar dalam buku beliau Iqtidha-ush Shiratil Mustaqiem Mukhalafata Ash-habil Jahiem, berkaitan dengan kecaman terhadap berbagai Hari Raya bid’ah yang tidak ada asalnya dalam ajaran Islam yang lurus. Adapun kerusakan yang terkandung dalam acara-acara tersebut, tidak setiap orang, bahkan juga kebanyakan orang tidak dapat mengetahui kerusakan yang terkandung dalam bentuk bid’ah semacam itu. Apalagi bentuk bid’ah itu adalah bid’ah dalam ibadah syariat. Hanya kalangan cerdik pandai dari para ulama yang dapat mengetahui kerusakan yang terdapat di dalamnya.

Kewajiban umat manusia adalah mengikuti ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasul, meskipun ia belum bisa mengetahui maslahat dan kerusakan yang terdapat di dalamnya. Dan bahwasanya orang yang membuat-buat satu amalan pada hari tertentu dalam bentuk shalat, puasa, membuat makanan, banyak-banyak melakukan infak dan sejenisnya, tentu akan diiringi oleh keyakinan hati. Karena ia pasti memiliki keyakinan bahwa hari itu lebih baik dari hari-hari lain. Karena kalau tidak ada keyakinan demikian dalam hatinya, atau dalam hati orang yang mengikutinya, tidak akan mungkin hati itu tergerak untuk mengkhususkan hari tertentu atau malam tertentu dengan ibadah tersebut. Mengutamakan sesuatu tanpa adanya keutamaan adalah tidak mungkin.
Kemudian Hari Raya (Ied) bisa menjadi nama untuk tempat perayaan, waktu perayaan, atau pertemuan pada perayaan tersebut. Ketiganya memunculkan beberapa bentuk bid’ah. Adapun yang berkaitan dengan waktu, ada tiga macam. Terkadang di dalamnya juga tercakup sebagian bentuk tempat dan aktivitas perayaan.
Pertama: Hari yang secara asal memang tidak dimuliakan oleh syariat, tidak pernah pula disebut-sebut oleh para ulama As-Salaf. Tidak ada hal yang terjadi yang menyebabkan hari itu dimuliakan.
Yang kedua: Hari di mana terjadi satu peristiwa sebagaimana terjadi pada hari yang lain, tanpa ada konsekuensi menjadikannya sebagai musim tertentu, para ulama As-Salaf juga tidak pernah memuliakan hari tersebut. Maka orang yang memuliakan hari itu, telah menyerupai umat Nashrani yang menjadikan hari-hari terjadinya beberapa peristiwa terhadap Nabi Isa sebagai Hari Raya. Bisa juga mereka menyerupai orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Hari Raya itu adalah syariat yang ditetapkan oleh Allah untuk diikuti. Kalau tidak, maka akan menjadi bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini.
Demikian juga banyak bid’ah yang dilakukan masyarakat yang meniru-niru perbuatan umat Nashrani terhadap hari kelahiran Nabi Isa -‘Alaihissalam– , bisa jadi untuk menunjukkan kecintaan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memuliakan beliau. Perbuatan semacam itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf, meskipun yang mengharuskannya (bila memang boleh) sudah ada, dan tidak ada hal yang menghalangi.
Yang ketiga: Hari-hari di mana dilaksanakan banyak syariat, seperti hari Asyura, hari Arafah, dua Hari Raya dan lain-lain. Kemudian sebagian Ahli Bid’ah membuat-buat ibadah pada hari itu dengan keyakinan bahwa itu merupakan keutamaan, padahal itu perbuatan munkar yang dilarang. Seperti orang-orang Syi’ah Rafidhah yang menghaus-hauskan diri dan bersedih-sedih pada hari Asyura’ dan lain-lain. Semua itu termasuk perbuatan bid’ah yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, tidak pula oleh para generasi As-Salaf atau Ahli Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun mengadakan pertemuan rutin yang berlangsung secara terus menerus setiap minggu, setiap bulan atau setiap tahun selain pertemuan-pertemuan yang disyariatkan, itu meniru pertemuan rutin dalam shalat lima waktu, Jumat, Ied dan Haji. Yang demikian itu termasuk bid’ah yang dibuat-buat.
Dasarnya adalah bahwa seluruh ibadah-ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara rutin sehingga menjadi sunnah tersendiri dan memiliki waktu pelaksanaan tersendiri kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah. Semua itu sudah cukup menjadi syariat bagi hamba-hamba-Nya. Kalau ada semacam pertemuan yang dibuat-buat sebagai tambahan dari pertemuan-pertemuan tersebut dan dijadikan sebagai kebiasaan, berarti itu upaya menyaingi syariat dan ketetapan Allah. Perbuatan itu mengandung kerusakan yang telah disinggung sebelumnya. Lain halnya dengan bentuk bid’ah yang dilakukan seseorang sendirian, atau satu kelompok tertentu sesekali saja.”
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, seorang muslim tidak boleh berpartisipasi pada hari-hari yang dirayakan setiap tahun secara rutin, karena itu menyaingi Hari-hari Raya kaum muslimin sebagaimana telah kita jelaskan sebelumnya. Tetapi kalau dilakukan sekali saja, dimisalkan seorang muslim hadir di hari itu untuk memberikan penjelasan kepada kaum muslimin lainnya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka, maka tidak apa-apa, insya Allah. Wallahu A’lam.

(Dikutip dari Masa-il wa Rasaa-il oleh Muhammad Al-Humud An-Najdi 31. Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Iftaa. Fatwa nomor 2540)

Hukum “Anal Sex”

27 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Asy Syaikh Abdulaziz bin Abdullah bin Baaz

Soal:

Apa hukum mendatangi istri di duburnya (belakang) atau mendatanginya dalam keadaan haidh atau nifas?

