Arsip

Posts Tagged ‘natal’

Sikap Seorang Muslim Dalam Menyikapi Hari Raya Orang Kafir (Natal, Paskah, Imlek, Dan Lain-lain)

31 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Tuntunan Ulama’ Salaf dalam menyikapi hari raya non muslim
Penulis: Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Iftaa. Fatwa n

Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin

Pertanyaan :

Apakah boleh memberikan ucapan selamat hari raya atau yang lainnya kepada orang orang Masihiyun (penganut ajaran Isa al Masih)?

Jawaban :

Yang benar adalah jika kita mengatakan : Orang-orang nasrani, karena kalimat masihiyun berarti menisbatkan syariat (yang di bawah Nabi Isa) kepada agama mereka, artinya mereka menisbatkan diri mereka kepada Al-Masih Isa bin Maryam.

Padahal telah diketahui bahwa Isa bin Maryam Alaihissalam telah membawa kabar gembira untuk Bani Israil dengan(kedatangan) Muhammad.

Allah Subhanahu wa Taala berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: `Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)`. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: Ini adalah sihir yang nyata” (Ash-Shaff: 6).

Maka jika mereka mengkafiri/mengingkari Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam maka berarti mereka telah mengkafiri Isa, kerena mereka telah menolak kabar gembira yang beliau sampaikan kepada mereka. Dan oleh karena itu kita mensifati mereka dengan apa yang disifatkan Allah atas mereka dalam Al-Qur`an dan dengan apa yang disifatkan oleh Rasulullah Shallallahu wa `alaihi wa Sallam dalam As-Sunnah, dan yang disifatkan/digambarkan oleh para ulama muslimin dengan sifat ini yaitu bahwa mereka adalah nashrani sehingga kitapun mengatakan: sesungguhnya orang-orang nashrani jika mengkafiri Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam maka sebenarnya mereka telah mengkafiri Isa bin Maryam.

Akan tetapi mereka mengatakan: Sesungguhnya Isa bin Maryam telah memberi kabar gembira kepada kami dengan seorang rasul yang akan datang sesudahnya yang namanya Ahmad, sementara yang datang namanya adalah Muhammad. Maka kami menanti (rasul yang bernama) Ahmad, sedangkan Muhammad adalah bukanlah yang dikabargembirakan oleh Isa. Maka apakah jawaban atas penyimpangan ini?

Jawabannya adalah kita mengatakan bahwa Allah telah berfirman: Maka ketika ia (Muhammad) datang kepada mereka dengan penjelasan-penjelasan،. Ayat ini menunjukkan bahwa rasul tersebut telah datang; dan apakah telah datang kepada mereka seorang rasul selain Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam setelah Isa? Tentu saja tidak, tidak seorang rasulpun yang datang sesudah Isa selain Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam. Dan berdasarkan ini maka wajiblah atas mereka untuk beriman kepada Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam dan juga kepada Isa `Alaihissalam.

Rasul telah beriman kepada Al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya (mereka mengakatan): `Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya.،¦ (Al-Baqarah:285)

Oleh karena itu Nabi Shallallahu wa `alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah(Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3435 dalam kitab Ahaditsul Anbiya` bab Qauluhu Ta`ala: Ya Ahal Kitabi La Taghlul Fi Dinikum, dan oleh Muslim no. 28 dalam kitab Al-Iman bab Ad-Dalil `Alaa Inna Man Maata `Alat Tauhiid Dakhalal Jannah Qath`an dari hadits `Ubadah bin Ash-Shamit Radhiallahu Anhu).

Maka tidak sempurna iman kita kecuali dengan beriman kepada Isa Alaihissalam dan bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allah, sehingga kita tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang nashrani; bahwa ia adalah putra Allah, dan tidak (pula mengatakan) bahwa ia adalah tuhan. Dan kita tidak pula mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang yahudi: bahwa beliau adalah pendusta dan bukan seorang Rasul dari Allah, akan tetapi kita mengatkan bahwa Isa di utus kepada kaumnya dan bahwa syariat Isa dan nabi-nabi yang lainnya telah dihapus oleh syariat Nabi Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam.

