Arsip

Posts Tagged ‘taubat’

(UNDUHAN) Taubat Lagi Maksiat Lagi

12 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Taubat Lagi Maksiat Lagi

Pemateri: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Silahkan diunduh di bawah ini:

Unduhan # 998 KB #

NB: Klik kanan  “Unduhan” lalu pilih ” Save”

Kategori:Unduhan Tobat Tag:, ,

Taubat, Muara Terindah bagi Seorang Hamba

28 September 2010 Tinggalkan komentar

Laksana musafir yang singgah sejenak di suatu tempat, sekedar untuk beristirahat dan mengumpulkan bekal, lalu melanjutkan perjalanannya kembali hingga sampai ke tempat tujuannya. Demikianlah hakikat kehidupan manusia di muka bumi ini, bahwa setiap kita hakikatnya adalah musafir yang sedang berjalan menuju kampung kita yang sejati, yaitu negeri akhirat yang kekal.

Maka sudah sepantasnya kita mempersiapkan diri dan berbekal dengan ketakwaan untuk kehidupan kita yang sesungguhnya, yaitu kehidupan yang tidak ada kematian lagi setelahnya, yang ada hanyalah kebahagian selama-lamanya ataukah sebaliknya: adzab yang panjang.

Namun sudah menjadi tabiat manusia tergelincir dalam dosa, padahal tidaklah manusia itu diciptakan kecuali semata-mata untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka tatkala seseorang tergelincir ke dalam lembah kenistaan, hendaklah ia segera kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, meninggalkan kesalahannya dan bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut di masa datang. Inilah suatu amalan besar yang dinamakan dengan taubat.

Makna Taubat

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Makna taubat secara bahasa adalah kembali, sedangkan menurut perngertian syar’i taubat adalah kembali dari maksiat kepada Allah Ta’ala menuju ketaatan kepada-Nya. Dan taubat yang paling agung serta paling wajib adalah taubat dari kekafiran kepada keimanan.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَف

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, Jika mereka berhenti (bertaubat dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.” (Al-Anfal: 38)

Kemudian tingkatan taubat berikutnya adalah taubat dari dosa-dosa besar, berikutnya taubat dari dosa-dosa kecil. Dan wajib bagi setiap manusia untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari setiap dosa.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 1/38)

Kewajiban Bertaubat

Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan kewajiban yang diperintahkan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)

Juga firman Allah Ta’ala:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)

Dalam hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

عن الأَغَرِّ بنِ يسار المزنِيِّ – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – : ((يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ)) رواه مسلم

Dari al-Agar bin Yasar radhiyallahu’anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah Ta’ala, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus kali.” (HR. Muslim, no. 7034)

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Ulama telah sepakat (ijma’) atas wajibnya taubat, karena perbuatan-perbuatan dosa dapat membinasakan pelakunya dan menjauhkannya dari Allah Ta’ala, maka wajib menghindarinya dengan segera.”

Jadi, kewajiban taubat harus dilaksanakan dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda, karena semua perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam harus dilaksanakan dengan segera jika tidak ada dalil yang membolehkan penundaannya. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa menunda taubat merupakan suatu perbuatan dosa yang membutuhkan taubat tersendiri.

Syarat-syarat Taubat

Pertama: Ikhlas

Hendaklah seorang bertaubat dengan niat yang ikhlas, yaitu semata-mata mencari keridhaan Allah Ta’ala dan agar mendapatkan ampunan-Nya, bukan karena ingin dipertontonkan kepada manusia (riya’), atau hanya karena takut kepada penguasa, ataupun kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Karena taubat kepada Allah Ta’ala adalah termasuk ibadah yang harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mencontoh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).

Kedua: Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan

Karena penyesalan menunjukkan kejujuran taubat seseorang, oleh karenanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

النَّدَمُ تَوْبَة

“Penyesalan adalah taubat.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 3146, 3147)

Ketiga: Meninggalkan dosa

Meninggalkan dosa termasuk syarat taubat yang paling penting, sebab itu adalah bukti benarnya taubat seseorang, maka tidak diterima taubatnya apabila ternyata dia masih terus-menerus melakukan dosa tersebut.

Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Permohonan ampun tanpa meninggalkan dosa adalah taubatnya para pendusta.” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/3)

Adapun cara meninggalkan dosa, jika berupa kewajiban yang ditinggalkan; adalah dengan melaksanakan kewajiban itu. Sedangkan dosa melakukan perbuatan haram, maka wajib untuk segera meninggalkan perbuatan haram tersebut dengan segera dan tidak boleh terus melakukannya meskipun hanya sesaat.

Keempat: Bertekad untuk tidak mengulang kembali perbuatan dosa tersebut di masa mendatang

Apabila di dalam hati seseorang masih tersimpan keinginan untuk kembali melakukan dosa tersebut jika ada kesempatan, maka tidak sah taubatnya.

Kelima: Apabila dosa tersebut berupa kezaliman kepada orang lain, maka harus meminta maaf dan atau mengembalikan hak-hak orang lain yang diambil dengan cara yang batil

Seperti apabila seseorang pernah mencaci orang lain maka hendaklah dia meminta pemaafan orang tersebut, atau seorang yang pernah mencuri harta orang lain maka hendaklah dia meminta maaf dan mengembalikan harta tersebut atau meminta penghalalannya.

Bahaya Perbuatan zalim

Kezaliman kepada orang lain merupakan dosa besar yang mengakibatkan kebangkrutan besar pada hari kiamat. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ. قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak (lagi) memiliki dinar dan harta”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari ummatku adalah seorang yang datang (menghadap Allah Ta’ala) pada hari kiamat dengan (membawa pahala) sholat, puasa, zakat, namun ketika di dunia dia pernah mencaci fulan, menuduh fulan, memakan harta fulan, menumpahkan darah fulan, memukul fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikan yang pernah dia lakukan untuk diberikan kepada orang-orang yang pernah dia zalimi. Hingga apabila kebaikan-kebaikannya habis sebelum terbalas kezalimannya, maka kesalahan orang-orang yang pernah dia zalimi tersebut ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilempar ke neraka.” (HR. Muslim, no. 6744)

Keenam: Taubat harus pada waktunya

Apabila seseorang baru mau bertaubat setelah lewat waktunya, maka taubatnya tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Adapun waktu diterimanya taubat untuk setiap manusia adalah sebelum kematian datang menjemputnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآَنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Dan tidaklah taubat itu diberikan kepada orang-orang yang mengerjakan kejahatan sampai ketika datang kematian kepada salah seorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam keadaan kafir, bagi mereka telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (An-Nisa’: 18)

Sedangkan waktu diterimanya taubat untuk keseluruhan manusia adalah selama matahari belum terbit dari barat. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar bertaubat orang yang berbuat salah pada siang hari. Dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar bertaubat orang yang berbuat salah pada malam hari, (hal ini terus terjadi) sampai terbit matahari dari barat.” (HR. Muslim, no. 7165)

Ketujuh: Menerangkan kebenaran

Jika pelaku suatu dosa adalah pengajak atau penyeru kepada dosa tersebut maka wajib atasnya untuk menerangkan kepada ummat (terutama kepada pengikutnya) bahwa hal itu adalah kesalahan atau kesesatan. Demikian pula, apabila dosanya berupa menyembunyikan kebanaran, maka wajib baginya untuk menerangkan kebenaran tersebut.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ * إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Al-Baqarah: 159-160]

Bahaya Meremehkan Dosa

Inilah salah satu penghalang taubat, yaitu ketika seseorang meremehkan perbuatan dosa yang dia lakukan karena menganggapnya sebagai dosa kecil. Justru apabila seseorang menganggap remeh perbuatan maksiatnya kepada Allah Ta’ala maka dia telah terjatuh pada dosa besar, karena perbuatan menganggap remeh dosa merupakan satu bentuk dosa besar.