Jawab:

Tidak boleh menggauli istri di duburnya atau dalam keadaan haidh dan nifas. Bahkan yang demikian itu termasuk dari dosa-dosa besar berdasarkan firman Allah Ta’ala (artinya):

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah “Haidh itu adalah kotoran.” Maka jauhilah diri kalian dari wanita ketika haidh. Dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka sudah suci, maka datangilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri. Isteri-isteri kalian adalah (seperti) ladang (tempat bercocok tanam) bagi kalian. Maka datangilah ladang kalian bagaimanasaja kalian kehendaki.” (Al Baqarah 222-223)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan pada ayat ini wajibnya menjauhkan diri dari wanita ketika dalam keadaan haidh dan melarang untuk mendekati mereka sampai mereka dalam keadaan suci. Yang demikian itu menunjukkan atas pengharaman untuk menggauli mereka ketika dalam keadaan haidh dan seperti itu juga nifas. Dan jika mereka sudah bersuci dengan cara mandi, boleh bagi suami untuk mendatanginya di tempat yang diperintahkan Allah, yaitu mendatanginya dari arah depan (qubul), tempat “bercocok tanam”

Adapun dubur, adalah tempat kotoran dan bukan tempat bercocok tanam. Maka tidak boleh menggauli isteri di duburnya bahkan yang demikian itu termasuk salah satu dosa-dosa besar dan merupakan maksiat yang maklum dari syari’at yang suci ini. Abu Daud dan An Nasa’i telah meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda (artinya):
“Terlaknatlah siapa saja yang mendatangi perempuan di duburnya”
At Tirmidzy dan An Nasa’i meriyawatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Allah tidak akan melihat kepada seseorang yang mendatangi laki-laki atau perempuan di duburnya.” Sanad hadits ini shohih.

Mendatangi isteri di duburnya adalah bentuk liwath (sodomi) yang diharamkan kepada laki-laki dan perempuan semuanya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala tentang kaumnya Nabi Luth ‘alaihi assalam (artinya):
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu” (Al Ankabut 28)

Begitu juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya):

“Allah melaknat siapa yang berbuat dengan perbuatannya kaum Luth”. Beliau katakan tiga kali. (Diriwayatkan Al Imam Ahmad dengan sanad shohih).
Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati darinya dan menjauhkan diri dari setiap yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Bagi setiap suami hendaklah menjauhi kemungkaran ini. Bagi setiap isteri untuk menjauhkan dari dari yang demikian dan tidak memberi kesempatan kepada suami untuk melakukan kemungkaran yang besar ini, yaitu menggaulinya dalam keadaan haidh atau nifas atau di dubur.

Kita memohon kepada Allah berupa keselamatan bagi kaum muslimin dari setiap apa yang menyelesihi syari’atNya yang suci. Sesungguhnya Dia sebaik-baiknya tempat meminta.

(Yang Mulia Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah)

Sumber: Lin Nisa’ faqoth (276-278)
Alih Bahasa: Ayub Abu Ayub

Sumber Website:
www.mimbarislami.or.id

http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1204

Obat yang Syar’i Bagi Mereka Yang Diuji Dengan Perbuatan Maksiat

27 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Fadlilatu As Syaikh Al’Allamah Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Bazz

Soal :

Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Aku adalah seorang pemuda berusia 21 tahun. Semenjak usiaku 8 tahun, aku telah diuji dengan perbuatan liwath (homoseks). Hal itu terjadi karena ayahku disibukkan (dengan urusannya sehingga lalai ) dari memberikan pendidikan yang baik kepadaku.

Dan keadaanku sekarang, aku menjalani kehidupan yang penuh derita karena perbuatan liwath tersebut. Sekarangpun aku menyesali perbuatan itu, hingga rasa penyesalanku sampai pada tingkatan aku memikirkan untuk melakukan bunuh diri.
Wal ‘iyaadzubillah

Dan yang menambah derita dan adzab yang aku rasakan, keluargaku menghendaki aku untuk segera menikah.

Maka dari itu, aku mengharap dari anda yang mulia , agar memberikan bimbingan kepadaku supaya bisa kembali ke jalan yang benar. Dan agar anda memberikan obat menurut syar’i yang menyembuhkan/menyelamatkan aku dari masalahku ini sehingga aku bisa melepaskan diri dari kehidupan yang penuh adzab, yang selama ini aku jalani karena melakukan perbuatan liwath (homoseks).

Jawaban Syaikh bin Bazz :

Wa’alaikumsalam warahmatullaahi wabarakaatuh.
’Amma ba’du : Aku memohon kepada Allah, agar Allah memberikan penjagaan kepadamu dari hal – hal yang telah engkau sebutkan.

Tidak diragukan lagi, bahwa apa yang telah engkau sebutkan, berupa perbuatan liwath (homoseks) yang engkau lakukan, itu merupakan dosa yang besar. Akan tetapi, obat /solusi untuk bisa lepas dari perbuatan homoseks tersebut adalah hal yang mudah. Alhamdulillah.

Obat itu adalah bersegeralah engkau untuk melakukan taubat nasuha (taubat yang sebenar-benarnya). Taubat nasuha yaitu dengan menyesali perbuatan dosa/maksiat yang telah dilakukan pada waktu yang lampau dan besegera meninggalkan/menarik diri dari perbuatan dosa/maksiat tersebut. Taubat nasuha juga harus dengan tekad/azzam yang benar untuk tidak kembali melakukan perbuatan dosa tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan bersahabat/bergaul dengan orang-orang yang shalih/baik, meninggalkan /
menjauh dari perkara-perkara yang bisa menjadi wasilah/jalan untuk melakukan dosa itu kembali, dan bersegeralah engkau untuk menikah.

