Arsip

Posts Tagged ‘mu’tazilah’

Mu’tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal

10 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc

Sejarah Munculnya Mu’tazilah

Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48)

Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29)

Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65)

(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)

Mengapa Disebut Mu’tazilah?

Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.

Asy-Syihristani t berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”

Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “ اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.(Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 )

Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42)

Asas dan Landasan Mu’tazilah

Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun.
Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:

Landasan Pertama: At-Tauhid

Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).

Bantahan:

1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun dalil sam’i: bahwa Allah mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah berfirman:

إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٍ 0 إِنَّه هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ 0 وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ 0 ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ 0 فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ0

Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16)

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى0 الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى0 وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى0 وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى0 فَجَعَلَه غُثَآءً أَحْوَى

“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5)

Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “ (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)

2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab At- Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.79-81)

Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.

Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan)

Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah . Dalilnya adalah firman Allah :

وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)

وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)

Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.

Bantahan:

Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah :

فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

“Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)

Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315)

Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah  berfirman:

وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ

“Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.” (Ash-Shaaffaat: 96)

Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan sebagai kedok untuk mengingkari kehendak Allah yang merupakan bagian dari taqdir Allah. Atas dasar inilah mereka lebih pantas disebut dengan Qadariyyah, Majusiyyah, dan orang-orang yang zalim.

Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id

Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah I untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.

Bantahan:

1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang demikian itu kepada Allah, karena termasuk pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:

إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعادَ

“Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).” (Ali ‘Imran: 9)
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.

Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذاَلِكَ لِمَنْ يَشَآء

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).

2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari) (Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu (ed).)

Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan

Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).

Bantahan:

1.Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah:

وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا

“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)

Dan juga firman-Nya:

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ۰وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كَافِرُوْنَ

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)
Dan firman-Nya:

لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيْمًا

“Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.” (Al-Fath: 4)

وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلاَّ مَلاَئِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلاَّ فِتْنَةً لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوْا إِيْمَانًا وَلاَ يَرْتَابَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَلِيَقُوْلَ الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُوْنَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ إِلاَّ هُوَ وَمَا هِيَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْبَشَرِ

Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mu’min itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (Al-Muddatstsir: 31)

الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)…” (Al-Baqarah: 260)

Rasulullah bersabda: “Keimanan itu (mempunyai) enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah z)

2. Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَ إِنْ طَآءِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya…” (Al-Hujurat: 9)

Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.

Bantahan:

Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah berfirman:

يَآءَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)

Rasulullah r bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy–Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa]

Sesatkah Mu’tazilah?

Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti:

– Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.

– Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.

– Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.

– Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).

Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah)

Para pembaca, betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber Website: http://asysyariah.com/print.php?id_online=171

Prinsip-prinsip Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah (III)

31 Desember 2010 Tinggalkan komentar

Penulis: Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah

Prinsip Kedua Ahlusunnah Wal Jamaah

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah : bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kema’shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran.

Allah berfirman, yang artinya :”Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu”. (An-Naml : 14)

ALLAH berfirman, yang artinya :”……. karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzolim itu menentang ayat-ayat Allah”. (Al-An’aam : 33)

Firman ALLAH, yang artinya :”Dan kaum ‘Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam” (Al-Ankabut : 38)

Bukan pula iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan karena yang demikian adalah keimanan golongan Murji’ah; Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya, yang artinya :”Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu’min yang sebenarnya …” (Al-Anfaal : 2-4).

Firman ALLAH yang artinya :”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian” (Al-Baqarah : 143).

Prinsip Ketiga

Dan diantara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna.

Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya :”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya …” (An-Nisaa : 48).

Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji’ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu’min sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu dosa/ma’shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan ta’at dengan adanya kekafiran.

Prinsip Keempat

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya ta’at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan ma’shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta’atinya namun tetap wajib ta’at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya :”Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian …” (An-Nisaa : 59)

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya :”Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba”.(Telah terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits ‘Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya).

Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa ma’shiyat kepada seorang amir yang muslim itu merupakan ma’shiyat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya, yang artinya :”Barangsiapa yang ta’at kepada amir (yang muslim) maka dia ta’at kepadaku dan barangsiapa yang ma’shiyat kepada amir maka dia ma’shiyat kepadaku”. (Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).

Demikian pula, Ahlus Sunnah wal Jama’ah-pun memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasehati serta medo’akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.

Prinsip Kelima

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah haramnya keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya ta’at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma’shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar.

Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut adanya bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.

.. bersambung ke Prinsip-prinsip Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah (IV)
(Disalin dari Prinsip-prinsip Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah, tulisan Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, diterbitkan oleh Dar Al-Gasem Saudi Arabia PO Box 6373 Riyadh 11442.)

Sumber Website:

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=167