Arsip

Posts Tagged ‘setan’

Membentengi Rumah dari Setan

6 Desember 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Setiap keluarga muslim pasti mendambakan ketenteraman dan ketenangan dalam rumah yang mereka huni, baik dia seorang suami, seorang istri, ataupun sebagai seorang anak. Semua ingin rumah mereka seperti kata orang: Baiti jannati, rumahku adalah surgaku. Bukan karena rumah itu mewah dilengkapi perabotannya yang wah, namun karena semua merasa tentram ketika masuk dan berada di dalamnya.

Seorang suami pulang ke rumah usai aktivitasnya di luar rumah, baik untuk mencari penghidupan ataupun untuk berdakwah. Ia masuk ke rumahnya, didapatinya rahah (lapang). Lelah dan kepenatannya serasa hilang saat bertemu dengan istri dan anak-anaknya. Ketenangan menyelimutinya.

Seorang istri merasa betah berdiam dalam rumahnya. Karena memang seperti titah Allah k kepada kaum hawa:

“Tetaplah kalian tinggal di rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)

Juga karena suasana dalam rumah turut mendukung timbulnya rasa betah tersebut.

Anak-anak pun merasa senang dalam rumah mereka walaupun rumahnya kecil dan sederhana.

Kerukunan dan kasih sayang senantiasa terjalin di antara anggotanya.

Gambaran seperti yang kita ungkapkan tentunya menjadi keinginan setiap insan. Lalu, apa rahasianya untuk mewujudkan baiti jannati tersebut? Di antara faktor yang sangat penting adalah menjauhkan rumah dari para setan. Kenapa demikian? Karena setan merupakan musuh anak Adam, sebagaimana firman Allah k:

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh.” (Fathir: 6)

Yang namanya musuh tentu selalu berupaya mencari celah untuk mencelakakan orang yang dimusuhinya. Yang disebut musuh pasti ingin menghancurkan orang yang dimusuhinya. Salah satu target utama setan adalah merusak sebuah keluarga, menghancurkan ikatan di antara anggota-anggotanya.

Iblis, gembong para setan, demikian bergembira bila anak buahnya berhasil memisahkan seorang istri dari suaminya. Sebagaimana kabar dari Rasulullah n:

إِنَّ إِبلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْماَءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُم فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ

Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air lantas ia mengirim kan tentara-tentaranya. Maka yang paling dekat di antara mereka dengan iblis adalah yang paling besar fitnah yang ditimbulkannya. Datang salah seorang dari anak buah iblis menghadap iblis seraya berkata, “Aku telah melakukan ini dan itu.” Iblis menjawab, “Engkau belum melakukan apa-apa.” Lalu datang setan yang lain melaporkan, “Tidaklah aku meninggalkan dia (anak Adam yang diganggunya) hingga aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya.” Maka iblis pun mendekatkan anak buahnya tersebut dengan dirinya dan memujinya, “Engkaulah yang terbaik.” (HR. Muslim no. 7037)

Al-Imam An-Nawawi t menerangkan bahwa iblis bermarkas di lautan, dan dari situlah ia mengirim tentara-tentaranya ke penjuru bumi. Iblis memuji anak buahnya yang berhasil memisahkan suami dengan istrinya, karena kagum dengan apa yang dilakukan si anak buah dan ia dapat mencapai puncak tujuan yang dikehendaki iblis. Iblis pun merangkulnya. (Al-Minhaj, 17/154-155)

Kata Al-Imam Al-Qadhi Iyadh t, hadits ini menunjukkan besarnya perkara firaq (perpisahan suami dengan istrinya) dan talak, serta besarnya kemadharatan dan fitnahnya. Selain itu juga menunjukkan besarnya dosa orang yang berupaya memisahkan suami dari istrinya. Karena dengan berbuat demikian berarti memutuskan hubungan yang Allah l perintahkan untuk disambung, menceraiberaikan rahmah dan mawaddah yang Allah l jadikan di dalamnya, serta merobohkan rumah yang dibangun dalam Islam. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa’id Muslim, 8/349)

Iblis berikut bala tentaranya ini berambisi menghancurkan hubungan suami dengan istrinya. Sementara suami dan istri ini tentunya bernaung dalam sebuah rumah. Nah, tentunya setan tidak akan tenang bila tidak bisa masuk ke rumah tersebut. Bila setan telah berhasil mendiami sebuah rumah, niscaya ia akan menebarkan kerusakan di dalamnya, sehingga terjadilah perselisihan di antara anak-anak dan perpisahan antara suami dengan istrinya. Berubahlah mawaddah (kasih sayang) menjadi ‘adawah (permusuhan), rahmah menjadi azab.

Dengan penjelasan yang telah lewat, pahamlah kita kenapa kita harus membentengi rumah kita dari setan yang terkutuk.

Di antara perkara yang bisa kita lakukan untuk membentengi rumah kita adalah:

1. Meng-ucapkan salam ketika masuk rumah dan banyak berzikir, baik di rumah ada orang atau tidak.

Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Disenangi seseorang mengucapkan bismillah dan banyak berzikir kepada Allah l serta mengucapkan salam, sama saja apakah dalam rumah itu ada manusia atau tidak, berdasarkan firman Allah l:

“Apabila kalian masuk ke rumah-rumah maka ucapkanlah salam (kepada penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri-diri kalian sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkahi lagi baik.” (An-Nur: 61) [Al-Adzkar, hal. 25]

Ahli tafsir berbeda pendapat tentang rumah yang dimaukan dalam ayat di atas. Ada yang berpendapat masjid. Ada yang berpendapat rumah yang dihuni. Adapula yang berpendapat rumah yang tidak ada seseorang di dalamnya. Ada yang mengatakan rumah orang lain, dan ada pula yang berpendapat rumah sendiri. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/209)

Ibnul ‘Arabi t menetapkan bahwa pendapat yang menyatakan rumah secara umum merupakan pendapat yang shahih, karena tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususan. Kalau rumah itu adalah rumah orang lain, maka ia ucapkan salam dan meminta izin kepada tuan rumah sebelum masuk ke dalamnya. Bila rumah itu kosong ia ucapkan, “As-salamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin” (Semoga keselamatan untuk kami dan untuk para hamba Allah l yang shalih). Demikian kata Ibnu Umar c. Namun bila dalam rumah itu ada keluarganya, anak-anaknya dan pembantunya, ia ucapkan “Assalamu ‘alaikum.”

Namun kata Ibnul Arabi t, bila rumah itu kosong maka tidak diharuskan seseorang mengucapkan salam ketika hendak masuk. Adapun bila engkau masuk rumahmu sendiri disenangi bagimu untuk berzikir kepada Allah l dengan mengatakan: “Masya Allah la quwwata illa billah.” (Ahkamul Qur’an, 3/1408-1409)

Ketika memberikan penjelasan terhadap surah Al-Kahfi ayat 39, Ibnul Arabi t menyatakan disenanginya berzikir kepada Allah l bila salah seorang dari kita masuk rumah atau masjid dengan mengucapkan: “Masya Allah la quwwata illa billah.” Asyhab berkata, “Al-Imam Malik  t mengatakan, ‘Sepantasnya setiap orang yang masuk ke rumahnya mengucapkan zikir ini’.” (Ahkamul Qur’an, 3/1240)

Abu Umamah Al-Bahili z, seorang sahabat Rasulullah n membawakan hadits dari Rasulullah n:

ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ k: رَجُلٌ خَرَجَ غَازِيًا فِي سَبِيْلِ اللهِ k، فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ حَتَّى يَتَوَّفَاهُ فَيُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، أَوْ يَرُدَّهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ وَغَنِيْمَةٍ؛ وَرَجُلٌ رَاحَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُ فَيُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، أَوْ يَرُدَّهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ وَغَنِيْمَةٍ، وَرَجُلٌ دَخَلَ بَيْتَهُ بِسَلاَمٍ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ k

Ada tiga golongan yang mereka seluruhnya berada dalam jaminan Allah k: (Pertama) seseorang yang keluar berperang di jalan Allah k maka ia berada dalam jaminan Allah k hingga Allah k mewafatkannya lalu memasukkannya ke dalam surga, atau mengembalikannya (ke keluarganya) dengan pahala dan ghanimah yang diperolehnya. (Kedua) seseorang berangkat ke masjid maka ia berada dalam jaminan Allah k hingga Allah k mewafatkannya lalu memasukkannya ke dalam surga, atau mengembalikannya dengan pahala dan ghanimah yang diperolehnya. (Ketiga) seseorang masuk ke rumahnya dengan mengucapkan salam maka ia berada dalam jaminan Allah k.” (HR. Abu Dawud no. 2494)