Dan dosa kecil sekali pun apabila dilakukan terus menerus, tentu akan menjadi dosa besar, sebagaimana hakikat lautan yang luas hanyalah kumpulan tetesan-tetesan air yang sanggup menjadi ombak yang besar. Demikianlah dosa-dosa kecil, apabila berkumpul pada diri seseorang niscaya akan membinasakannya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إياكم ومُحقراتُ الذنُوبِ، كقَومٍ نَزلُوا في بطْنِ وادٍ فجاءَ ذا بعودٍ ، وجاء ذا بعودٍ حتى أنضَجُوا خبزتهم ، وإنَّ محقَّراتِ الذُّنوب متى يُؤخذ بها صاحبُها تُهلِكْهُ

“Hati-hatilah dengan dosa-dosa kecil, (karena dosa-dosa kecil itu) bagaikan suatu kaum yang turun di suatu lembah dan masing-masing orang membawa satu ranting kayu bakar yang pada akhirnya bisa menyalakan api hingga mereka bisa memasak roti mereka. Demikianlah dosa-dosa kecil, apabila berkumpul dalam diri seseorang niscaya akan membinasakannya.” (HR. Thabrani, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shohihah, no. 3102)

Maka hendaklah setiap kita bersegera untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala, terlebih lagi ketika kita tidak mengetahui kapan kita akan dipanggil oleh Allah Ta’ala dan berpisah dengan kehidupan dunia ini, untuk kemudian dimintai pertanggungjawaban atas setiap perbuatan kita.

Dan janganlah seseorang berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah Ta’ala betapa pun besarnya dosa yang telah dia kerjakan, karena hakikat seorang hamba yang baik bukanlah yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali, tapi hamba Allah Ta’ala yang terbaik adalah seorang yang apabila dia berbuat dosa, dia senantiasa bertaubat kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

كُلُّ بنِي آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak adam senantiasa berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang senantiasa bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 3139)

Wabillahit taufiq, walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Dinukil dari: http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/02/taubat-muara-terindah-bagi-seorang-hamba/

Menyongsong Kematian dengan Segenap Taubat

Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Pintu Taubat Belum Ditutup

Setelah kita mengetahui pada edisi yang lalu bahwa kematian adalah suatu kepastian, tidak bisa dimajukan dan tidak bisa dimundurkan dan semua telah tertulis dalam catatan takdir, maka seorang yang beriman tentu akan mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya kematian itu.

Untuk itu perbanyaklah bertaubat kepada Allah سبحانه وتعالى, wahai saudaraku kaum muslimin dan beramallah! Minta ampunlah kepada Allah dari dosa-dosa yang telah lalu dengan bertekad untuk menempuh hidup baru di jalan Allah Ta’ala. Allah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang akan menerima taubat hamba-Nya sebesar apa pun dosanya. Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan dari Anas bin malik dikatakan:

قَالَ الله تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا بْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلاَ أُبَالِيْ. يَا بْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغْتَ ذُنُوْبَكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِيْ. يَا بْنَ آدَمَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. (رواه الترمذي وحسنه)

Allah berfirman: Wahai anak Adam selama engkau masih berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau apa pun yang datang darimu dan aku tidak peduli. Wahai anak Adam walaupun dosa-dosamu mencapai batas langit kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku, Aku akan ampuni engkau dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan sepenuh bumi dosa dan engkau tidak menyekutukan-Ku, maka Aku akan menemuimu dengan sepenuh itu pula ampunan. (HR. Tirmidzi –dan beliau menghasankannya).