Adapun memberi ucapan selamat hari raya kepada orang-orang nashrani atau yahudi maka ia adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab Ahkam Ahli Adz-Dzimmah, dan silahkan anda membaca teks tulisan beliau: “Dan adapun memberikan ucapan selamat untuk syiar-syiar kekufuran yang bersifat khusus maka ia adalah haram secara ijma`, seperti mengucapkan selama untuk hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan : “hari raya yang diberkahi untuk anda،¦ Maka yang seperti ini kalaupun orang yang mengucapkan selamat dari kekufuran maka perbuatan itu termasuk yang diharamkan. Dan ia sama dengan memberikan selamat untuk ujudnya kepada salib. Bahkan itu lebih besar dosanya dan lebih dimurkai oleh Allah daripada memberikan selamat atas perbuatannya meminum khamar, membunuh, melakukan zina dan yang semacamnya. Dan banyak orang yang tidak memiliki penghormatan terhadap Ad-dien terjatuh dalam hal itu dan ia tidak mengetahui apa yang telah ia lakukan”. Selesai tulisan beliau.
(Dinukil dari Ash-Shahwah Al-Islamiyah, Dhawabith wa Taujihat, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin).

Pertanyaan :

Apakah boleh berpartisipasi dengan kalangan non muslim dalam Hari-hari Raya mereka (Natal, Tahun Baru, Paskah, Imlek, dll, red), seperti hari ulang tahun misalnya?

Jawaban :

Alhamdulillah. Seorang muslim tidak boleh berpartisipasi dalam hari-hari perayaan mereka dan turut menunjukkan kegembiraan dan keceriaan bersama mereka dalam memperingatinya, atau ikut libur bersama mereka, baik itu peringatan yang bersifat keagamaan atau keduniawiaan. Karena itu menyerupai musuh-musuh Allah yang memang diharamkan, selain juga berarti menolong mereka dalam kebatilan. Diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai satu kaum berarti termasuk golongan mereka.”

Sementara Allah juga berfirman: “Bertolong-tolonganlah dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan; bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Keras siksanya..” (QS.Al-Maa-idah : 2)

Maka kami nasihat agar Anda menelaah kibat Iqtidhaa-ush Shiratil Mustaqiem karya Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah– sebuah buku yang amat bermutu sekali dalam persoalan tersebut. Wabillahit Taufiq. Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Iftaa. Fatwa nomor 2540)

Pertanyaan :

Saya menyaksikan banyak kaum muslimin yang turut berpartisipasi dalam merayakan Hari Natal dan berbagai perayaan lain. Apakah ada dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang bisa saya tunjukkan kepada mereka bahwa kegiatan tersebut tidaklah disyariatkan?

Jawaban :

Ikut serta dalam Hari Raya orang kafir bersama mereka tidak boleh, berdasarkan hal-hal berikut:
Pertama: itu berarti menyerupai mereka. Nabi bersabda: “Barangsiapa menyerupai satu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dikatakan oleh Al-Albani -Rahimahullah– : “Hasan shahih.” (Shahih Abu Dawud II : 761)

Ini merupakan ancaman keras. Abdullah bin Amru bin Ash Radhiallahu ‘anhuma pernah menyatakan: “Barangsiapa yang tinggal di negeri kaum musyrikin dan mengkuti acara Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu meniru mereka hingga mati, ia akan merugi di Hari Kiamat nanti.”

Kedua: Ikut serta berarti juga menyukai dan mencintai mereka

Allah berfirman: “Janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai wali kalian..”

Demikian juga Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman; janganlah kalian menjadikan musuh-musuh-Ku dan musuh-musuh kalian sebagai wali yang kalian berikan kepada mereka kecintaan padahal mereka telah kafir terhadap kebenaran yang datang kepada mereka..”