Dan aku berikan kabar gembira dengan kebaikan, keberuntungan dan kesudahan yang terpuji jika engkau benar dalam taubat yang engkau lakukan. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya) :
“dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian mendapatkan keberuntungan”.
(Q.S An Nuur : 31)

Dan firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat
At Tahrim ( yang artinya):”Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat yang sebenar- benarnya”.
(Q.S At Tahrim : 8)

Dan sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
( yang artinya):”Taubat (taubat nasuha) menggugurkan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya”.
Dan sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam
( yang artinya):
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak mempunyai dosa “.
Dan semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau, meperbaiki hati dan amalanmu, serta semoga Allah mengaruniakan kepada engkau taubat nasuha dan teman-teman yang shalih.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

(Diterjemahkan oleh Al Akh Abu Sulaiman dari ‘Fataawa wa Maqaalaat bin Baaz ’, Muraja’ah Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid)
Buletin Dakwah Al-Atsary, Semarang Edisi 11/Th.I/1427H

Sumber Website: http://darussalaf.or.id/stories.php?id=271

Menghormati Bendera Berdasarkan Undang-Undang

27 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Fatawa Lajnah ad Daimah

Tanya :

Mohon pencerahan untuk saya tentang hukum orang yang berdinas di kemiliteran Mesir padahal ini adalah sumber pencahariannya. Peraturan kemiliteran dan Undang-undang mewajibkan baginya agar sebagian mereka menghormati sebagian yang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang–orang di negara lain. Kami harus memberikan penghormatan dengan cara yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, menghormati bendera negara serta berhukum dan memberikan vonis hukuman terhadap perkara diantara kami dengan selain syari”at Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni undang-undang kemiliteran ?

Jawab :

Tidak boleh menghormati bendera dan wajib berhukum kepada syari’at Islam dan menyerahkan putusan kepadanya juga, tidak boleh seorang muslim memberi hormat kepada para pimpinan atau kepala seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang di negara lain, karena terdapat hadits yang melarang untuk menyerupai mereka. Juga, karena hal itu merupakan bentuk berlebih-lebihan (ghuluw) dalam menghormati mereka. Wa shallallahu ’ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa sallam.

(Kumpulan Fatwa al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta, Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa, halaman 149. Dikumpulkan dalam Al Fatawa Asy Syari’iyyah fi Al Masa’il Al ‘Ashriyyah min Fatawa Ulama’ Al Balad Al Haram oleh Khalid Al Juraisiy).

Sumber Website:

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=413

Mengapa Anak Bisa Serupa dengan Orang Tuanya?

27 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, demikian kata pepatah. Dan kiranya kalau kita mau sekadar mencocok-cocokkan, pepatah ini bisa berlaku pada anak Adam. Maksudnya bagaimana? Coba kita perhatikan seorang anak dari suatu keluarga. Biasanya anak itu kalau nggak mirip ayahnya atau keluarga ayahnya, ya… mirip dengan ibunya atau keluarga ibunya. Artinya, sebagaimana buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Demikian pula anak yang terlahir, tak jauh dari sifat salah satu dari orang tuanya (keluarga orang tuanya) atau membawa sifat kedua-duanya. Terkadang anak itu laki-laki tapi sifat seperti ibunya, dan sebaliknya anak perempuan tapi sifatnya seperti bapaknya.

Demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala mengatur ciptaan-Nya, karena itu hendaknya manusia pandai-pandai bersyukur kepada-Nya dan memperhatikan dirinya dari apa ia diciptakan, sebagaimana Dia Yang Maha Tinggi berfirman:

فَلْيَنظُرِ اْلإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ خُلِقَ مِن مَّاء دَافِقٍ يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.” (Ath Thariq: 5-7)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala (4/498): “Firman Allah ta’ala: (Ia diciptakan dari air yang terpancar), yakni air yang keluar dengan terpancar dari laki-laki dan perempuan, maka akan terjadilah (lahirlah) anak dari keduanya dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla, dan karena itu Dia berfirman: (yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada), yakni dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”

Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa Allah menciptakan anak manusia dengan pertemuan air mani yang terpancar yang keluar dari sepasang suami istri tatkala keduanya melakukan jima’. Lalu Dia jadikan anak itu laki-laki atau perempuan, serupa dengan ayah atau ibunya, sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa.

Bagaimana Anak yang Terlahir Bisa Laki-laki dan Bisa Perempuan, dan Bagaimana Bisa Terjadi Penyerupaan dengan Orang Tua?

Anda mungkin sedang menanti-nantikan lahirnya anak laki-laki di tengah keluarga atau sebaliknya Anda sedang mendambakan lahirnya anak perempuan. Sebenarnya bagaimana sih prosesnya sehingga anak yang lahir bisa laki-laki dan bisa perempuan, bisa serupa ayahnya atau ibunya?

Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, ia berkata: Abdullah bin Salam (seorang Yahudi) mendengar berita kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah. Maka ia pun mendatangi beliau, lantas berkata: “Aku akan menanyaimu dengan tiga perkara, tidak ada yang mengetahui jawabannya kecuali Nabi.” Lalu ia mulai bertanya: “Apa tanda awal datangnya hari kiamat? Makanan apa yang pertama kali disantap penduduk surga? Apa sebab seorang anak bisa serupa dengan bapaknya dan apa sebab bisa serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya)?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menjawab: “Baru saja Jibril mengabarkan kepadaku.” Maka berkata Abdullah: “Jibril adalah musuh Yahudi dari kalangan malaikat.” Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam lalu menjawab (tiga pertanyaan tersebut):

أَمَّ أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ فَنَارٌ تَحْشُرُ النَّاسَ مِنَ الْمَشْرِقِ إِلىَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَزِيَادَةُ كَبَدِ حُوْتٍ. وَأَمَّا الشِّيْهُ فِيْ الْوَلَدِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَشَّى الْمَرْأَةَ فَسَبَقَهَا مَاؤُهُ كَانَ الشِّبْهُ لَهُ، وَإِذَا سَبَقَ مَاؤُهَا كَانَ الشِّبْهُ لَهَ. قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ. (حديث صحيح رواه البخاري)

“Adapun tanda awal terjadinya hari kiamat adalah keluarnya api yang akan mengumpulkan manusia dari timur ke barat. Makanan yang pertama kali disantap penduduk surga adalah hati ikan yang besar. Sedangkan masalah penyerupaan anak, apabila suami menggauli istrinya lalu air maninya keluar mendahului air mani istrinya maka anak (yang akan lahir) itu serupa dengan dirinya. Apabila air mani istrinya keluar lebih dulu maka anak itu akan serupa dengan istrinya.” Mendengar jawaban dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, Abdullah berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah.” (Abdullah bin Salam kemudian masuk islam, radhiyallahu ‘anhu-pen).