Makna jaminan Allah l adalah berada dalam penjagaan Allah k. (Al-Adzkar, hal. 26)

2. Berzikir kepada Allah l ketika makan dan minum.

Jabir bin Abdillah c berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: لاَ مَبِيْتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ وَالْعَشَاءَُ

Apabila seseorang masuk ke rumahnya lalu ia berzikir kepada Allah saat masuknya dan ketika hendak menyantap makanannya, berkatalah setan, “Tidak ada tempat bermalam bagi kalian dan tidak ada makan malam.” Bila ia masuk rumah dalam keadaan tidak berzikir kepada Allah ketika masuknya, berkatalah setan, “Kalian mendapatkan tempat bermalam.” Bila ia tidak berzikir kepada Allah ketika makannya, berkatalah setan, “Kalian mendapatkan tempat bermalam sekaligus makan malam.” (HR. Muslim no. 5230)

Berzikir kepada Allah l akan mengusir setan dari rumah kita sehingga setan tidak dapat menyertai kita saat makan dan tidur. Sementara, lalai dari zikrullah akan memberikan kesempatan emas bagi setan karena ia mendapati tempat menginap plus makan malamnya. Tentunya setan ini tidak sendirian. Bersamanya ada kawan-kawannya, gerombolan setan, karena setan mengucapkan ucapan demikian kepada teman-teman, pembantu-pembantu, dan sahabatnya. (Al-Minhaj, 11/191)

Sehingga mereka menyesakkan rumah dan bersenang-senang di dalamnya, na’udzu billah. Maka berhati-hatilah, jangan sampai kita lalai dari berzikir karena zikir merupakan hishnul muslim, benteng bagi seorang muslim.

3. Banyak membaca Al-Qur’an dalam rumah

Al-Qur’anul Karim akan mengharumkan rumah seorang muslim dan akan mengusir para setan. Abu Musa Al-Asy’ari z mengabarkan dari Nabi n:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الْأَتْرُجَّةِ، رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ. وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ التَّمْرَةِ، لاَ رِيْحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ. وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ، رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ. وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِيْ لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ، لَيْسَ لَهَا رِيْحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ

“Permisalan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah atrujah, baunya harum dan rasanya enak. Permisalan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma, tidak ada baunya namun rasanya manis. Adapun orang munafik yang membaca Al-Qur’an permisalannya seperti buah raihanah, baunya wangi tapi rasanya pahit. Sementara orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah hanzhalah, tidak ada baunya, rasanya pun pahit.” (HR. Al-Bukhari no. 5020 dan Muslim no. 1857)

Apa persangkaan anda bila seorang mukmin sering menghiasi rumahnya dengan membaca dan mentartilkan kalamullah? Tidak lain tentunya kebaikan.

Disamping itu, membaca Al-Qur’an di rumah dengan penuh kekhusyukan menjadikan para malaikat akan mendekat. Seperti kejadian yang pernah dialami seorang sahabat Rasulullah n yang bernama Usaid ibnu Hudhair z. Suatu malam Usaid tengah membaca Al-Qur’an di tempat pengeringan kurma miliknya. Tiba-tiba kudanya melompat. Ia membaca lagi, kudanya melompat lagi. Ia terus melanjutkan bacaannya dan kudanya juga melompat. Usaid berkata, “Aku pun khawatir bila sampai kuda itu menginjak Yahya (putra Usaid, pen.), hingga aku bangkit menuju kuda tersebut. Ternyata aku dapati di atas kepalaku ada semacam naungan. Di dalamnya seperti lentera-lentera yang terus naik ke udara sampai aku tidak melihatnya lagi (hilang dari pandanganku). Di pagi harinya aku menemui Rasulullah n.” Usaid kemudian menceritakan apa yang dialaminya, setelahnya Rasulullah n menjelaskan:

تِلْكَ الْمَلاَئِكَةُ كَانَتْ تَسْتَمِعُ لَكَ، وَلَوْ قَرَأْتَ لَأَصْبَحَتْ يَرَاهَا النَّاسُ، مَا تَسْتَتِرُ مِنْهُمْ

“Itu adalah para malaikat yang mendengarkan bacaanmu. Seandainya engkau terus membaca Al-Qur’an niscaya di pagi harinya manusia akan dapat melihat naungan tersebut, tidak tertutup dari mereka. “ (HR. Muslim no. 1856

Dalam riwayat Al-Bukhari (no. 5011) dari Al-Bara’ z, ia berkata, “Ada seorang lelaki membaca surah Al-Kahfi sementara di sisinya ada seekor kuda yang diikat dengan dua tali. Lalu orang tersebut diliputi oleh awan yang mendekat dan mendekat. Mulailah kudanya lari karena terkejut. Ketika di pagi harinya ia mendatangi Nabi n, lalu diceritakannya kejadian yang dialaminya maka Nabi n bersabda:

تِلْكَ السَّكِيْنَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ

“Itu adalah as-sakinah yang turun dengan Al-Qur’an.”

Diperbincangkan oleh para ulama seperti apa as-sakinah tersebut. Namun pendapat yang terpilih, kata Al-Imam An-Nawawi t, as-sakinah adalah sesuatu dari makhluk-makhluk yang di dalamnya ada thuma’ninah (ketenangan), rahmah (kasih sayang), dan bersamanya ada para malaikat. (Fathul Bari, 9/73)

4. Membaca surah Al-Baqarah dalam rumah

Bila engkau merasa di rumahmu demikian banyak masalah, tampak banyak penyimpangan dan anggota-anggotanya saling berselisih, maka ketahuilah setan hadir di rumahmu, maka bersungguh-sungguhlah mengusirnya. Bagaimanakah cara mengusirnya? Rasulullah n memberikan jawabannya dengan sabda beliau:

إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ سَنَامًا، وَسَنَامُ الْقُرْآنِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا سَمِعَ سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ تُقْرَأُ خَرَجَ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي يُقْرُأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ

“Sesungguhnya segala sesuatu ada puncaknya (punuknya) dan puncak dari Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah. Sungguh setan bila mendengar dibacakannya surah Al-Baqarah, ia akan keluar dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah tersebut.” (HR. Al-Hakim, dihasankan Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 588)

Abu Hurairah z mengabarkan dari Rasulullah n, beliau bersabda:

لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 1821)

 

5. Banyak melakukan shalat nafilah/sunnah di rumah

Ibnu Umar c menyampaikan bahwa Nabi n bersabda:

اجْعَلُوْا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِي بُيُوْتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا

“Jadikanlah bagian dari shalat kalian di rumah-rumah kalian, dan jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan.” (HR. Al-Bukhari no. 432 dan Muslim no. 1817)

Dalam syariat disebutkan pelarangan shalat di kuburan. Karenanya, Rasulullah n melarang kita menjadikan rumah kita seperti kuburan, dengan tidak pernah dilakukan ibadah di dalamnya. Beliau menghasung kita agar memberi bagian shalat sunnah untuk dikerjakan di dalam rumah.

Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Rasulullah n memberikan hasungan untuk mengerjakan shalat nafilah (sunnah) di rumah, karena hal itu lebih ringan dan lebih jauh dari riya, lebih menjaga dari perkara yang dapat membatalkannya. Juga dengan mengerjakan shalat nafilah di rumah akan memberi keberkahan bagi rumah tersebut. Akan turun rahmah di dalamnya, demikian pula para malaikat. Sementara setan akan lari dari rumah tersebut.” (Al-Minhaj, 6/309)

Dalam hadits yang lain Rasulullah n memerintahkan:

فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِي بُيُوْتِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوْبَةَ

“Seharusnya bagi kalian untuk mengerjakan shalat di rumah-rumah kalian karena sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya terkecuali shalat wajib.” (HR. Al-Bukhari no. 731 dan Muslim no. 1822 )

Abu Musa Al-Asy’ari z menyampaikan sabda Rasulullah n:

مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ وَالْبَيْتِ الَّذِيْ لاَ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Permisalan rumah yang disebut nama Allah di dalamnya dan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya seperti permisalan orang yang hidup dan orang yang mati.” (HR. Muslim no. 1820)

(insya Allah bersambung)

Sumber: http://asysyariah.com/membentengi-rumah-dari-setan.html

Wajibnya Waspada Dari Fitnah Setan

Penulis: Al Ustadz Hammad Abu Muawiah

 

