Arsip

Posts Tagged ‘malu’

Malu Bagian Dari Iman

10 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al Ustadz Abu Muawiah Hammad

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

“Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman”. (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 50)

Imran bin Hushain radhiallahu anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37)

Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang sangat pemalu, lebih pemalu dari gadis pingitan. Apabila beliau tidak menyenangi sesuatu, maka kami dapat mengetahuinya di wajah beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 6119 dan Muslim no. 2320)

Abu Mas’ud radhiallahu anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“Sesungguhnya di antara ucapan yang diperoleh manusia dari kenabian yang pertama adalah: Jika kamu tidak mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Al-Bukhari no. 6120)

Penjelasan ringkas:
Malu adalah suatu akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan suatu amalan yang mencoreng jiwanya, karena akhlak ini bisa mendorong dia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Dia merupakan hijab yang bersifat umum yang diperintahkan kepada setiap muslim baik dia laki-laki maupun wanita. Karenanya, terkhusus bagi kaum wanita, mereka diwajibkan untuk mengenakan dua jenis hijab: Hijab umum yaitu rasa malu dan hijab khusus yang berupa pakaian. Wanita mana saja yang berhijab dengan hijab khusus tapi menanggalkan hijab umumnya, maka pada hakikatnya dia telah menampakkan perhiasannya dan menanggalkan hijabnya yang sebenarnya. Karenanya, hijab umum tidak kalah pentingnya dengan hijab khusus.

Rasa malu merupakan bagian dari keimanan bahkan dia merupakan salah satu indikator tinggi rendahnya keimanan seorang muslim. Karenanya, manusia yang paling beriman -yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam- adalah manusia yang paling pemalu, bahkan melebihi malunya para wanita yang dalam pingitan.

Intinya, malu tidaklah menghasilkan kecuali kebaikan dan dia tidaklah datang kecuali dengan membawa kebaikan pula. Karenanya wasiat malu ini merupakan wasiat dari para anbiya` sejak dari zaman ke zaman kepada umatnya, agar mereka bisa menjaga sifat malu mereka, karena hal itu akan menjaga kehormatan mereka di dunia dan jasad mereka di akhirat dari api neraka.

Di antara bentuk malu yang paling utama adalah malu kepada Allah, seperti malu jika Allah Ta’ala melihatnya ketika dia sedang berbuat maksiat atau malu kepada-Nya untuk menampakkan auratnya walaupun dia sedang sendirian. Termasuk malu ibadah adalah malunya seorang wanita dari menampakkan perhiasannya kepada siapa yang dia dilarang untuk menampakkannya.

Sumber Website: http://al-atsariyyah.com/malu-bagian-dari-iman.html

Kemaksiatan, Cermin Hilangnya Wibawa Umat Islam

6 Januari 2011 1 komentar

Penulis: Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Tidak diragukan lagi bahwa kehinaan dan malapetaka yang ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu disebabkan karena banyak manusia lalai, merasa tidak bersalah jika melaksanakan dosa dan kemaksiatan. Mereka pun pura-pura tidak tahu bahwa yang demikian itu akan menyebabkan turunnya ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman :

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang benar.” (Ar-Rum : 41)

Kemuliaan kaum musliminpun terpuruk dikarenakan penganutnya acuh tak acuh terhadap agamanya, yang halal menjadi haram dan sebaliknya, yang haram menjadi halal. Akibat dari semua itu dosa dan kemaksiatan menjadi sarapan pagi, siang dan malam harinya …… Wallahu Musta’an.

Umar Ibnul Khaththab berkata, “Sesungguhnya kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dengan Islam, walau bagaimanapun kita pasti menginginkan kemuliaan tersebut, tapi jika tanpa Islam, maka Allah akan menghinakan kita.” (dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi)

Dari perkataan seorang khalifah ini, jelaslah kehancuran dan kehinaan kaum muslimin akan didapat jika lalai dan meninggalkan agamanya. Maka hendaklah seluruh kaum muslimin sadar akan hal ini dan mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan dari dosa dan kemaksiatannya serta hal-hal yang akan menyebabkan ia berbuat dosa.

Adapun dampak yang ditimbulkan dari dosa dan maksiat adalah sebagai berikut :

· Sesungguhnya dengan dosa dan maksiat akan melemahkan hati dari keinginannya. Sedikit demi sedikit keinginan untuk melakukan kemaksiatan akan menguat, dan keinginan untuk bertobat akan melemah hingga akhirnya akan hilang keinginan hati untuk bertaubat secara keseluruhan.