Bertaubatlah! Dan janganlah putus asa dari rahmat Allah. Rahmat dan ampunan Allah lebih luas dari dosa-dosamu, Allah senang dengan taubat hamba-Nya dan mengatakan dengan kasih sayang-Nya:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِيْنَ أَسْرَفُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوْا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُنُوْبَ جَمِيْعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. ]الزمر: 53[

Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (az-Zumar: 53)

Jika telah datang kematian dan kita belum sempat bertaubat, maka jangan kita salahkan kecuali diri kita sendiri. Jika Allah mengadzabnya di alam kubur, maka Allah mengadzabnya dengan keadilan. Jika Allah menghimpitkan bumi ke tubuhnya, sehingga tulang-tulang rusuknya saling bersilangan, maka Allah menyiksanya dengan keadilan-Nya. Dan jika mereka merasakan kesengsaraan di padang Mahsyar dan tidak mendapatkan naungan Allah -pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya- maka itu adalah akibat perbuatan mereka sendiri. Dan ketika mereka diadzab di neraka, itu adalah karena kesalahan mereka sendiri. Allah tetap Maha Adil dan tidak berbuat dhalim kepada makhluk-Nya. Allah سبحانه وتعالى berfirman:

قَالَ لاَ تَخْتَصِمُوْا لَدَيَّ وَقَدْ قَدَّمْتُ إِلَيْكُمْ بِالْوَعِيْدِ. مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَمَآ أَنَا بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ. ]ق: 28-29[

“Janganlah kalian bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dulu telah memberikan ancaman kepada kalian. Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah, dan Aku sama sekali tidak berbuat dhalim (menganiaya) terhadap hamba-hamba-Ku.” (Qaf: 28-29)

Allah سبحانه وتعالى telah menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus para Rasul-Nya. Allah telah memperingatkan manusia dengan kematian, Allah telah memperingatkan untuk bertaubat sebelum ajalnya tiba. Dan Allah telah mewasiatkan kepada kita untuk bertaqwa kepada-Nya dan jangan sampai kita mati kecuali dalam keadaan bertaqwa.

Kebaikan dan rahmat Allah telah dicurahkan, jalan dan rambu-rambu telah digariskan. Apa yang bermanfaat bagi mereka dan yang bermudharat bagi mereka telah Allah jelaskan. Maka barangsiapa yang menghendaki kebaikan ikutilah jalan dan rambu-rambu itu. Sedangkan barangsiapa yang menolaknya, berarti enggan untuk mendapatkan kebaikan yang kekal dan memilih kebinasaan.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَة Radiyallahu ‘anhu أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r قَالَ: كُلُّ أُمَتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. فَقَالُوْا: وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى. (أخرجه البخاري)

Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Seluruh umatku akan masuk ke dalam surga, kecuali yang enggan. Para shahabat bertanya: “Siapakah yang enggan wahai Rasulullah”. Beliau menjawab: “Barangsiapa yang mentaatiku, maka ia akan masuk surga. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka dialah yang enggan. (HR. Bukhari)
Dengan demikian orang-orang yang enggan untuk masuk surga adalah mereka yang memilih kebinasaan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغَ عَنْهَا إِلاَّ هَالِكٌ. (أخرجه ابن أبي عاصم في السنة)

Telah kutinggalkan bagi kalian petunjuk yang nyata. Malamnya seperti siangnya sama (terangnya), tidaklah menyimpang setelahku kecuali dia akan binasa. (HR. Ibnu ‘Ashim dalam kitab “As-Sunnah”-nya)

Hanya orang yang sombonglah yang engan untuk masuk surga. Hanya manusia yang kejilah yang mengingkari kenikmatan Allah dan tidak mensyukurinya.

Saat Pintu Taubat Akan Ditutup

Ingatlah wahai saudaraku, kematian terus mendekat hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun; hal itu berarti pintu taubat semakin dekat untuk ditutup.

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ. (رواه الترمذي وقال حديث حسن)

Dari Abi Abdurrahman bin Abdillah bin Umar bin Khathab (semoga Allah meridhai keduanya) dari Nabi beliau bersabda: “Sesunguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum berada di kerongkongannya. (HR. Tirmidzi dan beliau katakan haditsnya hasan).
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda:

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ. (رواه مسلم)

Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari arah barat, niscaya Allah akan menerima taubatnya. (HR. Muslim)
Barangsiapa yang terlalu yakin umurnya akan panjang, maka dia akan kecewa. Barangsiapa yang merasa akan terus hidup dan tidak akan mati pasti dia akan merugi. Dan barangsiapa yang ingin hidup seribu tahun lagi, maka dialah Yahudi yang cinta dunia dan takut mati.