Allah Ta’ala berfirman:

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُواْ الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ

“Dan katakanlah kepada hamha-hambaKu, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (QS. Al-Isra`: 53)

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ

“Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat di jazirah arab, akan tetapi dia mengadu domba di antara mereka.” (HR. Muslim no. 2812)

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

إِنَّ عَرْشَ إِبْلِيسَ عَلَى الْبَحْرِ فَيَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَيَفْتِنُونَ النَّاسَ فَأَعْظَمُهُمْ عِنْدَهُ أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً

“Sesungguhnya singgasana Iblis berada di atas laut, dia mengirim bala tentaranya kemudian mereka menggoda manusia. Maka tentaranya yang paling hebat di sisinya adalah (setan) yang paling besar fitnahnya (godaannya).” (HR. Muslim no. 1813)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنْ الْجِنِّ قَالُوا وَإِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَإِيَّايَ إِلَّا أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Tidaklah seorang pun dari kalian melainkan diikutkan padanya pendamping dari kalangan jin.” Mereka bertanya, “Anda juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aku juga, hanya saja Allah membantuku mengalahkannya lalu sehingga dia masuk Islam, karenanya dia hanya memerintahkan kebaikan padaku.” (HR. Muslim no. 2418)

Penjelasan ringkas:

Permusuhan Iblis dan bala tentaranya kepada anak Adam adalah suatu hal yang pasti dan tidak perlu diragukan lagi. Allah Ta’ala mengabarkannya di dalam Al-Qur`an secara berulang-ulang agar para hamba-Nya mendapatkan peringatan dari makar mereka. Karena kerasnya permusuhan mereka, sehingga tidaklah mereka menemukan celah sekecil apapun yang bisa menyebabkan permusuhan di antara manusia kecuali dia akan masuk melalui celah kecil tersebut dan akan berusaha keras dalam mewujudkan tujuan mereka. Di antara bentuknya adalah mereka melemparkan fitnah dan permusuhan di tengah-tengah manusia, karena hal itu bisa menyebabkan umat manusia saling membenci, menjauhi, memutuskan hubungan, bahkan sampai berperang. Karenanya wajib atas setiap muslim untuk waspada dari semua fitnah yang dilemparkan oleh setan ke tengah-tengah kaum muslimin, karena hal itu bisa memecah belah mereka dan melemahkan persatuan mereka.

Kaum muslimin hendaknya mengingat bahwa tujuan terbesar dari Iblis dan bala tentaranya adalah agar umat manusia melakukan kekafiran dan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi jika mereka tidak sanggup karena banyaknya ilmu agama yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin, maka langkah terakhir mereka guna menghancurkan kaum muslimin adalah dengan menebarkan kebencian dan adu domba di antara mereka. Dan kapan mereka sudah berpecah belah maka dengan mudah setan akan mendatangi kelompok minoritas atau yang memisahkan diri dari al-jamaah lalu menggoda mereka sampai akhirnya mereka berbuat kesyirikan kepada Allah.

Karenanya terkhusus kepada para ulama dan para penuntut ilmu, hendaknya fitnah perpecahan dan permusuhan harus mereka lebih waspadai di atas semua fitnah lainnya. Karena insya Allah setan tidak akan mudah menyesatkan mereka dari arah kesyirikan dan bid’ah, akan tetapi dengan mudah setan akan membinasakan mereka dengan perpecahan jika mereka tidak berusaha untuk menjaga persatuan mereka. Bukankah telah ada contoh sejak dari zaman dahulu bagaimana sebagian alim ada yang bermusuhan dengan alim yang lain padahal tidak diragukan keduanya merupakan ahlussunnah. Seperti perseteruan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiah bin Abi Sufyan radhiallahu anhum, perseteruan antara Ali dengan Aisyah radhiallahu anhuma, perseteruan antara Imam Al-Bukhari dengan gurunya yang bernama Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, demikian halnya Imam An-Nasai dengan salah seorang gurunya, dan banyak lagi contoh-contoh lainnya. Karenanya hendaknya setiap penuntut ilmu sadar bahwa mereka masih punya banyak pekerjaan yang jauh lebih penting daripada mengurusi masalah fitnah dan perpecahan di antara mereka. Karenanya mereka sebagai panutan masyarakat awam, hendaknya mereka menjadi sebab dalam kebaikan dan jangan menjadi sebab munculkan kejelekan.

Yaa Allah, persatukanlah shaf-shaf salafiyin dalam keimanan ketundukan kepada-Mu, bersihkanlah shaf-shaf mereka dari orang-orang yang menghendaki kejelekan atas mereka, lembutkanlah hati-hati mereka untuk saling memaafkan apa yang bisa dimaafkan serta memaklumi apa yang bisa dimaklumi dari kesalahan saudara-saudara mereka. Yaa Mujibas sa`ilin. Allahumma amin, innaka Antal Ghafurur Rahim, innaka Antal Barru Rahim, wa innaka ala kulli syay`in Qadir.

Sumber:

http://al-atsariyyah.com/wajibnya-waspada-dari-fitnah-setan.html

 

Kesurupan Dalam Timbangan Islam

25 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc

Muqaddimah

Peristiwa masuknya jin ke dalam tubuh manusia masih menjadi teka-teki bagi sebagian orang. Peristiwa yang lebih dikenal dengan istilah kesurupan atau kerasukan jin (baca: setan) ini acap kali menjadi polemik di tengah masyarakat kita yang heterogen. Sehingga sekian persepsi bahkan kontroversi sikap pun meruak dan bermunculan ke permukaan. Ada yang membenarkan dan ada pula yang mengingkari. Bahkan ada pula yang menganggapnya sebagai perkara dusta dan termasuk dari kesyirikan.

Para pembaca yang mulia, sebagai muslim sejati yang berupaya meniti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, tentunya prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbeda pendapat’ haruslah selalu dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kalam-Nya nan suci:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا

“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)

Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Ia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah secara keyakinan dan amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)

Demikianlah timbangan adil yang dijunjung tinggi oleh Islam. Berangkat dari sini, maka kami bermaksud menyajikan –di tengah-tengah anda– beberapa sajian ilmiah berupa keterangan atau fatwa dari Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu dan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu seputar permasalahan kesurupan atau kerasukan jin ini. Dengan harapan, ini bisa menjadi pelita dalam gelapnya permasalahan dan pembuka bagi cakrawala berpikir kita semua. Amiin ya Rabbal ‘Alamin…

Penjelasan Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata:
“Segala puji hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Shalawat dan salam semoga tercurahkan keharibaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para shahabatnya, dan orang-orang yang haus akan petunjuknya. Amma ba’du:

Pada bulan Sya’ban tahun 1407 H, sejumlah surat kabar lokal dan nasional telah memuat berita –ada yang ringkas dan ada yang detail– tentang masuk Islamnya sejumlah jin di hadapanku di kota Riyadh, yang sedang merasuki tubuh salah seorang wanita muslimah. Sebelumnya, jin tersebut telah mengumumkan keislamannya di hadapan saudara Abdullah bin Musyarraf Al-‘Amri, seorang penduduk kota Riyadh. Setelah dibacakan ayat-ayat Al-Qur`an kepada wanita yang kerasukan itu dan berdialog dengan jin itu serta mengingatkan bahwa perbuatannya itu merupakan dosa besar dan kedzaliman yang diharamkan, saudara Abdullah pun menyuruhnya agar keluar dari tubuh si wanita. Jin itu pun patuh, kemudian menyatakan keislamannya di hadapan saudara Abdullah ini.

Abdullah dan para wali wanita itu ingin membawa si wanita kepadaku, agar aku turut menyaksikan keislaman jin tersebut. Mereka pun datang kepadaku.
Aku menanyai jin tersebut tentang sebab-sebab dia masuk ke dalam tubuh si wanita. Dia pun menceritakan kepadaku beberapa faktor penyebabnya. Dia berbicara melalui mulut si wanita itu, akan tetapi suaranya adalah suara seorang laki-laki dan bukan suara wanita yang ketika itu sedang duduk di kursi bersama-sama dengan saudara laki-lakinya, saudara perempuannya, dan Abdullah bin Musyarraf yang tidak jauh dari tempat dudukku.