· Seseorang akan terus melakukan perbuatan dosa dan maksiat, sehingga ia akan menganggap remeh dosa tersebut. Kalau sudah demikian maka akan datang kehancuran, sebab dosa yang dianggap remeh adalah besar di sisi Allah Ta’ala. Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin tatkala melihat dosanya seakan-akan ia berada di pinggir gunung yang ia takut gunung itu akan menimpa dirinya. Dan sesungguhnya seorang yang fajir tatkala melihat dosanya, seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya lalu membiarkannya terbang.” (HR. Bukhari)

· Sesungguhnya dosa dan maksiat akan menghilangkan rasa malu, yang merupakan tonggak kehidupan hati, pokok dari segala kebaikan, apabila hilang rasa malu maka lenyaplah kebaikan. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda: “Malu adalah kebaikan seluruhnya.” (HR. Bukhari Muslim)

· Disebabkan dosa dan maksiat, Allah Ta’ala akan melupakan hamba-Nya dan meninggalkannya, maka terjadilah kehancuran yang tidak diharapkan.

Masih banyak dampak dan akibat yang ditimbulkan dari dosa dan kemaksiatan yang harus dijauhi oleh setiap kaum muslimin…. Dengan kembali kepada agamanya, kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah, berpegang teguh kepada keduanya untuk mengembalikan ‘izzul Islam wal muslimin (Kemuliaan Islam dan Muslimin).

Wallahu A’lam bishawab

(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah Yusuf, dari Bulletin Al Wala wal Bara Edisi ke-15 Tahun ke-1 / 28 Maret 2003 M / 25 Muharrom 1424 H. Url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/15.htm#sub2)

Sumber Website: http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=139

Kategori:Pintu Tobat Tag:, ,

Berhiaslah dengan Rasa Malu

Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran
Ingar-bingar kehidupan remaja kita yang tercermin dari tata pergaulannya sudah sampai pada taraf yang sangat memprihatinkan. Rasa malu seakan memunah sementara ‘keberanian’ merambati perilaku mereka. Di sudut sebuah sekolah, seorang gadis kecil berseragam sekolah melenggang, diiringi langkahnya dengan sejumlah teman laki-lakinya. Tak canggung dia melempar senyum, tertawa, dan bercanda dengan mereka. Di dalam kelas, suatu yang lazim murid laki-laki duduk bersama dan berdiskusi dengan murid perempuan.

Justru suatu pemandangan yang ‘aneh’ bila ada seorang murid yang merasa malu melakukan semua itu. Gelaran ‘kuper’, ‘kutu buku’, ‘sok alim’, ‘anak kampungan’, atau yang lainnya bakal segera menghampirinya. Belum lagi di tempat lainnya yang lazim dikunjungi anak-anak ‘baru gede’ seusai sekolah atau di waktu senggang mereka. Dengan sedikit memoles bibir dengan lipstik, disertai busana yang sedikit ‘berani’, mereka pun menjelajahi mal-mal. Entah benar-benar untuk berbelanja atau sekedar nampang. Tak sedikit pun rasa canggung menghampiri hati mereka. Allahul musta’an … Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah kita mengadukan segala kepahitan ini.

Di kala rasa malu dalam jiwa anak-anak sudah terkikis. Mereka tak sungkan lagi melakukan segala sesuatu yang dianggap aib oleh syariat. Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan pada kita oleh Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu:
“Sesungguhnya di antara apa yang didapati manusia dari ucapan nabi-nabi yang terdahulu adalah ‘Apabila engkau tidak malu, maka lakukan apa pun yang engkau mau’.” (HR. Al-Bukhari no. 6120) Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu mengatakan –sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu–, “Yang dapat mencegah seseorang terjatuh dalam kejelekan adalah rasa malu.Sehingga bila dia tinggalkan rasa malu itu, seolah-olah dia diperintah secara tabiat untuk melakukan segala macam kejelekan.” (Fathul Bari, 10/643).

Sebenarnya apa malu itu? Para ulama menjelaskan, malu hakikatnya adalah akhlak yang dapat membawa seseorang untuk meninggalkan perbuatan tercela dan mencegahnya dari mengurangi hak yang lainnya. Demikian dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin, Kitabul Adab Bab Al-Haya` wa Fadhluhu wal Hatstsu ‘alat Takhalluqi bihi.