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwasanya wanita juga mengeluarkan mani sebagaimana laki-laki dan dengan mani itulah anak bisa serupa dengan ayah atau ibunya.

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwasanya Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلىَ الْمَرْأَةِ الْغُسْلَ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ. فَضَحِكَتْ أُمَّ سَلَمَةَ فَقَالَتْ: تَحْتَلِمُ الْمَرْأَةُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: فِيْمَا تُشْبِهُ الْوَلَدَ؟ (رواه البخاري جـ٣٣٢٨)

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari perkara yang haq. Apakah wanita juga harus mandi jika ia bermimpi (ihtilam)?” Beliau menjawab: “Ya, apabila melihat air.” Maka tertawalah Ummu Salamah dan berkata: “Apakah wanita juga mimpi (ihtilam)?” Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Bagaimanakah bisa terjadi penyerupaan anak?” (HR Bukhari no. 3328)

هَلْ تَغْتَسِلُ الْمَرْأَةُ إِذَا احْتَلَمَتْ وَأَبْصَرَتِ الْمَاءَ؟ فَقَالَ: (نَعَمْ) فَقَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ: تَرِبَتْ يَدَاكِ وَأَلَّتْ، قَالَتْ: فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم دَعِيْهَا، وَهَلْ يَكُوْنُ الشَّبْهُ إِلاَّ مِنْ قِبَلِ ذَلِكَ، إِذَا عَلاَ مَاؤُهَا مَاءَ الرَّجُلِ أَشْبَهَ الْوَلَدُ أَخْوَالَهُ، وَإِذَا عَلاَ مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَهَا أَشْيَهُ أَعْمَامَهُ.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya seorang wanita berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Apakah wanita juga harus mandi jika ia bermimpi dan melihat air?” Beliau menjawab: “Ya.” Maka ‘Aisyah berseru: “Taribat yadaki.” (kalimat pengingkaran yang ditujukan ‘Aisyah kepada wanita tersebut karena ia bertanya dengan pertanyaan demikian-pen). Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Biarkan dia, dari manakah persamaan bila tidak dari demikian. Bila air mani perempuan melebihi air mani laki-laki maka anak (yang terlahir) akan serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya) dan bila air mani laki-laki melebihi air mani perempuan maka anak akan serupa dengan a’mamnya (keluarga ayahnya).” (HR Imam Muslim hal. 251 Tartib Muhammad Fuad Abdul Baqi)

Dari hadits ‘Aisyah di atas dipahami bahwa pengunggulan dari air mani yang keluar, dengan izin Allah merupakan sebab penyerupaan anak. Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Imam Muslim dari Tsauban maula Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dijelaskan bahwa pengunggulan merupakan sebab anak yang terlahir itu laki-laki atau perempuan, dengan izin Allah. Yakni ketika datang seorang pendeta Yahudi kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. Ia bertanya tentang beberapa perkara, salah satunya ia bertanya tentang anak. Maka Nabi shallallahu ‘alahi wasallam menjawab:

مَاءُ الرَّجُلِ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ فَإِذَا اجْتَمَعَا فَعَلاَ مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ ذَكَرًا بِإِذْنِ اللهِ، وَإِذَا عَلاَ مَنِيُّ الْمَرْأَة مَنِيَّ الرَّجُلِ أُنْثًا بِإِذْنِ اللهِ.

“Air mani laki-laki itu warnanya putih sedang air mani perempuan itu kuning. Apabila keduanya berkumpul, lalu air mani laki-laki lebih banyak dari air mani perempuan maka anak (yang akan lahir) laki-laki, dengan izin Allah. Bila air mani perempuan lebih banyak dari air mani laki-laki maka anak (yang akan lahir) perempuan, dengan izin Allah….” (HR Muslim no. 315)

Asy Syaikh Musthafa Al Adawi dalam kitabnya Ahkamun Nisa’ mengatakan bahwasanya dari kedua hadits tersebut (hadits ‘Aisyah dan hadits Tsauban) menjadi jelaslah bahwa pengunggulan merupakan sebab penyerupaan anak dan sebab anak itu laki-laki atau perempuan. Artinya bila air mani laki-laki lebih banyak dari mani perempuan maka anaknya laki-laki serupa dengan a’maamnya (keluarga ayah). Sebaliknya bila air mani perempuan lebih banyak dari mani laki-laki, maka anak yang akan lahir perempuan dan serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya).

Namun terkadang kita dapatkan justru sebaliknya. Ada anak laki-laki tapi serupa dengan akhwalnya dan kadang ada anak perempuan yang serupa dengan a’maamnya, karena sebab itulah sebagian ulama mengarahkannya kepada ta’wil. Di antaranya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, beliau menakwilkan kata “al ‘uluw” dalam hadits ‘Aisyah dengan makna “As Sabq” (mendahului), sedangkan kata “al ‘uluw” pada hadits Tsauban, sesuai dengan makna zhahirnya (yakni unggul/melebihi). (Fathul Bari 7/273)

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (7/273): “As Sabq” merupakan tanda (anak yang akan lahir) laki-laki atau perempuan sedangkan “Al ’uluw” sebagai tanda keserupaan.” Kemudian Al Hafizh melanjutkan: “Seakan-akan yang dimaksud dengan “Al ’uluw” yang merupakan sebab keserupaan itu adalah bila mani dari salah satunya (laki-laki atau perempuan) keluar dalam jumlah yang banyak sehingga membanjiri yang lainnya. Dengan keadaan ini maka tercapailah keserupaan. Perkara ini ada enam keadaan:

Pertama: Apabila mani laki-laki lebih banyak dan keluar mendahului mani perempuan. Maka anak yang akan lahir laki-laki dan serupa dengan ayah/keluarga ayahnya.