Sebagian masyayikh (para ulama) pun menyaksikan kejadian ini dan mendengarkan secara langsung ucapan jin tersebut yang telah menyatakan keislamannya. Dia menjelaskan bahwa asalnya dari India dan beragama Budha. Aku pun menasehatinya dan berwasiat kepadanya agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan memintanya keluar dari tubuh si wanita serta tidak menzaliminya. Dia pun menyambut ajakanku itu seraya mengatakan: “Aku merasa puas dengan agama Islam.”

Aku wasiatkan pula kepadanya agar mengajak kaumnya untuk masuk Islam setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya hidayah. Dia menjanjikan hal itu, lalu ia pun keluar dari tubuh si wanita. Ucapan terakhir yang dia katakan ketika itu: “Assalamu’alaikum”. Setelah itu, barulah si wanita mulai berbicara dengan suara aslinya dan benar-benar merasakan kesembuhan serta kebugaran pada tubuhnya.

Selang sebulan atau lebih, si wanita ini datang kembali kepadaku bersama dua saudara laki-laki, paman, dan saudarinya. Dia mengabarkan bahwa keadaannya sehat wal afiat dan syukur alhamdulillah jin itu tidak mendatanginya lagi. Aku bertanya kepada wanita tersebut tentang kondisinya saat kemasukan jin. Dia menjawab bahwa saat itu merasa selalu dihantui oleh pikiran-pikiran kotor yang bertentangan dengan syariat. Pikirannya selalu condong kepada agama Budha serta antusias untuk mempelajari buku-buku agama tersebut. Kini, setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya dari gangguan jin tersebut, sirnalah berbagai pikiran yang menyimpang itu.

Kemudian sampailah berita kepadaku bahwa Asy-Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi mengingkari peristiwa ini seraya menyatakan bahwa ini adalah penipuan dan kedustaan. Bisa jadi itu rekayasa rekaman yang dibawa oleh si wanita dan bukan dari ucapan jin sama sekali. (Seketika itu juga –pen.), kuminta kaset rekaman tentang dialogku dengan jin tersebut. Setelah kudengarkan secara seksama, aku pun yakin bahwa suara itu adalah suara jin. Sungguh aku sangat heran dengan pernyataan yang dilontarkan Asy-Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi, bahwa itu adalah rekayasa rekaman belaka. Karena aku berulang kali mengajukan pertanyaan kepada jin tersebut dan dia pun selalu menjawabnya. Bagaimana mungkin akal sehat bisa membenarkan adanya sebuah tape/alat rekam yang bisa ditanya dan bisa menjawab?! Sungguh ini merupakan kesalahan fatal dan statement yang sulit untuk diterima.

Asy-Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi juga menyatakan bahwa masuk Islamnya seorang jin oleh seorang manusia bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Nabi Sulaiman ‘alaihissalam:

وَهَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَََحَدٍ مِنْ بَعْدِي

“Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku.” (Shad: 35)

Tidak diragukan lagi, pernyataan di atas merupakan kesalahan dan pemahaman yang keliru, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya hidayah.

Masuk Islamnya seorang jin oleh manusia tidaklah menyelisihi doa Nabi Sulaiman (di atas). Karena sungguh telah banyak jin yang masuk Islam (dalam jumlah besar) melalui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahqaf dan Al-Jin. Demikian pula telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ عَرَضَ لِي فَشَّدَ عَلَيَّ لِيَقْطَعَ الصَّلاَةَ عَلَيَّ فَأَمْكَنَنِيَ اللهُ مِنْهُ فَذَعَتُّهُ وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أُوْثِقَهُ إِلَى سَارِيَةٍ حَتَّى تُصْبِحُوا فَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ فَذَكَرْتُ قَوْلَ سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ {رَبِّ هَبْ لِيْ مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي}، فَرَدَّهُ اللهُ خَاسِيًا. هَذَا لَفْظُ الْبُخَارِي

“Sesungguhnya setan telah menampakkan diri di hadapanku untuk memutus shalatku. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuatan kepadaku untuk menghadapinya (baca: mengalahkannya), sehingga aku dapat mendorongnya dengan kuat. Sungguh, sebenarnya aku ingin mengikatnya di sebuah tiang hingga kalian dapat menontonnya di pagi harinya. Tapi aku teringat akan ucapan saudaraku Nabi Sulaiman ‘alaihissalam: ‘Ya Rabbi, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan hina.” Demikianlah lafadz yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari. Adapun lafadz Al-Imam Muslim adalah sebagai berikut:

إِنَّ عِفْرِيْتًا مِنَ الْجِنِّ جَعَلَ يَفْتِكُ عَلَيَّ الْبَارِحَةَ لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ وَإِنَّ اللهَ أَمْكَنَنِيْ مِنْهُ فَذَعَتُّهُ فَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى جَنْبِ سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوا تَنْظُرُونَ إِلَيْهِ أَجْمَعُونَ أَوْ كُلُّكُمْ ثُمَّ ذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِيْ سُلَيْمَانَ {رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي} فَرَدَّهُ اللهُ خَاسِئًا.

“Sesungguhnya ‘Ifrit dari kalangan jin telah menampakkan diri di hadapanku tadi malam untuk memutus shalatku. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuatan kepadaku untuk menghadapinya (baca: mengalahkannya), sehingga aku dapat mendorongnya dengan kuat. Sungguh, sebenarnya aku ingin mengikatnya di salah satu tiang masjid hingga kalian semua dapat menontonnya di pagi harinya. Tapi aku teringat akan ucapan saudaraku Nabi Sulaiman ‘alaihissalam: ‘Ya Rabbi, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan hina.”

Para pembaca yang budiman, peristiwa masuknya jin ke dalam tubuh manusia hingga membuatnya kesurupan, telah ada keterangannya di dalam Kitabullah (Al-Qur`an), Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ijma’ (kesepakatan) umat ini. Maka tidak bisa dibenarkan bagi orang yang tergolong intelek (berpendidikan) untuk mengingkarinya tanpa berlandaskan ilmu dan petunjuk ilahi. Bahkan karena semata-mata taqlid kepada sebagian ahli bid’ah yang berseberangan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Wallahul musta’an walaa haula walaa quwwata illa billah. Akan aku sajikan untuk anda –wahai pembaca– beberapa perkataan ahlul ilmi tentang masalah ini, insya Allah.

Berikut ini pernyataan para mufassir (ahli tafsir) berkenaan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

“Orang-orang yang makan riba itu tidaklah berdiri (bangkit dari kuburnya) melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)

Al-Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata: “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah orang yang kesurupan di dunia, yang mana setan merasukinya hingga menjadi gila (rusak akalnya).”

Al-Imam Al-Baghawi berkata tentang makna al-massu: “Yaitu gila/hilang akal. Seseorang disebut مَمْسُوْسٌ (gila/hilang akal) jika dia menjadi gila atau rusak akalnya.”

Al-Imam Ibnu Katsir berkata: “Orang-orang pemakan riba itu tidaklah dibangkitkan dari kubur mereka di hari kiamat melainkan seperti bangkitnya orang yang kesurupan saat setan merasukinya, yaitu berdiri dalam keadaan sempoyongan. Shahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: ‘Seorang pemakan riba akan dibangkitkan (dari kuburnya) di hari kiamat dalam keadaan gila (rusak akalnya).’ (Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Abi Hatim). Seperti itu pula yang diriwayatkannya dari Auf bin Malik, Sa’id bin Jubair, As-Suddi, Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan Muqatil bin Hayyan (tentang ayat tersebut).”

Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Di dalam ayat ini terdapat argumen tentang rusaknya pendapat orang yang mengingkari adanya kesurupan jin. Juga argumen tentang rusaknya anggapan bahwa itu hanyalah proses alamiah yang terjadi pada tubuh manusia, serta rusaknya anggapan bahwa setan tidak dapat merasuki tubuh manusia.”