Malu yang ada pada diri manusia ada dua macam:
Pertama, malu yang berasal dari tabiat dasar seseorang. Ada sebagian orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahi sifat malu, sehingga kita dapati orang itu pemalu sejak kecil. Tidak berbicara kecuali pada sesuatu yang penting, dan tidak melakukan suatu perbuatan kecuali ketika ada kepentingan, karena dia pemalu.
Kedua, malu yang diupayakan dari latihan, bukan pembawaan. Artinya, seseorang tadinya bukan seorang pemalu. Dia cakap dalam berbicara dan tangkas berbuat apa pun. Lalu dia bergaul dengan orang-orang yang memiliki sifat malu dan baik sehingga dia memperoleh sifat itu dari mereka. Malu yang bersifat pembawaan itu lebih utama daripada yang kedua ini. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 234)

Al-Hafizh rahimahullahu menukilkan dari Ar-Raghib bahwa malu adalah menahan diri dari perbuatan jelek. Dan ini merupakan kekhususan yang dimiliki manusia agar dia dapat berhenti dari berbuat apa saja yang dia inginkan, sehingga dia tidak akan seperti hewan. (Fathul Bari, 1/102) Sifat malu ini mendapatkan pujian dalam syariat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan demikian dalam sabdanya yang disampaikan oleh ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu:
“Malu itu tidaklah datang kecuali dengan membawa kebaikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37) Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang sahabat yang mencela temannya karena rasa malu yang dimilikinya.
Dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai seseorang yang sedang mencela saudaranya karena malu. Dia mengatakan, “Kamu ini merasa malu,” sampai dia katakan, “Rasa malu itu telah memudaratkanmu!” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al-Bukhari no. 6118 dan Muslim no. 36).

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah pula mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Iman itu ada tujuh puluh sekian1 cabang. Cabang yang paling utama adalah ucapan ‘tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah’, yang paling rendah menghilangkan gangguan dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan.” (HR. Al-Bukhari no. 48 dan Muslim no. 35)

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu dan ulama yang lain menjelaskan, “Sesungguhnya malu termasuk keimanan walaupun malu itu berupa sifat pembawaan. Karena, malu itu terkadang merupakan akhlak yang disandang atau hasil usaha seseorang seperti halnya amalan kebaikan lainnya, dan terkadang pula merupakan sifat pembawaan. Namun pelaksanaannya di atas aturan syariat membutuhkan upaya, niat, dan ilmu. Dengan ini, malu termasuk keimanan. Juga karena malu dapat mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan dan mencegahnya dari kemaksiatan.” (Syarh Shahih Muslim, 2/4)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan:
“Malu dan iman itu senantiasa ada bersama-sama. Bila hilang salah satu dari keduanya, hilang pula yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1313 dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad: shahih).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri adalah seorang yang memiliki sifat sangat pemalu. Digambarkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu sifat malu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitannya. Bila beliau tidak menyukai sesuatu, kami bisa mengetahuinya pada wajah beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 6119 dan Muslim no. 2320)

‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang terkenal memiliki sifat pemalu, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun malu kepadanya. Dikisahkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbaring di rumahku dalam keadaan tersingkap dua paha atau dua betis beliau. Kemudian Abu Bakr meminta izin menemui beliau. Beliau mengizinkannya masuk, sementara beliau masih dalam keadaannya. Lalu Abu Bakr bercakap-cakap dengan beliau. Kemudian ‘Umar datang meminta izin untuk masuk. Beliau mengizinkannya masuk, sementara beliau tetap demikian keadaannya. Mereka pun berbincang-bincang. Kemudian ‘Utsman datang minta izin untuk menemui beliau. Beliau pun langsung duduk dan membenahi pakaiannya –Muhammad2 berkata: Aku tidak mengatakan bahwa hal ini terjadi dalam satu hari– ‘Utsman pun masuk dan berbincang-bincang. Ketika ‘Utsman pulang, Aisyah bertanya, “Abu Bakr masuk menemuimu, namun engkau tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya. Begitu pula ‘Umar masuk menemuimu, engkau juga tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya pula. Kemudian ketika ‘Utsman masuk, engkau segera duduk dan membenahi pakaianmu!” Rasulullah menjawab, “Tidakkah aku merasa malu kepada seseorang yang malaikat pun merasa malu kepadanya?” (HR. Muslim no. 2401) Dalam riwayat yang lainnya dari ‘Aisyah dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Sesungguhnya ‘Utsman itu orang yang pemalu. Aku khawatir, jika aku mengizinkan dia masuk dalam keadaan seperti tadi, dia tidak akan bisa menyampaikan keperluannya kepadaku.” (HR. Muslim no. 2402).