Allah سبحانه وتعالى berfirman:

…يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللهُ بَصِيْرٌ بِمَا يَعْمَلُوْنَ. ]البقرة: 96[

Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (alBaqarah: 96).

Dengan iman dan amal shalih-lah seharusnya kita menyongsong kematian ini dengan tenang, hingga kita akan dipanggil oleh Allah dengan ucapan:

يَآ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ]27[ ارْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَّةً مَرْضِيَّةً. ]الفجر: 27-28[

Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (al-Fajr: 27-28).

Lebih rinci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam riwayat dari al-Bara’ bin ‘Azib: “Sesungguhnya seorang hamba yang mukmin apabila dia menghadap kematian dan meninggalkan dunia, turunlah para malaikat kepadanya, seakan-akan wajah-wajah mereka bagaikan matahari. Mereka membawa kain kafan dan kapur barus dari surga, dan duduk di hadapannya sepanjang mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut hingga dia duduk di sisi kepalanya seraya berkata: “Wahai ruh yang baik, keluarlah engkau kepada ampunan Allah dan keridhaan-Nya”.

Beliau صلى الله عليه وسلم melanjutkan kisahnya: “Maka keluarlah ruh tersebut, mengalir bagaikan aliran air dari bibir ceret (tempat air minum). Kemudian malaikat maut pun mengambil ruh tersebut. Dan ketika mengambilnya dia tidak membiarkannya di tangannya, bahkan mereka langsung mengambil dan memasukannya ke dalam kafan dan kapur barus yang mereka bawa. Keluarlah dari jiwa tersebut wewangian yang lebih harum dari misik yang terbaik di muka bumi ini”.

Beliau صلى الله عليه وسلم melanjutkan: “Kemudian mereka membawa naik ruh tersebut ke atas. Tidaklah melewati sekelompok malaikat, kecuali mereka berkata: “Ruh siapakah yang harum ini?” Mereka menjawab: “Fulan bin Fulan”. Mereka menyebutkan dengan sebaik-baik nama yang dia dipanggil dengan nama tersebut di dunia sampai berakhir di pintu langit. Dan mereka minta untuk dibukakan untuknya, maka dibuka-kanlah pintu langit untuknya. Seluruh penduduk langit dari kalangan malaikat yang didekatkan mengantarkan ruh tersebut ke langit yang berikutnya. Demikianlah seterusnya sampai berakhir pada langit yang di atasnya Allah beristiwa’. Allah pun berfirman: “Tulislah catatan hamba-Ku di ‘Illiyin….”

Adapun tentang orang kafir Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sesungguhnya ketika orang kafir akan mati, turun kepadanya malaikat-malaikat dari langit dengan wajah-wajah yang hitam. Mereka membawa kain kafan, dan duduk sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malakul maut dari sisi kepalanya seraya berkata: “Wahai jiwa yang jelek keluarlah menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya. Maka berpencarlah ruh itu di seluruh jasadnya (menolak untuk keluar –pent.) Kemudian dicabutlah ruhnya seperti dicabutnya duri dari bulu-bulu wol yang basah. Setelah (ruh itu) diambil, tidak dibiarkan di tangannya sekejap mata pun, hingga diletakkannya di kafan tadi yang mengeluarkan bau yang paling busuk di muka bumi. Kemudian mereka naik membawa ruh tersebut. Tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat kecuali mereka berkata: “Siapakah ruh yang jelek ini?” Mereka menjawab: “Fulan bin Fulan” dengan disebutkan sejelek-jelek nama yang dia dipanggil di dunia sampai berakhir ke akhir langit dunia dan meminta untuk dibukakan langit, tetapi tidak dibukakan untuknya. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم membacakan ayat Alllahسبحانه وتعالى:

…لاَ تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلاَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ… ]الأعراف40[

…sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum… (al-A’raaf: 40)
Kemudian Allah berfirman: “Tulislah catatannya di Sijjin di bumi yang paling rendah”. Kemudian dilemparkan ruhnya dengan satu lemparan, kemudian Rasulullah صلى الله عليه وسلم membacakan ayat Allah سبحانه وتعالى:

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ… ]الحج:31[

…Barangsiapa mempersekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh… (al-Hajj: 31)

Maka kembalilah ruhnya ke jasadnya. Kemudian datanglah dua malaikat mendudukannya seraya bertanya: “Siapakah Rabb-mu?”. Ia menjawab: “Haah… haah… aku tidak tahu”. Keduanya bertanya lagi: “Siapakah orang yang diutus kepadamu?” Ia menjawab: “Haah… haah… aku tidak tahu”. Maka dikatakan oleh penyeru dari langit: “Dia berdusta. Hamparkanlah hamparan dari neraka, dan bukakanlah pintu ke neraka”. Maka sampailah kepadanya hawa panas api neraka…. (HSR. Imam Ahmad , Abu Dawud, Hakim, Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Ibnu Majah)

(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 56/Th. II, tgl 28 Shafar 1426 H/08 April 2005 M, judul asli Menyongsong Kematian, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed)

Dinukil dari: http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1033

Kategori:Pintu Tobat Tag:,

Menggapai Jannatullâh dengan Taubat

Oleh: Buletin Al-Ilmu Jember

Sudah menjadi perkara yang maklum, bahwa tidak ada seorang manusia pun di muka bumi ini yang sempurna. Manusia adalah tempat salah dan dosa. Lupa dan khilaf sudah menjadi sesuatu yang lumrah yang akan menimpa setiap insan. Selamat dari dosa dan kesalahan tidak dapat dimiliki kecuali oleh para Nabi ‘alaihimussalam.

Kalau kita mau menghitung, sudah berapa banyak dosa-dosa dan kesalahan yang kita lakukan hari ini, belum lagi hari kemarin, lusa, dan seterusnya. Bukan tidak mungkin kita terjerumus ke dalam perbuatan dosa-dosa besar yang tanpa kita sadari pula. Semoga Allah melindungi kita.

Demikianlah keadaan manusia, Allah banyak menyebutkan di dalam Al Qur’an tentang keadaan manusia yang serba kurang. Diantaranya firman Allah (artinya):

“Manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (An Nisa’: 28)

“Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)

Demikian pula Rasulullah menegaskan tentang kelemahan dan kekurangan anak cucu Adam ini. Dari sahabat Anas bin Malik , bahwa Rasulullah bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak Adam (manusia) pasti sering berbuat kesalahan “Dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang mau bertaubat.” (H.R. Ibnu Majah no. 4251 dan lainnya)

Tidaklah Nabi mengatakan sebaik-baik manusia adalah yang tidak pernah bersalah, karena memang tidak ada seorang manusia pun yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali para Nabi. Tetapi Rasulullah menegaskan bahwa orang-orang yang bertaubat dan mengakui kesalahan, serta kembali kepada kebenaranlah yang terbaik di antara mereka.

Oleh karena itu, bila kita terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan kesalahan, maka segeralah bertaubat kepada Rabbul ‘alamin. Allah berfirman (artinya): “Bersegeralah menuju kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada al jannah (surga) yang seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran: 133)

Anjuran untuk Bertaubat

Taubat, tidaklah sebatas usaha seorang hamba untuk memohon ampunan dari Allah, namun taubat ini sekaligus termasuk ibadah agung nan mulia di sisi-Nya. Karena perbuatan taubat itu merupakan perintah dari Allah. Sebagaimana Allah berfirman (artinya):

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,…” (At Tahrim: 8)

Taubat juga merupakan ibadah yang sangat dicintai oleh Allah. Karena Allah sangat gembira melihat hamba-Nya yang tiap kali terjatuh dalam dosa dan kesalahan ia segera bertaubat dari dosa dan kesalahannya. Sebagaimana sabda Nabi:

َللهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ إِذَا اسْتَيْقَظَ عَلَى بَعِيْرِهِ قَدْ أَضَلَّهُ بِأَرْضِ فَلاَةٍ