Perkataan para ahli tafsir yang semakna dengan ini cukup banyak. Barangsiapa yang mencari, insya Allah akan mendapatkannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam kitabnya Idhah Ad-Dilalah Fi ‘Umumir Risalah Lits-tsaqalain yang terdapat dalam Majmu’ Fatawa (19/9-65), –setelah berbicara beberapa hal– berkata: “Oleh karena itu, sekelompok orang dari kalangan Mu’tazilah semacam Al-Jubba’i, Abu Bakr Ar-Razi, dan yang semisalnya, mengingkari peristiwa masuknya jin ke dalam tubuh orang yang kesurupan, namun tidak mengingkari adanya jin. Hal itu (menurut mereka) karena dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peristiwa masuknya jin ke dalam tubuh orang yang kesurupan tidak sejelas dalil yang menunjukkan tentang adanya jin, walaupun sesungguhnya (pendapat) mereka itu keliru. Karena itu, Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari menyebutkan dalam Maqalat Ahlis Sunnah Wal Jama’ah bahwasanya mereka (yakni Ahlus Sunnah) menyatakan: “Sesungguhnya jin itu dapat masuk ke dalam tubuh orang yang kesurupan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

“Orang-orang yang makan riba itu tidaklah berdiri (bangkit dari kuburnya) melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahumallahu berkata: “Aku pernah berkata pada ayahku: ‘Sesungguhnya ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa jin itu tidak dapat masuk ke dalam tubuh manusia.’ Maka ayahku berkata: ‘Wahai anakku, mereka itu berdusta. Bahkan jin dapat berbicara melalui mulut orang yang kesurupan.’ Permasalahan ini telah dijelaskan secara panjang lebar pada tempatnya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa (24/276-277) juga mengatakan: “Keberadaan jin merupakan perkara yang benar menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kesepakatan salaful ummah (para pendahulu umat ini) dan para ulamanya. Demikian pula masuknya jin ke dalam tubuh manusia, juga merupakan perkara yang benar sesuai dengan kesepakatan para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

“Orang-orang yang makan riba itu tidaklah dapat berdiri (bangkit dari kuburnya) melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)

Di dalam kitab Ash-Shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ

“Sesungguhnya setan itu dapat berjalan pada tubuh anak cucu Adam melalui aliran darah.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Ahkam no. 7171 dan Muslim, Kitab As-Salam no. 2175)

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahumallahu berkata: “Aku pernah berkata pada ayahku: ‘Sesungguhnya ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa jin itu tidak dapat masuk ke dalam tubuh manusia.’ Maka ayahku berkata: ‘Wahai anakku, mereka itu berdusta. Bahkan jin dapat berbicara melalui mulut orang yang kesurupan.’

Apa yang Al-Imam Ahmad katakan ini adalah perkara yang masyhur. Sangat mungkin seseorang yang mengalami kesurupan berbicara dengan sesuatu yang tidak dipahaminya. Ketika tubuhnya dipukul dengan keras pun ia tidak merasakannya. Padahal bila pukulan itu ditimpakan kepada unta jantan, niscaya akan kesakitan. Sebagaimana ia tidak menyadari pula apa yang diucapkannya. Seorang yang kesurupan, terkadang dapat menarik tubuh orang lain yang sehat. Dia juga dapat menarik alas duduk yang didudukinya, serta dapat memindahkan berbagai macam benda dari satu tempat ke tempat yang lain, dan sebagainya. Siapa saja yang menyaksikannya, niscaya meyakini bahwa yang berbicara melalui mulut orang yang kesurupan itu dan yang menggerakkan benda-benda tadi bukanlah diri orang yang kesurupan tersebut. Tidak ada para imam yang mengingkari masuknya jin ke dalam tubuh orang yang kesurupan. Barangsiapa mengklaim bahwa syariat ini telah mendustakan peristiwa tersebut berarti dia telah berdusta atas nama syariat. Dan sesungguhnya tidak ada dalil-dalil syar’i yang menafikannya.”-sekian nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-

Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad (4/66-69) berkata: “Kesurupan ada dua macam:

1. Kesurupan yang disebabkan oleh gangguan roh jahat yang ada di muka bumi ini.

2. Kesurupan yang disebabkan oleh gangguan fisik yang amat buruk.

Jenis kedua inilah yang dibahas oleh para dokter, berikut faktor penyebab dan cara pengobatannya.

Adapun kesurupan yang disebabkan oleh gangguan roh jahat (di antaranya jin/setan, -pen), para pemuka dan ahli kedokteran juga mengakui eksistensinya. Menurut mereka, pengobatannya harus dengan roh-roh yang mulia lagi baik agar dapat melawan roh-roh yang jahat lagi jelek itu. Sehingga dapat mengatasi pengaruh-pengaruh buruknya, bahkan dapat membatalkan tindak kejahatannya.

Keyakinan semacam ini telah dinyatakan oleh Buqrath (Hipocrates) dalam beberapa bukunya, berikut beberapa jenis pengobatan untuk kesurupan. Buqrath mengatakan: ‘Pengobatan ini hanya berfungsi untuk kesurupan yang disebabkan oleh gangguan fisik dan masuknya zat-zat tertentu ke dalam tubuh. Sedangkan kesurupan yang disebabkan oleh gangguan roh-roh jahat (termasuk jin/setan), maka pengobatan di atas tidaklah bermanfaat.’

Adapun sebagian dokter yang bodoh dan rendah –terlebih yang mengagungkan paham zandaqah (zindiq/kafir, tidak percaya pada Allah Subhanahu wa Ta’ala)– mengingkari kesurupan. Mereka juga tidak mengakui adanya efek buruk roh-roh tersebut terhadap tubuh orang yang kesurupan. Mereka sesungguhnya telah dikuasai oleh kebodohan. Sebab menurut ilmu kedokteran sendiri, jenis kesurupan semacam ini benar-benar ada dan tidak ada alasan untuk mengingkarinya. Terlebih bila keberadaannya dapat dibuktikan pula oleh panca indra dan realita.

Berkenaan dengan klaim para dokter tersebut bahwa kesurupan itu diakibatkan oleh gangguan fisik, memang bisa dibenarkan. Namun hal ini berlaku pada sebagian jenis kesurupan saja dan tidak secara keseluruhan.” –Hingga perkataan beliau–: “Kemudian datanglah para dokter dari kalangan zanadiqah yang tidak mengakui adanya kesurupan kecuali yang diakibatkan oleh gangguan fisik saja. Orang yang berakal dan mengetahui (hal ihwal) roh berikut gangguannya, akan tertawa melihat kebodohan dan lemahnya akal mereka (para dokter) itu.

Untuk mengobati kesurupan jenis ini, perlu memperhatikan dua hal:

1. Berkaitan dengan diri orang yang kesurupan itu sendiri.

2. Berkaitan dengan orang yang mengobatinya.

Adapun yang berkaitan dengan diri orang yang kesurupan itu sendiri, maka dengan kekuatan jiwanya dan kemantapannya dalam menghadap Pencipta roh-roh tersebut (yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala) serta kesungguhannya dalam meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang berpadu antara hati dan lisannya. Karena kondisinya ibarat pertempuran, yang mana seseorang tidak akan mampu menundukkan musuhnya dengan senjata yang dimilikinya kecuali bila terpenuhi dua hal: senjatanya benar-benar tajam, dan ayunan tangannya benar-benar kuat. Di saat kurang salah satunya, maka senjata itu pun kurang berfungsi. Lalu bagaimana jika tidak didapati kedua hal tersebut?! Di mana hatinya kosong dari tauhid, tawakkal, takwa, dan kemantapan dalam menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu lebih dari itu, yakni dia tidak memiliki senjata.”

Sedangkan yang berkaitan dengan orang yang mengobati, dia pun harus memiliki dua hal yang telah disebutkan di atas. Sampai-sampai (ketika kedua hal tersebut telah terpenuhi, -pent.) di antara orang yang mengobati itu ada yang cukup mengatakan (kepada jin/setan tersebut): ‘Keluarlah darinya!’ atau ‘Bismillah’ atau ‘Laa haula wala quwwata illa billah.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah mengatakan: ‘Keluarlah wahai musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala! Aku adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’

Aku (Ibnul Qayyim, -pent.) pernah menyaksikan Syaikh kami (yakni Ibnu Taimiyyah, -pent.) mengutus seseorang kepada orang yang sedang kesurupan, untuk menyampaikan kepada roh (jin) yang ada pada diri orang yang kesurupan itu: “Syaikh menyuruhmu untuk keluar (dari tubuh orang ini), karena perbuatan itu tidak halal bagimu!” Seketika itu sadarlah orang yang kesurupan tersebut. Dan terkadang beliau menanganinya sendiri. Ada kalanya roh itu jahat, sehingga untuk mengusirnya pun harus dengan pukulan. Ketika orang yang kesurupan itu tersadar, dia tidak merasakan rasa sakit akibat pukulan tersebut.

Sungguh kami dan yang lainnya sering kali menyaksikan beliau rahimahullahu melakukan pengobatan semacam itu.” –Hingga perkataan beliau–: “Secara garis besar, kesurupan jenis ini berikut pengobatannya tidaklah diingkari kecuali oleh orang yang minim ilmu, akal, dan pengetahuannya.