Kedua: Sebaliknya, bila mani perempuan lebih banyak dan keluar mendahului mani laki-laki, maka anak yang akan lahir perempuan dan serupa dengan ibu/keluarga ibunya.

Ketiga: Bila mani laki- laki keluar lebih dahulu namun mani perempuan lebih banyak, maka akan lahir anak laki-laki dan serupa dengan ibunya.

Keempat: Sebaliknya, bila mani perempuan keluar lebih dahulu namun mani laki-laki lebih banyak maka akan terlahir anak perempuan dan serupa dengan ayahnya.

Kelima: Bila mani laki-laki keluar mendahului mani perempuan dan sama banyaknya maka akan terlahir anak laki-laki dan tidak khusus penyerupaannya dengan ayah dan ibunya.

Keenam: Sebaliknya, bila mani perempuan mendahului mani laki-laki dan sama banyaknya maka akan lahir anak perempuan dan tidak khusus penyerupaannya.”

Semuanya itu bisa terjadi dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Bila Dia menghendaki akan terjadi dan bila tidak maka tidak mungkin akan terjadi.

Wallahu a’lam.

Maraji’:
1. Al Qur’anul Karim
2. Ahkamun Nisa’, Asy Syaikh Musthafa al Adawi
3. Ahkamut Thifl, Ahmad Al ‘Aysawi
4. Fathul Bari, Ibnul hajar Al Asqalani
5. Shahih Muslim Syarhun Nawawi, Imam An Nawawi.

(Sumber: Majalah SALAFY edisi XVIII/Shafar/1418/1997 Lembar Muslimah halaman 10-13, ditulis oleh Ibnatu Husein dan Abu Ishaq Al Atsary)

Sumber Website: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=504

Kategori:Problema Maksiat

Makanan Halal & Haram A – Z

27 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Redaksi Al Atsariyyah

Termasuk di antara keluasan dan kemudahan dalam syari’at Islam, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menghalalkan semua makanan [1] yang mengandung maslahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan -setelah hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya. Karenanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda:

أَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى لَهُ

“Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas untuknya”.

Makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis:

1. Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dan selainnya.

2. Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinahan, sesajen perdukunan, makanan yang disuguhkan dalam acara-acara yang bid’ah, dan lain sebagainya.

Satu hal yang sangat penting untuk diyakini oleh setiap muslim adalah bahwa apa-apa yang Allah telah halalkan berupa makanan, maka disitu ada kecukupan bagi mereka (manusia) untuk tidak mengkonsumsi makanan yang haram.

[Muqaddimah Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath’imah wal Masyrubat dan muqaddimah Al-Ath’imah karya Al-Fauzan]

Sebelum kita menyebutkan satu persatu makanan dan minuman yang disebutkan dalam Al-Qur`an dan Sunnah beserta hukumnya masing-masing, maka untuk lebih membantu memahami pembahasan, kami dahului dengan beberapa pendahuluan.

* Pendahuluan Pertama: Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang menyatakan haramnya.

Allah -Ta’ala- berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 29)

Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan- yang ada di bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal dan boleh, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali yang halal dan baik.

Dalam ayat yang lain:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. Al-An’am: 119)

Maka semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at berarti adalah halal [2].

Faidah:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Hukum asal padanya (makanan) adalah halal bagi seorang muslim yang beramal sholeh, karena Allah -Ta’ala- tidaklah menghalalkan yang baik-baik kecuali bagi siapa yang akan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya, bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh”. (QS. Al-Ma`idah: 93)

Karenanya tidak boleh menolong dengan sesuatu yang mubah jika akan digunakan untuk maksiat, seperti memberikan daging dan roti kepada orang yang akan minum-minum khamar atau akan menggunakannya dalam kejelekan” [3].

* Pendahuluan Kedua: Manhaj Islam dalam penghalalan dan pengharaman makanan adalah “Islam menghalalkan semua makanan yang halal, suci, baik, dan tidak mengandung mudhorot, demikian pula sebaliknya Islam mengharamkan semua makanan yang haram, najis atau ternajisi, khobits (jelek), dan yang mengandung mudhorot”.

Manhaj ini ditunjukkan dalam beberapa ayat, di antaranya:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. (QS. Al-Baqarah: 168)

Dan Allah mensifatkan Nabi Muhammad dalam firman-Nya:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (QS. Al-A’raf: 157)

Allah melarang melakukan apa saja -termasuk memakan makanan- yang bisa memudhorotkan diri, dalam firman-Nya:

وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah: 195)

Juga sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”.

Karenanya diharamkan mengkonsumsi semua makanan dan minuman yang bisa memudhorotkan diri -apalagi kalau sampai membunuh diri- baik dengan segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan semua jenis dan macamnya, rokok, dan yang sejenisnya.

Adapun makanan yang haram karena diperoleh dari cara yang haram, maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:

إِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan-kehormatan kalian antara sesama kalian adalah haram”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Faidah:

1. Makna makanan yang najis adalah jelas, adapun makanan yang ternajisi, contohnya adalah mentega yang kejatuhan tikus. Hukumnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Maimunah -radhiallahu ‘anha- bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- ditanya tentang lemak yang kejatuhan tikus, maka beliau bersabda:

أُلْقُوْهَا, وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوْهُ، وَكُلُوْا سَمَنَكُمْ

“Buanglah tikusnya dan buang juga lemak yang berada di sekitarnya lalu makanlah lemak kalian”. (HR. Al-Bukhary)

Jadi jika yang kejatuhan najis adalah makanan padat, maka cara membersihkannya adalah dengan membuang najisnya dan makanan yang ada di sekitarnya, adapun sisanya boleh untuk dimakan. Akan tetapi jika yang kejatuhan najis adalah makanan yang berupa cairan, maka hukumnya dirinci; jika najis ini merubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, rasa, dan warna) maka makanannya dihukumi najis sehingga tidak boleh dikonsumsi, demikian pula sebaliknya.