“Sesungguhnya Allah sangat gembira terhadap taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan salah seorang di antara kalian yang kehilangan untanya di padang pasir kemudian menemukannya kembali.” (H.R. Muslim no. 2747)

Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah mengatakan:

إِنَّ اللهَ تَعَالى يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مَسِيءُ النَّهَارِ وَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kejelekan pada siang hari, dan Allah membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kejelekan pada malam hari, sampai matahari terbit dari barat.” (H.R. Muslim no. 2759)

Rasulullah sebagai sang uswah hasanah (tauladan terbaik bagi umat Islam) tidak pernah meninggalkan amalan mulia ini, walaupun beliau seorang yang ma’shum. Beliau menyatakan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوا إِلَى اللهِ وَ اسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah dan beristighfarlah kepada-Nya, sesunggunya aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus kali.” (H.R Muslim no. 2702)

‘Aisyah mengatakan:”Dahulu Rasulullah sebelum meninggal banyak mengucapkan:

سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ

“Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya aku memohon ampun dan aku bertaubat kepada-Nya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Demikian pula para nabi sebelumnya, walaupun mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah mereka pun bertaubat dan mengajak umatnya pula untuk segera bertaubat. Seperti Nabi Adam dan Hawa, keduanya berdo’a (artinya):

“Wahai Rabb-kami, kami adalah orang-orang yang berbuat zhalim pada diri-diri kami, kalau sekiranya Engkau tidak mengampuni (dosa-dosa) dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang celaka.” (Al A’raf: 23)

Nabi Ibrahim juga berdo’a (artinya):

“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 128)

Nabi Hud mengajak kepada umatnya (artinya): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya. niscaya Dia menurunkan hujan yang lebat bagi kalian, dan Dia menambahkan kekuatan kepada kekuatan kalian, dan janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)

Nabi Shalih juga mengajak umatnya (artinya): “Maka mohonlah ampun kepada Allah, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan (do’a hamba-Nya).” (Hud: 90)

Larangan Putus Asa Dari Rahmat Allah

Wahai saudaraku ketahuilah, sesungguhnya rahmat Allah itu sangat luas sekali. Allah berfirman (artinya):

“Sesungguhnya rahmat-Ku mencakup segala sesuatu.” (Al A’raf: 156)

Sehingga tidak sepantasnya bagi seorang hamba untuk berputus asa dari rahmat Allah yaitu berupa maghfirah (ampunan) dari-Nya, walaupun dia merasa telah terjatuh dalam sekian banyak dosa dan kesalahan. Siapa yang berputus asa dari rahmat Allah, berarti ia telah menyempitkan rahmat Allah . Padahal rahmat Allah itu amat luas, dan Allah akan mengampuni semua dosa hambanya, bila ia mau bertaubat kepada-Nya. Mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah (artinya): “Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku, yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Az Zumar: 53)

Al Imam Muslim di dalam kitabnya Shahih Muslim no. 2766 meriwayatkan hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri, sesungguhnya Rasululah pernah menceritakan tentang kisah seorang laki-laki di zaman dahulu (sebelum diutusnya beliau ), yang telah membunuh 99 jiwa manusia dan ingin bertaubat. kemudian orang itu bertanya kepada seorang ahli ibadah, apakah taubatku bisa diterima? Ternyata ahli ibadah itu menjawab: Tidak mungkin diterima. Kemudian dibunuhlah ahli ibadah itu sehingga genaplah 100 jiwa manusia yang telah ia bunuh. Kemudian dia datang kepada seorang ulama’, apakah bisa diterima taubatku? Seorang ulama’ tersebut menjawab: Ya, (tentu taubatmu masih bisa diterima). Pada akhir kisahnya, Allah pun mencabut nyawa orang tersebut dalam keadaan diterima taubatnya.