Yang ketiga: Hari Raya adalah masalah agama dan akidah, bukan masalah keduniaan, sebagaimana ditegaskan dalam hadits: “Setiap kaum memiliki Hari Raya, ini adalah Hari Raya kita..” Hari Raya mereka mengekspresikan akidah mereka yang rusak, penuh syirik dan kekafiran.

Keempat: “Dan mereka-mereka yang tidak menghadiri kedustaan (kemaksiatan)..” ditafsirkan oleh para ulama bahwa yang dimaksud dengan kedustaan dalam ayat itu adalah Hari-hari Raya kaum musyrikin. Sehingga tidak boleh menghadiahkan kepada mereka kartu ucapan selamat, atau menjualnya kepada mereka, demikian juga tidak boleh menjual segala keperluan Hari Raya mereka, baik itu lilin, pohon natal, makanan-makanan; kalkun, manisan atau kue yang berbentuk stik atau tongkat dan lain-lain.

Kalau yang dimaksud dengan peringatan di situ adalah peringatan Hari Raya orang-orang kafir dan musyrikin tersebut, jelas tidak boleh kita berpartisipasi dalam Hari Raya yang batil tersebut. Karena itu mengandung kerja sama dan menolong mereka dalam berbuat dosa dan permusuhan. Berpartisipasi dalam Hari Raya mereka juga berarti Menyerupai orang-orang kafir. Islam telah melarang menyerupai orang-orang kafir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk dalam golongan mereka.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Ahmad)

Umar bin Al-Khattab pernah menyatakan: “Jauhilah musuh-musuh Allah pada Hari Raya mereka.” Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi)

Ibnul Qayyim -Rahimahullah– menyatakan: “Kaum muslimin tidak boleh menghadiri perayaan Hari-hari Raya kaum musyrikin menurut kesepakatan para ulama yang berhak memberikan fatwa. Para ulama fikih dari madzhab yang empat sudah menegaskan hal itu dalam buku-buku mereka. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Umar bin Al-Khattab Radhiallahu ‘anhu bahwa beliau pernah berkata: “Janganlah menemui orang-orang musyrik di gereja-gereja mereka pada Hari Raya mereka. Karena kemurkaan Allah sedang turun di antara mereka.” Umar juga pernah berkata: “Jauhilah musuh-musuh Allah itu pada Hari Raya mereka.” Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanad yang bagus dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘anhuma beliau pernah berkata: “Barangsiapa lewat di negeri non Arab, lalu mereka sedang merayakan Hari Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu ia meniru mereka hingga mati, maka demikianlah ia dibangkitkan bersama mereka di Hari Kiamat nanti.” (Lihat Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I : 723-724).

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah– menyatakan dalam bukunya yang agung Iqtidha-ush Shirathil Mustaqiem Mukhalafata Ash-haabil Jahiem: “Adapun apabila seorang muslimin menjual kepada mereka pada Hari-hari Raya mereka segala yang mereka gunakan pada Hari Raya tersebut, berupa makanan, pakaian, minyak wangi dan lain-lain, atau menghadiahkannya kepada mereka, maka itu termasuk menolong mereka mengadakan Hari Raya mereka yang diharamkan. Dasarnya satu kaidah: tidak boleh menjual anggur atau jus kepada orang kafir yang jelas digunakan untuk membuat minuman keras. Juga tidak boleh menjual senjata kepada mereka bila digunakan untuk memerangi kaum muslimin.”

Kemudian beliau menukil dari Abdul Malik bin Habib dari kalangan ulama Malikiyyah: “Sudah jelas bahwa kaum muslimin tidak boleh menjual kepada orang-orang Nashrani sesuatu yang menjadi kebutuhan Hari Raya mereka, baik itu daging, lauk-pauk atau pakaian. Juga tidak boleh memberikan kendaraan kepada mereka, atau memberikan pertolongan untuk Hari Raya, karena yang demikian itu termasuk memuliakan kemusyrikan mereka dan menolong mereka dalam kekufuran mereka.” (Al-Iqtidhaa cet. Darul Makrifah dengan tahqiq Al-Qafiyy hal. 229-231)