2. Makanan yang jelek (arab: khobits) ada dua jenis; yang jelek karena dzatnya -seperti: darah, bangkai, dan babi- dan yang jelek karena salah dalam memperolehnya -seperti: hasil riba dan perjudian-. Lihat Majmu’ Al-Fatawa (20/334).

3. Adapun ukuran kapan suatu makanan dianggap thoyyib (baik) atau khobits (jelek), maka hal ini dikembalikan kepada syari’at. Maka apa-apa yang dihalalkan oleh syari’at maka dia adalah thoyyib dan apa-apa yang diharamkan oleh syari’at maka dia adalah khabits, ini adalah madzhab Malikiyah dan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang akan nampak dalam ucapan beliau.

Adapun jumhur ulama, mereka mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam penentuannya adalah orang-orang Arab, karena kepada merekalah asalnya diturunkan Al-Qur`an sehingga mereka yang secara langsung diajak bicara oleh syari’at. Lihat Hasyiyah Ibni ‘Abidin (5/194), Al-Majmu’ (9/25-26), dan Asy-Syarhul Kabir (11/64).

Hanya saja ini (pendapat jumhur) adalah pendapat yang kurang kuat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam menjelaskan makna firman Allah -Ta’ala-:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ

“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik.”. (QS. Al-Maidah: 4)

Beliau berkata, “Seandainya makna “yang baik” di sini adalah apa yang dihalalkan, maka tentunya kalimat ini tidak ada faidahnya4. Maka dari sini diketahuilah bahwa thoyyib dan khobits adalah sifat yang berada pada sebuah benda, dan bukan yang diinginkan dengannya (thoyyib) sekedar kelezatan dalam memakannya. Karena terkadang seorang manusia menikmati (merasa lezat) dengan apa yang membahayakan dirinya yang berupa racun [5], atau menikmati apa yang dilarang oleh dokter [6]. Dan bukan pula yang diinginkan darinya (thoyyib) dengan merasa nikmatnya sebagian bangsa -misalnya bangsa Arab- terhadap suatu makanan, dan bukan pula dianggap thoyyib karena keberadaannya sebagai makanan yang biasa dimakan (dinikmati) oleh orang-orang Arab. Hal itu karena, keberadaan suatu makanan biasa dimakan dan disenangi oleh sebagian bangsa atau sebaliknya mereka tidak menyukainya karena makanan itu tidak ada di negerinya, (semua ini) tidaklah mengharuskan Allah mengharamkan sebuah makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa) tidak terbiasa dengannya sebagaimana tidak mengharuskan Allah menghalalkan suatu makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa) terbiasa dengannya. Bagaimana tidak, padahal orang-orang Arab (dahulu) telah terbiasa (menyukai) dengan memakan darah, bangkai, dan selainnya padahal semuanya telah diharamkan oleh Allah -Ta’ala-. …. . Demikian halnya Quraisy, mereka memakan yang khobits yang telah Allah haramkan dan sebaliknya mereka tidak menyukai makanan-makanan yang Allah tidak mengharamkannya”. -Lalu beliau membawakan hadits yang menunjukkan Nabi tidak makan biawak, bukan karena dia haram akan tetapi karena beliau tidak biasa memakannya [7]-. “Maka dari sini jelaslah bahwa ketidaksukaan suku Quraisy dan selainnya (dari bangsa Arab) terhadap sebuah makanan tidaklah mengharuskan (baca: menunjukkan) pengharaman makanan tersebut atas segenap kaum mu`minin baik yang Arab maupun yang ajam (non-Arab). Dan juga sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau, tidak seorangpun di antara mereka yang mengharamkan makanan yang tidak disukai oleh orang Arab dan sebaliknya tidak pernah membolehkan apa yang (biasa) dimakan oleh orang Arab” [8].

* Pendahuluan Ketiga: Makanan manusia secara umum ada dua jenis:

1. Selain hewan, terdiri dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, benda-benda (roti, kue dan sejenisnya), dan yang berupa cairan (air dengan semua bentuknya).

Ibnu Hubairah -rahimahullah- dalam Al-Ifshoh (2/453) menukil kesepakatan ulama akan halalnya jenis ini kecuali yang mengandung mudhorot.

2. Hewan, yang terdiri dari hewan darat dan hewan air.

Hewan darat juga terbagi menjadi dua;
1. Jinak, yaitu semua hewan yang hidup di sekitar manusia dan diberi makan oleh manusia, seperti: hewan ternak
2. Liar, yaitu semua hewan yang tinggal jauh dari manusia dan tidak diberi makan oleh manusia, baik dia buas maupun tidak. Seperti: singa, kelinci, ayam hutan, dan sejenisnya.

Hukum hewan darat dengan kedua bentuknya adalah halal kecuali yang diharamkan oleh syari’at [9], yang rinciannya insya Allah akan datang satu persatu.

Hewan air juga terbagi menjadi 2:
1. Hewan yang hidup di air yang jika dia keluar darinya akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya.
2. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting [10].

Hukum hewan air bentuk yang pertama, -menurut pendapat yang paling kuat- adalah halal untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah -Ta’ala-:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” (QS. Al-Ma`idah: 96)

Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya:

1. Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/195)
2. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9)

[Al-Bidayah (1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan Al-Majmu’ (9/32,33), Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195]

Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam, maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam -baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai- seluruhnya adalah halal kecuali kodok. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya [11]. Lihat Al-Majmu’ (9/32-33)

Setelah memahami ketiga pendahuluan di atas, maka berikut penyebutan satu persatu makanan yang dibahas oleh para ulama beserta hukumnya masing-masing:

1. Bangkai
Bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa penyembelihan yang syar’iy dan juga bukan hasil perburuan.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan dalam firman-Nya:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”. (QS. Al-Ma`idah: 3)

Dan juga dalam firmannya:

وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan”. (QS. Al-An’am: 121)

Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat-ayat di atas:

1. Al-Munhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik.
2. Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena pukulan keras.
3. Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.
4. An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya.
5. Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas.
6. Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya disetrum.
7. Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah.
8. Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah.
9. Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid secara marfu’:

مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ، فَهُوَ مَيْتَةٌ

“Apa-apa yang terpotong dari hewan dalam keadaan dia (hewan itu) masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy dan dishohihkan olehnya)

Diperkecualikan darinya 3 bangkai, ketiga bangkai ini halal dimakan:

1. Ikan, karena dia termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua hewan air adalah halal bangkainya kecuali kodok.