Ini menunjukkan bahwa malu adalah sifat yang terpuji dan termasuk sifat yang dimiliki oleh para malaikat. (Syarh Shahih Muslim, 15/168)

Tetapi, ke mana perginya rasa malu yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya itu dari jiwa sebagian kaum muslimin sekarang ini? Anak-anak kita tidak lagi merasa malu menonton tayangan yang tidak layak dilihat. Anak-anak gadis kita sekarang tidak lagi merasa malu bertemu dengan laki-laki yang tak seharusnya ditemui. Begitu pula anak laki-laki kita, tidak merasa malu pergi bermain dengan memakai celana pendek. Dia justru merasa malu bila harus berlatih memakai celana yang menutupi auratnya, karena akan berbeda dengan teman-teman sepermainannya. Anak-anak merasa malu jika tak mengenal mode atau tren terkini. Atau, justru orangtualah yang merasa malu jika anak-anaknya harus menghabiskan waktu untuk menghafal Al-Qur’an atau menempuh pendidikan agama. Tidak ada sederet gelar yang akan melekat di depan nama bila hanya belajar agama, begitu yang ada dalam pikiran. Mereka pun akan malu jika anak mereka ‘kuper’ karena tidak mau bergaul dengan lawan jenisnya. Allahul musta’an …. Keadaan telah berbalik.

Malu merupakan sifat yang terpuji, kecuali bila justru mencegah pemiliknya dari melaksanakan kewajiban atau menjatuhkannya pada keharaman. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 234) Jika rasa malu pada diri seseorang menghalanginya melakukan kebaikan atau mendorongnya berbuat kemaksiatan, atau menghalanginya untuk menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang dia hormati atau dia cintai, maka pada hakikatnya ini bukanlah malu, melainkan sikap lemah.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu ketika menjelaskan hadits ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu tentang malu, mengatakan bahwa malu yang dipuji dalam ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah akhlak yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Sedangkan rasa lemah yang menyebabkan seseorang mengurangi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun hak hamba-Nya bukan termasuk malu. Tetapi ini adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/502).

Di antara perkara yang tidak pantas malu padanya adalah menuntut ilmu. Demikian yang ada dalam kehidupan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Jadi, belajar agama yang benar tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang ‘tidak bergengsi’ sehingga orang harus malu melakukannya. Tidak layak pula malu bertanya tentang sesuatu hal yang penting untuk diamalkan dalam agama ini, walaupun nampaknya hal itu adalah sesuatu yang ‘tabu’.

Seperti Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi janabah bagi wanita yang ihtilam. Ummu Sulaim memulai pertanyaannya dengan ucapan yang begitu bermakna:“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu pada perkara yang benar…” (HR. Al-Bukhari no. 6121) Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah merasa malu dalam suatu majelis ilmu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melontarkan pertanyaan kepada para sahabat yang ada di majelis itu. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ingin memberikan jawaban, namun rasa malu begitu menguasainya. Ketika mengetahui hal itu, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pun mencela perbuatan putranya. Berikut kisahnya:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Perumpamaan seorang mukmin itu seperti sebuah pohon yang hijau yang tak pernah berguguran daunnya.” Para sahabat pun menjawab, “Itu adalah pohon ini, pohon itu.” Aku ingin mengatakan bahwa itu adalah pohon kurma, sementara aku ini anak kecil sehingga aku pun merasa malu. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itu pohon kurma.” Di dalam riwayat yang lain ada tambahan:
Kuceritakan kejadian itu kepada ayahku, ‘Umar, maka dia berkata, “Seandainya engkau tadi menjawab, itu lebih kusukai daripada memiliki ini dan itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6122) Betapa jauh keadaan kita dengan para sahabat. Mereka berhias dengan rasa malu yang hakiki, yang dapat menahan diri mereka dari kehinaan. Mereka buang jauh-jauh sifat lemah yang menyebabkan seseorang segan melakukan kebaikan. Mulai sekarang mestinya, kita berbenah diri dan membenahi anak-anak kita agar memiliki rasa malu. Rasa malu itu akan menuntun kita dan anak-anak kita menuju kebaikan sehingga kelak akan sampai di surga. Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinukilkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Malu itu termasuk keimanan, dan keimanan itu tempatnya di surga, sementara kekejian3 itu termasuk kekerasan4, dan kekerasan itu tempatnya di neraka.” (HR. At-Tirmidzi no. 2009, dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi) Wallahu ta’ala a’lamu bishawab.

1 Al-bidh’u adalah hitungan antara tiga sampai sembilan.
2 Salah seorang perawi hadits ini.
3 Al-badza` adalah lawan dari malu, yang muncul darinya perkataan keji dan akhlak yang buruk.
4 Al-jafa` adalah lawan dari kebaikan. Pelakunya adalah orang-orang yang tidak menunaikan hak, bertabiat kasar dan berhati keras.

Sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=501

Dinukil dari: http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/akhlak-adab/berhiaslah-dengan-rasa-malu/#more-25