Semua perayaan tahunan dan pertemuan tahunan (yang dirayakan non Muslim, red) adalah Hari-hari Raya bid’ah dan ajaran bid’ah yang tidak pernah diturunkan oleh Allah penjelasan tentang hal itu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berhati-hatilah terhadap amalan yang dibuat-buat. Setiap amalan yang dibuat-buat adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi serta yang lainnya)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Masing-masing kaum memiliki Hari Raya, dan ini adalah Hari Raya kita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah– mengulas persoalan tersebut secara panjang lebar dalam buku beliau Iqtidha-ush Shiratil Mustaqiem Mukhalafata Ash-habil Jahiem, berkaitan dengan kecaman terhadap berbagai Hari Raya bid’ah yang tidak ada asalnya dalam ajaran Islam yang lurus. Adapun kerusakan yang terkandung dalam acara-acara tersebut, tidak setiap orang, bahkan juga kebanyakan orang tidak dapat mengetahui kerusakan yang terkandung dalam bentuk bid’ah semacam itu. Apalagi bentuk bid’ah itu adalah bid’ah dalam ibadah syariat. Hanya kalangan cerdik pandai dari para ulama yang dapat mengetahui kerusakan yang terdapat di dalamnya.

Kewajiban umat manusia adalah mengikuti ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasul, meskipun ia belum bisa mengetahui maslahat dan kerusakan yang terdapat di dalamnya. Dan bahwasanya orang yang membuat-buat satu amalan pada hari tertentu dalam bentuk shalat, puasa, membuat makanan, banyak-banyak melakukan infak dan sejenisnya, tentu akan diiringi oleh keyakinan hati. Karena ia pasti memiliki keyakinan bahwa hari itu lebih baik dari hari-hari lain. Karena kalau tidak ada keyakinan demikian dalam hatinya, atau dalam hati orang yang mengikutinya, tidak akan mungkin hati itu tergerak untuk mengkhususkan hari tertentu atau malam tertentu dengan ibadah tersebut. Mengutamakan sesuatu tanpa adanya keutamaan adalah tidak mungkin.
Kemudian Hari Raya (Ied) bisa menjadi nama untuk tempat perayaan, waktu perayaan, atau pertemuan pada perayaan tersebut. Ketiganya memunculkan beberapa bentuk bid’ah. Adapun yang berkaitan dengan waktu, ada tiga macam. Terkadang di dalamnya juga tercakup sebagian bentuk tempat dan aktivitas perayaan.
Pertama: Hari yang secara asal memang tidak dimuliakan oleh syariat, tidak pernah pula disebut-sebut oleh para ulama As-Salaf. Tidak ada hal yang terjadi yang menyebabkan hari itu dimuliakan.
Yang kedua: Hari di mana terjadi satu peristiwa sebagaimana terjadi pada hari yang lain, tanpa ada konsekuensi menjadikannya sebagai musim tertentu, para ulama As-Salaf juga tidak pernah memuliakan hari tersebut. Maka orang yang memuliakan hari itu, telah menyerupai umat Nashrani yang menjadikan hari-hari terjadinya beberapa peristiwa terhadap Nabi Isa sebagai Hari Raya. Bisa juga mereka menyerupai orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Hari Raya itu adalah syariat yang ditetapkan oleh Allah untuk diikuti. Kalau tidak, maka akan menjadi bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini.
Demikian juga banyak bid’ah yang dilakukan masyarakat yang meniru-niru perbuatan umat Nashrani terhadap hari kelahiran Nabi Isa -‘Alaihissalam– , bisa jadi untuk menunjukkan kecintaan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memuliakan beliau. Perbuatan semacam itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf, meskipun yang mengharuskannya (bila memang boleh) sudah ada, dan tidak ada hal yang menghalangi.
Yang ketiga: Hari-hari di mana dilaksanakan banyak syariat, seperti hari Asyura, hari Arafah, dua Hari Raya dan lain-lain. Kemudian sebagian Ahli Bid’ah membuat-buat ibadah pada hari itu dengan keyakinan bahwa itu merupakan keutamaan, padahal itu perbuatan munkar yang dilarang. Seperti orang-orang Syi’ah Rafidhah yang menghaus-hauskan diri dan bersedih-sedih pada hari Asyura’ dan lain-lain. Semua itu termasuk perbuatan bid’ah yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, tidak pula oleh para generasi As-Salaf atau Ahli Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun mengadakan pertemuan rutin yang berlangsung secara terus menerus setiap minggu, setiap bulan atau setiap tahun selain pertemuan-pertemuan yang disyariatkan, itu meniru pertemuan rutin dalam shalat lima waktu, Jumat, Ied dan Haji. Yang demikian itu termasuk bid’ah yang dibuat-buat.
Dasarnya adalah bahwa seluruh ibadah-ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara rutin sehingga menjadi sunnah tersendiri dan memiliki waktu pelaksanaan tersendiri kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah. Semua itu sudah cukup menjadi syariat bagi hamba-hamba-Nya. Kalau ada semacam pertemuan yang dibuat-buat sebagai tambahan dari pertemuan-pertemuan tersebut dan dijadikan sebagai kebiasaan, berarti itu upaya menyaingi syariat dan ketetapan Allah. Perbuatan itu mengandung kerusakan yang telah disinggung sebelumnya. Lain halnya dengan bentuk bid’ah yang dilakukan seseorang sendirian, atau satu kelompok tertentu sesekali saja.”
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, seorang muslim tidak boleh berpartisipasi pada hari-hari yang dirayakan setiap tahun secara rutin, karena itu menyaingi Hari-hari Raya kaum muslimin sebagaimana telah kita jelaskan sebelumnya. Tetapi kalau dilakukan sekali saja, dimisalkan seorang muslim hadir di hari itu untuk memberikan penjelasan kepada kaum muslimin lainnya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka, maka tidak apa-apa, insya Allah. Wallahu A’lam.