2. Belalang. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar secara marfu’:

أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالسَّمَكُ وَالْجَرَادُ, وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

3. Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy, bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ

“Penyembelihan untuk janin adalah penyembelihan induknya”.

Maksudnya jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang.

[Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath’imah wal Masyrubat point pertama]

2. Darah.
Yakni darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-An’am ayat 145:

أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا

“Atau darah yang mengalir”.

Dikecualikan darinya hati dan limfa sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang baru berlalu. Juga dikecualikan darinya darah yang berada dalam urat-urat setelah penyembelihan.

3. Daging babi.

Telah berlalu dalilnya dalam surah Al-Ma`idah ayat ketiga di atas. Yang diinginkan dengan daging babi adalah mencakup seluruh bagian-bagian tubuhnya termasuk lemaknya.

4. Khamar.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”. (QS. Al-Ma`idah: 90

Dan dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:

كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ

“Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram”.

Dikiaskan dengannya semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan macamnya.

5. Semua hewan buas yang bertaring.

Sahabat Abu Tsa’labah Al-Khusyany -radhiallahu ‘anhu- berkata:

أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ

“Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari (mengkonsumsi) semua hewan buas yang bertaring”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Dan dalam riwayat Muslim darinya dengan lafazh, “Semua hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram”.

Yang diinginkan di sini adalah semua hewan buas yang bertaring dan menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan hewan lainnya. Lihat Al-Ifshoh (1/457) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).

Jumhur ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya.

[Asy-Syarhul Kabir (11/66), Mughniyul Muhtaj (4/300), dan Syarh Tanwiril Abshor ma’a Hasyiyati Ibnu ‘Abidin (5/193)]

6. Semua burung yang memiliki cakar.

Yang diinginkan dengannya adalah semua burung yang memiliki cakar yang kuat yang dia memangsa dengannya, seperti: elang dan rajawali. Jumhur ulama dari kalangan Imam Empat -kecuali Imam Malik- dan selainnya menyatakan pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas -radhiallahu ‘anhuma-:

نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ ذِيْ مَخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ

“Beliau (Nabi) melarang untuk memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar”. (HR. Muslim)

[Al-Majmu’ (9/22), Al-Muqni’ (3/526,527), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499)]

7. Jallalah.

Dia adalah hewan pemakan feses (kotoran) manusia atau hewan lain, baik berupa onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung, seperti: garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses), dan sebagian gagak. Lihat Nailul Author (8/128).

Hukumnya adalah haram. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad -dalam satu riwayat- dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- beliau berkata:

نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا

“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari memakan al-jallalah dan dari meminum susunya”. (HR. Imam Lima kecuali An-Nasa`iy (3787))

Beberapa masalah yang berkaitan dengan jallalah:

1. Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam kategori jallalah yang diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah hewan yang kebanyakan makanannya adalah feses dan jarang memakan selainnya. Dikecualikan juga semua hewan air pemakan feses, karena telah berlalu bahwa semua hewan air adalah halal dimakan. Lihat Hasyiyatul Al-Muqni’ (3/529).
2. Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar. Lihat Al-Majmu’ (9/28).

[Al-Muqni’ (3/527,529), Mughniyul Muhtaj (4/304), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499-500)]

8. Keledai jinak (bukan yang liar).

Ini merupakan madzhab Imam Empat kecuali Imam Malik dalam sebagian riwayat darinya. Dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِنَّ الله ورسوله يَنْهَيَاكُمْ عَنْ لُحُوْمِ ِالْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ, فَإِنَّهَا رِجْسٌ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging-daging keledai yang jinak, karena dia adalah najis”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Diperkecualikan darinya keledai liar, karena Jabir -radhiallahu ‘anhu- berkata:

أَكَلْنَا زَمَنَ خَيْبَرٍ اَلْخَيْلَ وَحُمُرَ الْوَحْشِ ، وَنَهَانَا النبي صلى الله عليه وسلم عَنِ الْحِمَارِ الْأَهْلِيْ

“Saat (perang) Khaibar, kami memakan kuda dan keledai liar, dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang kami dari keledai jinak”. (HR. Muslim)

Inilah pendapat yang paling kuat, sampai-sampai Imam Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama zaman ini tentang pengharamannya”. Lihat Al-Mughny beserta Asy-Syarhul Kabir (11/65).

[Al-Bada`i’ (5/37), Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni’ (3/525), dan Al-Bidayah (1/344].

9. Kuda.

Telah berlalu dalam hadits Jabir bahwasanya mereka memakan kuda saat perang Khaibar. Semakna dengannya ucapan Asma` bintu Abi Bakr -radhiallahu ‘anhuma-:

نَحَرْنَا فَرَسًا عَلَى عَهْدِ رسول الله صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَاهُ

“Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu kamipun memakannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Maka ini adalah sunnah taqririyyah (persetujuan) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah, serta merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy sebagaimana dalam Fathul Bary (9/650) dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/3440).