Kebanyakan masuknya roh-roh jahat ini ke dalam tubuh seseorang disebabkan minimnya agama dan kosongnya hati serta lisan dari hakekat dzikir, permintaan perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta pembentengan keimanan yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ketika ia tidak lagi memiliki senjata dan kosong sama sekali dari pembentengan diri, masuklah roh-roh jahat itu kepadanya.” -sekian nukilan dari Ibnul Qayyim-

Dari beberapa dalil syar’i yang telah kami sebutkan dan juga ijma’ ahlul ilmi dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah tentang kemungkinan masuknya jin ke dalam tubuh manusia (kesurupan), maka menjadi jelaslah bagi para pembaca akan batilnya pernyataan orang-orang yang mengingkari permasalahan ini. Menjadi jelas pula kekeliruan Asy-Syaikh ‘Ali Ath-Thanthawi dalam pengingkarannya tersebut. Dia berjanji untuk rujuk kepada kebenaran kapan pun tampak baginya. Maka dari itu, hendaknya dia kembali kepada kebenaran setelah membaca keterangan kami. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua.” (Dikutip dan diterjemahkan dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fil Masa`il Al-‘Ashriyyah min Fatawa ‘Ulama Al-Balad Al-Haram, hal. 1586-1595)

Penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu
Suatu hari Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Adakah dalil yang menunjukkan bahwa jin dapat masuk ke dalam tubuh manusia?”

Beliau menjawab: “Ya. Ada dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang menunjukkan bahwa jin dapat masuk ke dalam tubuh manusia.
Dari Al-Qur`anul Karim, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

“Orang-orang yang makan riba itu tidaklah dapat berdiri (bangkit dari kuburnya) melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Orang-orang pemakan riba itu tidaklah dibangkitkan dari kubur mereka di hari kiamat melainkan seperti bangkitnya orang yang kesurupan saat setan merasukinya.”
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ

“Sesungguhnya setan itu dapat berjalan pada tubuh anak cucu Adam melalui aliran darah.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Ahkam no.7171 dan Muslim, Kitab As-Salam no. 2175)

Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullahu dalam Maqalat Ahlis Sunnah Wal Jama’ah berkata: “Bahwasanya mereka –yakni Ahlus Sunnah– menyatakan: ‘Sesungguhnya jin dapat masuk ke dalam tubuh orang yang kesurupan’.” Beliau berdalil dengan ayat (275 dari surat Al-Baqarah) di atas.

Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahumallahu berkata: “Aku pernah berkata pada ayahku: ‘Sesungguhnya ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa jin itu tidak dapat masuk ke dalam tubuh manusia.’ Maka ayahku berkata: ‘Wahai anakku, mereka itu berdusta. Bahkan jin dapat berbicara melalui mulut orang yang kesurupan.’
Ada beberapa hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad dan Al-Baihaqi: “Bahwasanya seorang bocah gila didatangkan di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (kepada jin yang merasukinya, -pent) :Keluarlah wahai musuh Allah! Aku adalah Rasulullah.’ Maka sembuhlah bocah tersebut.” (Al-Musnad, no. 17098, 1713)

Dari sini engkau dapat mengetahui bahwa permasalahan masuknya jin ke dalam tubuh manusia ada dalilnya dari Al-Qur`anul Karim dan juga dua dalil dari As-Sunnah.

Inilah sesungguhnya pendapat Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan para imam dari kalangan as-salafush shalih. Realita pun membuktikannya. Walaupun demikian kami tidak mengingkari adanya penyebab lain bagi penyakit gila seperti lemahnya syaraf atau rusaknya jaringan otak, dll.” (Dikutip dan diterjemahkan dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fil Masa`il Al-‘Ashriyyah Min Fatawa ‘Ulama Al-Balad Al-Haram, hal. 1563-1564)

Penutup

Pembaca yang budiman, demikianlah sajian ilmu dari dua ulama besar Ahlus Sunnah Wal Jamaah jaman ini seputar permasalahan kesurupan atau kerasukan jin (baca: setan), yang berpijak di atas dalil dari Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama terpercaya umat Islam. Adapun kesimpulannya, sebagai berikut:

1. Keberadaan jin merupakan perkara yang benar menurut Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kesepakatan salaful ummah dan para ulamanya.

2. Masuknya jin ke dalam tubuh manusia (kesurupan/ kerasukan setan), benar pula adanya menurut Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kesepakatan salaful ummah dan para ulamanya serta realita pun membuktikannya.

3. Para pemuka dan ahli kedokteran pun mengakui adanya peristiwa kesurupan jin, sebagaimana keterangan Al-Imam Ibnul Qayyim di atas. Sehingga, barangsiapa mengklaim bahwasanya syariat ini telah mendustakan adanya kesurupan jin berarti dia telah berdusta atas nama syariat itu sendiri.

4. Masuk Islamnya jin melalui seorang manusia, diperbolehkan dalam syariat Islam. Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan doa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam:

وَهَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَََحَدٍ مِنْ بَعْدِي

“Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku.”
Wallahu a’lam.

Sumber Website:

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=357

http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=292

Dilarang Emosi

24 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al Ustadz Hammad Abu Muawiah

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ

“Seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Berilah aku wasiat?” Beliau bersabda, “Janganlah kamu marah.” Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, tapi beliau tetap bersabda, “Janganlah kamu marah.” (HR. Al-Bukhari no. 6116)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

“Bukanlah orang yang kuat adalah orang yang bisa mengalahkan orang lain, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan emosinya ketika dia marah.” (HR. Al-Bukhari no. 6114 dan Muslim no. 2608)

Dari Abu Dzar radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

“Jika salah seorang dari kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri, maka hendaklah dia duduk. Jika rasa marahnya hilang (maka itu yang dikehendaki), jika tidak maka hendaklah dia berbaring.” (HR. Abu Daud no. 4782 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah 5114)

Sulaiman bin Shurd radhiallahu anhu berkata: Ada dua orang yang saling mencerca di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kami duduk-duduk di samping beliau. Salah seorang dari keduanya mencerca yang lainnya karena marah, hingga wajahnya memerah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Sesungguhnya saya mengetahui suatu kalimat yang apabila dia membacanya, niscaya akan hilang (kemarahan) yang dia rasakan. Sekiranya dia membaca: ‘AUDZU BILLAHI MINASY SYAITHANIR RAJIM.” (HR. Al-Bukhari no. 5115 dan Muslim no. 2610)

Penjelasan Ringkas:

Marah adalah kebalikan dari sabar, karenanya jika sabar merupakan akhlak yang mulia maka marah merupakan akhlak yang tercela. Hal itu karena marah biasanya akan menyeret pelakunya pada perkara-perkara yang tidak terpuji bahkan pada perkara-perkara yang dia sendiri tidak senangi, dan dia baru menyadari kesalahan besarnya setelah marahnya hilang padahal dia sudah tidak bisa lagi memperbaiki apa yang telah dia rusak.

Betapa banyak kasus perceraian (talak 3) yang terjadi akibat kemarahan sesaat, dan setelah emosinya reda dia ingin kembali kepada istrinya padahal dia tidak mungkin lagi untuk kembali, kecuali setelah istrinya menikah dengan lelaki lain. Betapa banyak pembunuhan yang terjadi baik antara keluarga dekat maupun antara teman yang diakibatkan oleh emosi sesaat yang tidak terkontrol, nas`alullahas salamah wal afiyah.

Kemarahan berasal dari Iblis, karena dialah makhluk yang pertama kali marah dengan ketetapan Allah, sehingga lahirlah hasad dan penentangan kepada Allah Ta’ala yang membuatnya dilaknat oleh Allah selama-lamanya. Karenanya sangat wajar jika Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa sifat marah ini termasuk dari rukun-rukun kekafiran, yakni perkara yang bisa mengantarkan seseorang kepada kekafiran. Maka tatkala dia berasal dari fitnah setan, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam sangat bersemangat untuk menjaga umatnya dari fitnah ini, baik dalam bentuk pencegahan maupun dalam bentuk pengobatan. Pencegahan dengan cara mewasiatkan umatnya untuk tidak marah, sementara pengobatan dengan cara membaca ta’awudz dan merubah posisi tubuh ketika marah.

Sumber Website: http://al-atsariyyah.com/dilarang-emosi.html

Makanan Alternatif Setan

24 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al Ustadz Abu Muawiah Hammad

Dari Ka’ab bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam makan dengan tiga jari, dan beliau menjilatinya sebelum mencuci tangannya.” (HR. Muslim no. 2032)

Yakni: Memakan apa yang tersisa di jarinya.