(Dikutip dari Masa-il wa Rasaa-il oleh Muhammad Al-Humud An-Najdi 31. Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Iftaa. Fatwa nomor 2540)

HUKUM TURUT SERTA DALAM PERAYAAN NATAL DAN TAHUN BARU

29 Desember 2010 Tinggalkan komentar

Penulis: Redaksi Assalafy.org

Sangat disesalkan, banyak kaum muslimin yang ternyata ikut-ikutan gembira dan ikut-ikutan merayakan hari raya/hari besar kaum kafir. Di antara adalah perayaan Natal dan Tahun Baru. Yang lebih parah adalah Tahun Baru, karena banyak dari kaum muslimin yang tidak mengerti bahwa itu termasuk perayaan/hari besar orang-orang kafir. Mereka beralasan bahwa Tahun Baru bersifat universal. Di samping tidak sedikit dari kaum muslimin yang ikut meramaikan perayaan Natal, atau sekadar membantu tetangganya yang beragama kristen untuk merayakan Natal, berupa turut membantu memasak, hadir dalam undangan Natal, turut mengucapkan selamat, dll. Ini semua termasuk turut andil dalam perayaan hari besar agama kafir.

Semestinya seorang muslim menimbang segala ucapan dan perbuatannya dengan timbangan syari’at Allah. Bagaimana Islam mengatur hubungan dengan orang-orang kafir. Apakah boleh turut andil atau turut kerja sama, atau sekadar ikut meramaikan acara perayaan orang-orang kafir? Termasuk bolehkah ikut meramaikan atau ikut-ikutan senang dengan perayaan Natal dan Tahun Baru?

Berikut penjelasan seorang ‘ulama besar international, Asy-Syaikh Al-’Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Mufti Besar Kerajaan Saudi Arabia (kini telah wafat).