[Mughniyul Muhtaj (4/291-291), Al-Muqni’ beserta hasyiyahnya (3/528), Al-Bada`i’ (5/18), dan Asy-Syarhus Shoghir (2/185)]

10. Baghol.

Dia adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Jabir -radhiallahu ‘anhuma- berkata:

حَرَّمَ رسول الله صلى الله عليه وسلم – يَعْنِي يَوْمَ خَيْبَرٍٍ – لُحُوْمَ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ، وَلُحُوْمَ الْبِغَالِ

“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengharamkan -yakni saat perang Khaibar- daging keledai jinak dan daging baghol. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzy)

Dan ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan yang haram dimakan.

[Al-Majmu’ (9/27), Ays-Syarhul Kabir (11/75), dan Majmu’ Al-Fatawa (35/208)].

11. Anjing.
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:

إِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya [12]“.

Dan telah tsabit dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan anjing.

[Al-Luqothot point ke-12]

12. Kucing baik yang jinak maupun yang liar.

Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya.

[Al-Majmu’ (9/8) dan Hasyiyah Ibni ‘Abidin (5/194)]

13. Monyet.

Ini merupakan madzhab Syafi’iyah dan merupakan pendapat dari ‘Atho`, ‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan monyet adalah haram, karena Allah -Ta’ala- telah merubah sekelompok manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah -Ta’ala- tidaklah merubah bentuk (suatu kaum) sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis dia tergolong hewan yang khobits (jelek)” [13].

[Al-Luqothot point ke-13]

14. Gajah.

Madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori hewan buas yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-.

[Al-Luqothot point ke-14]

15. Musang (arab: tsa’lab)

Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad.

[Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni’ (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]

16. Hyena/kucing padang pasir (arab: Dhib’un)

Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging hyena. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Abi ‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi, “apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali bertanya, “apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”, beliau menjawab, “iya”“. Diriwayatkan oleh Imam Lima [14] dan dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir (4/152).

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany.

Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul Author (8/127) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni’ (3/52)]

17. Kelinci.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:

أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ
“Sesungguhnya beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya”.

Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari ‘Amr ibnul ‘Ash”.
[Al-Luqothot point ke-16]

18. Belalang.

Telah berlalu dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan. Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:

غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ

“Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 7 peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

[Al-Luqothot point ke-17]

19. Kadal padang pasir (arab: dhobbun [15]).

Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah bahwa dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang biawak:

كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ
“Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)

Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:

لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي

“Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.

Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97).

[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni’ (3/529)]

20. Landak.
Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi’iyyah akan boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al-Majmu’ (9/10).

21. Ash-shurod, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.

Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:

نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ

“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).

Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.

Dan semua hewan yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh.

[Al-Luqothot point ke-19 s/d 23]

22. Yarbu’.

Halal. Ini merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71).

[Hasyiyatul Muqni’ (3/528) dan Mughniyul Muhtaj (4/299)]

23. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.

Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy.

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا

“Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim)

Adapun tokek dan -wallahu a’lam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran membunuh wazag (tokek).
[Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]

24. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon).

Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga hewan ini adalah halal dimakan.

[Al-Luqothot point ke-28 s/d 30]

25. Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil, dan kelelawar.

Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis serangga, seperti: tokek (masuk juga cicak), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang sejenis dengan mereka, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-, “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’iy kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih” [16].

[Al-Luqothot point ke-31 s/d 34]

Inilah secara ringkas penyebutan beberapa kaidah dalam masalah penghalalan dan pengharaman makanan beserta contoh-contohnya semoga bisa bermanfaat. Penyebutan makanan sampai point ke-25 di atas bukanlah dimaksudkan untuk membatasi bahwa makanan yang haram jumlahnya hanya sekitar itu, akan tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi hewan-hewan lain yang tidak sempat kami sebutkan.

Adapun makanan selain hewan dan juga minuman, maka hukumnya telah kami terangkan secara global dalam pendahuluan-pendahuluan di awal pembahasan, yang mana pendahuluan-pendahuluan ini adalah semacam kaidah untuk menghukumi semuanya, wallahul muwaffiq.

Footnote :
1. Arab:tho’am, kata yang mencakup di dalamnya makanan dan minuman. Lihat Tahdzibul Asma’ (2/186)
2. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/135
3. Al-Ikhtiyarot hal 321
4. Yakni karena berarti ayatnya akan bermakna : “dihalalkan bagi kalian yang halal”, sehingga kalimatnya tidak memiliki faidah tambahan
5. Seperti : narkoba dengan semua jenisnya, rokok dan selainnya
6. Yakni untuk kesembuhannya dari sebuah penyakit
7. Akan datang haditsnya pada point ke 19
8. Majmu’ Al Fatawa (17/178-180) dan al-Ikhtiyarot hal 321
9. Manhajus Salikin hal 52
10. Lihat pembagian ini dalam Tafsir Al-Qurthuby 6/318 dan Al-Majmu’ 9/31-32
11. Akan datang dalil pengharamannya pada penyebutan makanan yang ke 21
12. Maksudnya diharamkan menjualnya, menyewanya, dan seterusnya dari bentuk tukar-menukar harga
13. Al Muhalla 7/429
14. Mereka adalah Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’iy, At-Timirdzi dan Ibnu Majah
15. Termasuk kekeliruan dari sebagian orang ketika menerjemahkan dhib’un dengan biawak, padahal keduanya berbeda. Biawak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Wallahu a’lam.
16. Al-Muhalla 7/405

Referensi:

1. Al-Ath’imah wa Ahkamis Shoyd wadz Dzaba`ih, karya Syaikh Al-Fauzan, cet. I th. 1408 H/1988 M, penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Ar-Riyadh.
2. Al-Majmu’, Imam An-Nawawy, Cet. Terakhir, th. 1415 H/1995 M, penerbut: Dar Ihya`ut Turots Al-Araby.
3. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al-Maliky, cet. X, th. 1408 H/1988 M, penerbit: Darul Kutubil ‘Ilmiyah .
4. Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath’imah wal Masyrubat, karya Muhammad bin Hamd Al-Hamud An-Najdy.

Sumber Website:

http://al-atsariyyah.com/?p=307, http://al-atsariyyah.com/wp-content/uploads/2008/10/makanan.doc.

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1562