Dari Jabir radhiallahu anhuma dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِلَعْقِ الْأَصَابِعِ وَالصَّحْفَةِ وَقَالَ إِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّهِ الْبَرَكَةُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh menjilati jari jemari tangan dan piring. Dan beliau bersabda, “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui dimana letak berkahnya.” (HR. Muslim no. 2032)

Dari Anas radhiallahu anhu dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا لَعِقَ أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ قَالَ وَقَالَ إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ وَأَمَرَنَا أَنْ نَسْلُتَ الْقَصْعَةَ قَالَ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمْ الْبَرَكَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila selesai makan, beliau menjilati ke tiga jari tangannya. Dan beliau bersabda, “Apabila suapan makanan salah seorang di antara kalian jatuh, maka hendaknya dia mengambilnya kembali lalu dia buang bagian yang kotor lalu hendaknya dia memakan bagian yang bersih, dan jangan dia membiarkannya jatuh untuk (dimakan) setan.” Dan beliau menyuruh kami untuk menjilati piring. Beliau bersabda, “Karena kalian tidak tahu makanan mana yang membawa berkah.” (HR. Muslim no. 2034)

Penjelasan ringkas:

Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan hikmah disunnahkannya makan dengan tiga jari, “Dikarenakan makan dengan satu atau dua jari tidaklah menjadikan seorang yang makan menikmatinya dan tidak juga memuaskannya dan tidak mengenyangkannya kecuali setelah lama berselang dan juga tidak mengenakkan organ mulut dan pencernaan dengan yang masuk ke dalamnya dari setiap makanan. Sedangkan makan dengan lima jari dan telapak tangan  akan menyebabkan makan memenuhi organ mulut dan juga pencernaan. Dan terkadang akan menyumbat saluran makan dan memaksakan organ-organ makan untuk mendorongnya dan juga pencernaan akan terbebani. Dan dia tidak akan mendapatkan kelezatan dan juga kepuasan. Dengan begitu maka cara makan yang paling bermanfaat adalah cara makan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan cara makan yang meneladani beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  yaitu dengan mempergunakan tiga jari.“ (Lihat Zaad Al-Ma’ad: 4/222)

Adapun hikmah disyariatkannya untuk menjilati jari jemari sebelum mencucinya dan memungut makanan yang jatuh, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan hikmahnya ada dua:

1.    Karena adanya kemungkinan berkah dari makanan yang kita makan itu terdapat pada makanan yang jatuh atau yang melekat di jari. Jika langsung mencuci makanan yang melekat pada jarinya atau tidak memungut makanan yang jatuh maka dia bisa kehilangan berkah makanan tersebut.

2.    Makanan yang terbuang akan dimakan oleh setan dan itu akan menambah kekuatan dari setan untuk menggodanya. Dalam riwayat Muslim no. 2033 Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setan ikut menghadiri makanannya. Maka apabila salah seorang di antara kalian terjatuh makanannya maka hendaknya dia membersihkan kotoran yang menempel padanya kemudian  memakannya dan tidak menyisakannya untuk setan. Dan apabila dia telah menyelesaikan makannya hendaknya dia menjilat tangannya karena sesungguhnya dia tidak mengetahui makanan manakah yang ada berkahnya.“

Ini menunjukkan betapa besarnya semangat setan untuk selalu mencari celah mencelakakan manusia. Dimana saat makanpun dia selalu bersama mereka untuk mencari peluang kelalain mereka. Jika orang yang makan tidak membaca basmalah di awalnya maka setan mempunyai kesempatan untuk menambah kekuatannya dengan ikut memakan makanan tersebut. Tapi jika orang tersebut membaca basmalah, maka setan tidak putus asa. Dia tetap menunggu kalau-kalau ada makanan alternatif baginya, berupa makanan yang terbuang atau makanan sisa yang tidak dimakan lalu dibuang oleh orang tersebut. Karenanya sudah sepatutnya seorang muslim menutup semua celah bagi setan untuk makan dari makanannya, baik sebelum dia makan maupun setelah dia makan.

Sumber Website: http://al-atsariyyah.com/makanan-alternatif-setan.html#more-2740

Noda-noda Maksiat

Ketika kita melewati tempat penimbunan sampah, anda pasti mencium bau yang tidak sedap, lalu anda secara refleks menutup hidung dengan tangan atau sapu tangan anda. Jika anda mengatakan, “Saya tidak mencium bau yang tidak sedap itu” maka, orang yang mendengarnya bakal mengatakan bahwa hidung anda sedang tidak sehat, mungkin terkena flu berat atau lainnya.

Di waktu yang sama, anda melihat para pemulung yang asyik mengais sampah, seolah-solah tidak merasa terganggu oleh bau yang tidak sedap itu. Kenapa? Karena mereka sudah terbiasa dengan bau tersebut sehingga menjadi biasa-biasa saja.

Beginilah perumpamaan orang yang telah terbiasa dengan maksiat yang menyebabkan hati mereka terkotori oleh noda-noda kemaksiatan. Mereka tidak dapat lagi mencium bau busuk kemaksiatan, akibat tebalnya noda-noda maksiat yang menempel pada dinding hatinya, sehingga menghalangi cahaya keimanan menembus kegelapan hatinya. Oleh karena itu, tatkala berbuat maksiat mereka tidak dapat lagi menerima cahaya sebagaimana yang dirasakan oleh hati yang diterangi dengan lentera keimanan. Jika kalian membacakan dan menyampaikan petunjuk, dan nasihat ilahi kepadanya, maka ia gusar, bahkan menolaknya karena kerasnya hati yang diselimuti oleh “noda” dan “karat” maksiat.

Dosa dan maksiat (seperti, bermusik, cukur jenggot, makan riba, minum khomer, zina, gossip, dusta, pacaran, memandang dan menyentuh lawan jenis bukan mahram, mencuri, sogok, dan lainnya), semua ini telah menutupi hatinya sebagaimana firman Allah,

“Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka”. (QS. Al-Muthoffifin:14 ).

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,

“Sesungguhnya orang yang beriman jika melakukan suatu dosa, maka dosa itu menjadi titik hitam di dalam hatinya. Jika dia bertaubat dan mencabut serta berpaling (dari perbuatannya) maka mengkilaplah hatinya. Jika dosa itu bertambah, maka titik hitam itupun bertambah hingga memenuhi hatinya.” [HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (3334), dan Ibnu Majah Sunan-nya (4244). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (1620)]

Wahai saudaraku, sampai kapankah engkau mau terus berada dalam kubangan kemaksiatan? Berlumuran dengan dosa dan penyimpangan, mendurhakai Rabb yang telah menciptakanmu dan memberi segala apa yang engkau butuhkan di dalam kehidupan ini.

Apakah engkau tidak berpikir? Allah -Azza wa Jalla- telah memberikan kepadamu kesehatan, harta benda, anak-anak dan segala kebutuhan yang lainnya, lalu engkau menggunakannya untuk durhaka dan bermaksiat kepadanya?

AlImam Abul Faraj Abdur Rahman Ibnul Jauziy-rahimahullah- berkata dalam Shoid Al-Khothir (hal. 195-196), “Seyogyanya bagi setiap orang yang memiliki hati, dan pikiran agar khawatir terhadap akibat maksiat, karena tidak ada hubungan kerabat, dan silaturrahni antara seorang anak Adam dengan Allah. Allah hanyalah Penegak dan Pemutus keadilan. Jika kelembutan Allah mampu meliputi (menutupi) dosa-dosa. Cuman jika Allah ingin mengampuni dosa itu, maka Dia akan mengampuni segala dosa yang besar. Jika hendak menyiksa seseorang, maka Allah akan menyiksanya, dengan siksaan yang masih dianggap ringan. Maka takut dan khawatirlah kalian. Sunnguh aku telah menyaksikan beberapa kaum dari kalangan orang-orang yang hidup mewah bergelimang dalam kezhaliman dan maksiat, yang tersembunyi maupun yang nampak. Mereka telah lelah dari arah yang mereka tak sangka; merekapun meninggalkan prinsipnya, dan membatalkan sesuatu yang mereka bangun berupa aturan-aturan yang mereka telah buat untuk keturunan mereka. Perkara itu tidaklah terjadi, kecuali karena mereka telah melalaikan hak-hak Allah -’Azza wa Jalla-. Mereka menyangka bahwa apa yang mereka lakukan berupa kebaikan mampu menghadapi segala sesautu yang sedang terjadi berupa kejelekan (maksiat). Akhirnya, bahtera imaginasi mereka melenceng, lalu masuk kedalam air berbahaya yang menenggalamkannya… Takutlah kepada Allah, senantiasalah kalian merasa diawasi oleh Allah”.