سماحة الإمام الوالد عبد العزيز بن عبد الله بن باز : لا يجوز للمسلم ولا للمسلمة مشاركة النصارى ، أو اليهود ، أو غيرهم من الكفرة في أعيادهم ، بل يجب ترك ذلك ؛ لأن من تشبه بقوم فهو منهم ، والرسول – صلى الله عليه وسلم – حذرنا من مشابهتهم والتخلق بأخلاقهم ، فعلى المؤمن وعلى المؤمنة الحذر من ذلك ، وأن لا يساعد في إقامة هذه الأعياد بأي شيء ؛ لأنها أعياد مخالفة لشرع الله ، ويقيمها أعداء الله ؛ فلا يجوز الاشتراك فيها ، ولا التعاون مع أهلها ، ولا مساعدتهم بأي شيء ، لا بالشاي ، ولا بالقهوة ، ولا بأي شيء من الأمور كالأواني ، ونحوها . وأيضًا يقول الله سبحانه : ﴿ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ﴾ . [ المائدة : 2 ] .

فالمشاركة مع الكفرة في أعيادهم نوع من التعاون على الإثم والعدوان ، فالواجب على كل مسلم وعلى كل مسلمة ترك ذلك .

ولا ينبغي للعاقل أن يغتر بالناس في أفعالهم ، الواجب أن ينظر في الشرع إلى الإسلام وما جاء به ، وأن يمتثل أمر الله ورسوله ن وأن لا ينظر إلى أمور الناس فإن أكثر الخلق لا يبالي بما شرع الله ، كما قال الله – عز وجل في كتابه العظيم – : ﴿ وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللهِ ﴾ . [ الأنعام : 116 ] . وقال سبحانه : ﴿ وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ ﴾ . [ يوسف : 103 ] .

فالعوائد المخالفة للشرع لا يجوز الأخذ بها وإن فعلها الناس ، والمؤمن يزن أفعاله وأقواله ، ويزن أفعال الناس وأقوال الناس بالكتاب والسنة . بكتاب الله وسنة رسوله – عليه الصلاة والسلام – فما وافقهما أو أحدهما فهو المقبول ، وإن تركه الناس ، وما خالفهما أو أحدهما فهو المردود وإن فعله الناس .

Samahatul Imam Al-’Allamah Asy-Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz rahimahullah :

Tidak boleh bagi muslim dan muslimah untuk ikut serta dengan kaum Nashara, Yahudi, atau kaum kafir lainnya dalam acara perayaan-perayaan mereka. Bahkan wajib meninggalkannya. Karena barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari sikap menyerupai mereka atau berakhlaq dengan akhlaq mereka. Maka wajib atas setiap mukmin dan mukminah untuk waspada dari hal tersebut, dan tidak boleh membantu untuk merayakan perayaan-perayaan orang-orang kafir tersebut dengan sesuatu apapun, karena itu merupakan perayaan yang menyelisihi syari’at Allah dan dirayakan oleh para musuh Allah. Maka tidak boleh turut serta dalam acara perayaan tersebut, tidak boleh bekerja sama dengan orang-orang yang merayakannya, dan tidak boleh membantunya dengan sesuatu apapun, baik teh, kopi, atau perkara lainnya seperti alat-alat atau yang semisalnya.

Allah juga berfirman :

﴿ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ﴾

“Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan jangalah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” [Al-Ma`idah : 2]

Ikut serta dengan orang-orang kafir dalam acara perayaan-perayaan mereka merupakan salah satu bentuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk meninggalkannya.

Tidak selayaknya bagi seorang yang berakal jernih untuk tertipu dengan perbuatan-perbuatan orang lain. Yang wajib atasnya adalah melihat kepada syari’at dan aturan yang dibawa oleh Islam, merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan sebaliknya tidak menimbangnya dengan aturan manusia, karena kebanyakan manusia tidak mempedulikan syari’at Allah. Sebagaimana firman Allah :

﴿ وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللهِ ﴾

“Kalau engkau mentaati mayoritas orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” [Al-An’am : 116]

Allah juga berfirman :

﴿ وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ ﴾

“Kebanyakan manusia tidaklah beriman walaupun engkau sangat bersemangat (untuk menyampaikan penjelasan).” [Yusuf : 103]

Maka segala perayaan yang bertentangan dengan syari’at Allah tidak boleh dirayakan meskipun banyak manusia yang merayakannya. Seorang mukmin menimbang segala ucapan dan perbuatannya, juga menimbang segala perbuatan dan ucapan manusia, dengan timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Segala yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satu dari keduanya, maka diterima meskipun ditinggakan manusia. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satunya, maka ditolak meskipun dilakukan oleh manusia.

[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah rahimahullahI/405]

http://www.assalafy.org/mahad/?p=288

Sumber Website: http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1725

Menghindari Kemungkaran di Penghujung Tahun

29 Desember 2010 Tinggalkan komentar

Penulis: Redaksi Salafy.or.id

Ternyata tidak sedikit kaum muslimin yang masih belum mengerti bagaimana hukum mengucapkan selamat natal atau hari-hari raya orang kafir lainnya. Hal ini nampak dari banyaknya kaum muslimin yang masih saja memberikan ucapan selamat, bergembira, dan bahkan ikut merayakan hari raya yang jatuh pada setiap penghujung tahun masehi tersebut, tidak terkecuali tahun ini.

Oleh karena itulah, kami akan menampilkan fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’ dan Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tentang permasalahan ini.

Tepat sepekan setelah hari natal, ada momen besar lainnya yang umat Islam sangat rawan untuk terjatuh kepada kemungkaran dan pelanggaran syar’i di dalamnya, yaitu tahun baru. Sehingga tidak lupa kami juga menampilkan hukum merayakannya sebagaimana yang telah difatwakan oleh para ulama.

Hukum Mengucapkan Selamat Kepada Orang-Orang Nashara pada Hari Raya Mereka

Pertanyaan:

Bagaimana hukum Islam tentang mengucapkan selamat kepada orang-orang nashara pada hari raya mereka, karena saya mempunyai paman yang bertetangga dengan seorang nashrani, dan paman saya ini memberikan ucapan selamat kepadanya ketika bergembira maupun ketika hari raya. Dan sebaliknya si nashrani tersebut juga mengucapkan selamat kepada paman saya ketika bergembira, ketika hari raya, atau pada kesempatan lain. Apakah ini diperbolehkan: ucapan selamat seorang muslim kepda nashrani dan nashrani kepada seorang muslim ketika hari raya-hari raya maupun saat-saat bergembira?

Jawaban:

Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengucapkan selamat kepada orang-orang nashrani ketika hari raya-hari raya mereka, karena yang demikian itu merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam perbuatan dosa dan kita dilarang untuk itu. Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ.

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2)

Sebagaimana juga disebabkan karena padanya (ucapan selamat tersebut) terdapat unsur kasih sayang kepada mereka, mengharap kecintaan, dan mengesankan sikap ridha kepada mereka dan syi’ar-syi’arnya, maka ini tidak diperbolehkan.

Bahkan yang wajib adalah menampakkan permusuhan dan kebencian yang nyata kepada mereka, karena mereka telah memerangi Allah jalla wa’ala dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, dan mereka telah menjadikan (menganggap) bagi Allah (memiliki) istri dan anak. Allah ta’ala berfirman:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ.

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)

Dan firman-Nya:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ.

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)

Wabillahittaufiq.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’ III/313]

Hukum Memberikan Ucapan Selamat Natal

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin ditanya tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada orang kafir. Dan bagaimana kita menjawab jika mereka mengucapkannya kepada kita? Apakah diperbolehkan pergi ke tempat-tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan hal tersebut tanpa disengaja, akan tetapi dilakukan sekadar basa-basi, karena malu, terpaksa, atau sebab yang lain? Apakah diperbolehkan menyerupai mereka dalam hal ini?