Ingatlah, bumi tempat kita berbuat maksiat, akan mengabarkan apa yang telah kita lakukan di atasnya, kaki yang kita gunakan untuk melangkah, tangan yang kita gunakan untuk memegang, mata yang kita gunakan untuk melihat, telinga untuk mendengar dan lainnya, semuanya akan memberikan persaksian terhadap apa yang telah diperbuatnya dipengadilan yang terbesar dan teradil kelak.

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati seluruhnya akan dimintai pertanggung jawaban” (QS. Al-Isra’: 36)

Ahli Tafsir Negeri Andalusia, Al-Imam Abu Abdillah Al-Qurthubiy-rahimahullah- berkata ketika menafsirkan ayat ini dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (10/225), “Maksudnya, setiap badan itu akan ditanyai tentang apa yang ia lakukan; hati akan akan ditanyai tentang sesuatu yang ia pikirkan, dan yakini; telinga dan pandangan akan ditanyai tentang apa yang ia lihat dan dengar dari hal itu”.

Sadarlah wahai saudaraku, sesungguhnya jasad kita amatlah rapuh jika dibandingkan dengan makhluk lainnya seperti batu, tanah, gunung dan lain-lain. Keistimewaan kita dari makhluk yang lain hanyalah terletak pada akal kita. Akal kita pun sangat terbatas kemampuannya bila dibandingkan dengan kekuasaan Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Maka janganlah engkau tertipu dengan kecerdasan akal yang ada pada dirimu. Jangan sekali-kali engkau menjadi congkak, sombong dan keras kepala karena godaan setan dan hawa nafsu.

“Dan apakah manusia tidak memperhatikan, bahwa kami menciptakannya dari setitik air (mani), lalu tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata” (QS. Yasin: 77)

Janganlah engkau menjadikan setan sebagai teman karibmu, sebab Allah telah melarang kita untuk mengikuti langkah-langkahnya yang akan menghantarkan kita kedalam jurang kebinasaan dan memerintahkan kita untuk menjadikannya sebagai musuh. Karena peperangan antara kita dan mereka akan terus berlangsung hingga ajal tiba.

Ingatlah! Sesungguhnya panglima mereka, Iblis -la’natullah ‘alaihi- telah bersumpah dihadapan Allah –Subhanahu wa Ta’ala

“Sungguh demi keagungan-Mu, benar-benar aku akan menyesatkan mereka semua” (QS.Shood: 82)

Iblis juga berkata dengan sombong,

“Dia (Iblis) berkata, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari depan dan belakang, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raaf: 16-17)

Janganlah engkau tergoda kepada bisikan-bisikannya yang membuatmu jadi orang yang durhaka kepada Ar-Rahman dan termasuk orang yang menyesal dengan penyesalan yang sangat besar, karena kelak di hari kiamat Iblis akan berlepas diri darimu dan mengingkarimu sebagaimana Allah –’Azza wa Jalla- telah mengabarkan di dalam firman-Nya,

Dan ingatlah pada hari ketika orang-orang dzolim menggigit jari-jarinya menyesali perbuatannya, seraya berkata” wahai sekiranya dulu aku mengambil jalan bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, Sekiranya dulu aku tidak menjadikan si fulan itu teman karibku, sungguh dia (setan) telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku dan setan itu tidak mau menolong manusia” .(QS. Al-Furqaan: 27-29)

Maka setan pun membantah dan mengingkarinya. Allah -Ta’ala- berfirman,

“(Setan) yang menyertainya berkata, “Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dia sendiri yang berada dalam kesesatan yang jauh . (QS. Qaaf: 27)

Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan setan berkata ketika perkara (hisab) telah diselesaikan, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku mengajak kamu lalu kamu mematuhi ajakanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku tidak dapat menolongmu, dan kamu pun tidak dapat menolongku. Sesungghunya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu. “Sungguh orang yang dzholim akan mendapat siksaan yang pedih” . (QS. Ibrahim: 22).

Kemudian Allah -Azza wa Jalla- menghardik mereka dengan hardikan yang sangat menghinakan,

“Allah berfirman, “Janganlah kamu bertengkar dihadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu. Keputusan disisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku” (QS. Qaaf: 28-29)

Bukankah engkau takut dengan panasnya api neraka? Lalu kenapa engkau bergegas menghampirinya dengan menimbun dosa? Bukankah engkau ingin masuk ke dalam surga dan merasakan segala kenikmatannya? Namun mengapa engkau tidak mau beramal untuk meraihnya? Engkau tiap hari melihat orang yang meninggal dunia, namun engkau tidak mengambil pelajaran darinya. Sudah berapa janji yang telah engkau ucapkan kepada Rabb-mu, namun engkau sendiri yang melanggarnya. Sudah seyogyanya engkau malu di hadapan Allah.

Oleh karena itu, kembalilah kepada Tuhan-mu! Janganlah engkau menunda-nunda taubatmu hingga engkau tidak mampu lagi untuk melakukannya. Ibarat seorang pemuda yang ingin mencabut sebuah pohon yang masih kecil, maka hal itu tidaklah sulit baginya. Namun apabila ia mengulur-ulur waktu, maka pohon itu akan semakin membesar dan akarnya akan semakin kuat tertancap ke dalam bumi, dan ia pun akan semakin tua dan melemah sehingga ia tidak mampu lagi untuk mencabutnya.

Abdur Rahman Ibnul Jauziy-rahimahullah- berkata dalam Shoidul Khothir (hal.210-211), “Maha Suci Sang Raja Maha Agung (Allah) yang barangsiapa yang mengenalnya, maka ia akan takut kepada-Nya; barang siapa yang merasa aman terhadap makar-Nya, maka ia tak akan mengenal-Nya. Sungguh aku telah merenungi suatu perkara yang amat agung, yaitu Allah –Azza wa Jalla- selalu memberi penangguhan sampai seakan Dia lalai. Maka anda akan melihat tangan orang-orang yang suka bermaksiat dalam keadaan bebas, seakan-akan tak ada yang menghalanginya. Jika ia semakin bebas, dan akal lepas, maka Allah akan memberikan hukuman kepada orang itu seperti hukuman raja yang sombong. Penangguhan (hukuman dosa) itu hanyalah untuk menguji kesabaran orang yang bersabar, dan mengulurkan penangguhan bagi orang yang zholim. Maka tegarlah orang yang sabar ini di atas kesabarannya, dan si zholim ini diberi balasan atas kejelekan perbuatannya”.

Janganlah engkau memandang remeh dosa-dosa yang kau lakukan, namun lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat. Janganlah engkau memandang remeh dosa-dosa, karena engkau akan menyesalinya kelak, dan janganlah kalian memandang remeh dosa-dosa, karena sesungguhnya tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus-menerus, dan tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istighfar, sebab gunung itu berasal dari kerikil-kerikil kecil.

Cobalah renungi peringatan Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa Sallam– tentang bahaya meremehkan dosa-dosa kecil

“Jauhilah kalian dosa-dosa kecil, karena perumpamaan dosa-dosa kecil itu laksana suatu kaum yang singgah disuatu lembah kemudian masing-masing membawa sebatang ranting, hingga mreka dapat mngumpulkan kayu yang cukup untuk memasakkan roti mereka. Sesungguhnya pelaku dosa-dosa kecil tatkala disiksa dengan sebab dosa-dosa yang dianggap remeh, (niscaya) hal itu akan membinasakannya”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (22860), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (10500), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (7267). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (389)]

Al-Hafizh Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata, “Diantara dampak buruk maksiat, seorang hamba senantiasa melakukan dosa sampai dosa itu akan remeh menurutnya, dan terasa kecil dalam hatinya. Itulah tanda kebinasaan, karena dosa jika semakin kecil dalam pandangan seorang hamba, maka akan semakin besar urusannya di sisi Allah”. [Lihat Ad-Daa’u wad Dawaa’ (hal. 93-94), cet. Dar Ibnul Jauziy, dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Atsariy]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 40 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Pentobat Maksiat menukil dari: http://almakassari.com/artikel-islam/akhlak/noda-noda-maksiat.html