Jawaban:

Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat natal atau ucapan-ucapan lainnya terkait dengan perayaan keagamaan mereka telah disepakati keharamannya. Sebagaimana dinukil dari Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya (Ahkamu Ahli Adz-Dzimmah), di mana beliau mengatakan:

“Dan adapun ucapan selamat terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran secara khusus, maka telah disepakati keharamannya. Misalnya mengucapkan selamat atas hari raya atau puasa mereka dengan mengatakan: ‘Hari raya yang diberkahi bagimu’ atau ‘Selamat merayakan hari raya ini’ dan yang semisalnya. Yang demikian ini, meskipun yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, namun perbuatan ini termasuk yang diharamkan. Hal ini sejajar dengan ucapan selamat terhadap sujudnya (seorang nashrani) terhadap salib, bahkan hal ini dosanya lebih besar di sisi Allah, dan lebih besar kemurkaan-Nya daripada ucapan selamat terhadap perbuatan minum khamr, bunuh diri, zina, dan yang lainnya, dan banyak orang yang tidak kokoh agamanya terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan tersebut dan tidak tahu kejelekan perbuatannya. Sehingga barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba dengan suatu kemaksiatan, bid’ah, atau kekufuran, maka dia telah mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah.”

-selesai perkataan beliau-.

Haramnya mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir terhadap hari raya agama mereka, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim tersebut, karena padanya terkandung pengakuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran dan ridha terhadapnya walaupun dia tidak ridha hal itu terjadi pada dirinya sendiri. Walaupun demikian, seorang muslim diharamkan untuk ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat terhadap syi’ar-syi’ar tersebut, karena Allah subhanahu wata’ala tidak meridhainya, sebagaimana firman Allah ta’ala:

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ.

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hambaNya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Az-Zumar: 7)

Dan firman Allah ta’ala:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا.

“Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (Al-Ma’idah: 3).

Maka mengucapkan selamat kepada mereka hukumnya haram, sama saja apakah ikut serta dalam pelaksanaannya ataupun tidak.

Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, maka kita tidak perlu menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya itu tidak diridhai oleh Allah subhanahu wata’ala, karena itu merupakan kebid’ahan pada agama mereka atau memang itu disyari’atkan dalam agama mereka akan tetapi sesungguhnya telah dimansukh (dihapus) dengan agama Islam yang Allah mengutus dengannya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk semua makhluk. Allah ta’ala telah berfirman tentangnya:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ.

“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran : 85)

Haram hukumnya seorang muslim membalas ucapan selamat dari mereka, karena ini lebih besar daripada mengucapkan selamat kepada mereka disebabkan padanya terdapat unsur keikutsertaan dia dalam perayaan tersebut.

Demikian juga diharamkan bagi kaum muslimin untuk menyerupai orang-orang kafir dengan mengadakan perayaan-perayaan hari raya, atau tukar-menukar hadiah, membagi-bagikan gula-gula, piring berisi makanan, meliburkan kerja dan yang semisalnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim Mukhalafah Ash-hab Al-Jahim mengatakan:

“Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya mereka akan melahirkan kesenangan pada hati mereka dengan kebatilan yang ada padanya, … bahkan bisa jadi ambisi mereka dalam perayaan tersebut untuk dijadikan kesempatan dalam mengina dan menyesatkan orang-orang yang lemah.”

-selesai perkataan beliau rahimahullah-.

Barangsiapa melakukan hal-hal tersebut, maka dia berdosa, sama saja apakah dia melakukannya itu sekadar basa-basi atau karena kecintaan padanya, karena malu, atau sebab-sebab yang lainnya, karena ini merupakan sikap menyepelekan agama Allah dan termasuk sebab mantapnya jiwa orang-orang kafir dan bangganya mereka terhadap agamanya.

Hanya Allah-lah tempat meminta permohonan agar Dia memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka, menganugerahi mereka kekokohan dan menolong mereka terhadap musuh-musuhnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

[Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il III/44 Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin]

http://www.assalafy.org/mahad/?p=417#more-417

Sumber Website: http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1723