Sehingga maha benar firman Allah , sebagaimana yang terdapat dalam hadits Qudsi, Allah berfirman:

سَبَقَتْ رَحْمَتِي غَضَبِي

“Sungguh rahmat-Ku telah mendahului kemurkaan-Ku.” (H.R. Muslim no. 2751)

Dan sungguh benar pula berita dari sabda Rasulullah:

لَوْ أَخْطَأْتُمْ حَتَّى تَبْلُغَ السَّمَاءَ ثُمَّ تُبْتُمْ لَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ

“Kalau sekiranya kalian mempunyai dosa atau kesalahan sampai memenuhi langit kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubat kalian.” (H.R. Ibnu Majah no. 4248, lihat Ash Shahihah no. 903, 1951)

Hakekat Taubat

Taubat itu tidaklah sekedar diucapkan secara lisan saja tanpa disertai hati yang tulus penu penyesalan dan tanpa upaya untuk beri’tikad baik. Karena taubat itu akan diterima oleh Allah bila telah memenuhi syarat-syaratnya.

Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al Imam An Nawawi rahimahumullah dalam kitabnya Riyadhush Shalihin: “Para ulama mengatakan: Bertaubat dari setiap dosa hukumnya wajib, jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia, maka syaratnya ada tiga:

Petama; hendaknya dia menjauhi maksiat tersebut,

kedua; hendaknya dia menyesali perbuatan tersebut,

ketiga; hendaknya dia bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut selama-lamanya. Jika hilang salah satu syarat-syarat tersebut di atas, maka tidak sah taubatnya.

Jika maksiat tadi berkaitan dengan manusia, maka syaratnya ada empat. Yaitu ketiga syarat di atas dan ditambah yang keempat; hendaknya dia membebaskan diri (mengembalikan) hak orang tersebut. Jika berupa harta atau sejenisnya, maka dia harus mengembalikannya ….”

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menambahkan syarat berikutnya, yakni hendaknya taubat itu dilakukan pada waktu-waktu masih diterimanya taubat. Yaitu selama nyawa masih belum sampai di kerongkongan (sakratul maut) dan selama matahari belum terbit dari barat (menjelang hari kiamat).

Allah berfirman (artinya):

“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang melakukan kejelekan yang hingga apabila datang ajal kepada salah seorang di antara mereka, ia mengatakan: Sesungguhnya aku bertaubat sekarang.” (An Nisa’ : 18)

Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai kerongkongan.” (HR. At Tirmidzi no. 3537, dari sahabat Ibnu umar)

Dan sabdanya:

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya.” (HR. Muslim no. 2703)

Wahai saudaraku, sebenarnya hakekat taubat itu dapat mendorong orang yang bertaubat untuk memulai dan memperbanyak amalan-amalan shalih. Oleh karena itulah, Allah banyak menggandengkan taubat dengan amal shalih di dalam Al Qur’an. Diantaranya firman Allah (artinya): “Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amalan shalih, maka sesungguhnya dia itulah yang bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (Al Furqan: 71)

Keutamaan Taubat

Sesungguhnya Allah telah menjanjikan keutamaan yang sangat besar kepada siapa saja dari hamba-Nya yang mau bertaubat dan kembali kepada kebenaran, di antaranya:

1. Penghapus dosa dan diganti dengan kebaikan

Allah berfirman (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Maka pasti Rabb kalian menghapuskan kesalahan-kesalahanmu.” (At Tahrim: 8)

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amalan yang shalih, maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Furqan: 70)

2. Mendapat keberuntungan di dunia dan akhirat

Sebagaimana firman Allah (artinya): “Bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu mendapatkan kemenangan.” (An Nur: 31)

3. Mendapat kecintaan dari Allah

Allah telah menegaskan dalam firman-Nya (artinya): “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al Baqarah: 222)

4. Diturunkannya rizki dan barakah

Sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah (artinya): “Dan hendaknya kalian memohon ampunan dari Rabb kalian dan bertaubatlah kepada-Nya. Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (memperoleh balasan) keutamaannya.” (Hud: 3)

5. Penghalang dari adzab Allah

Allah berfirman (artinya): “Dan tidaklah Allah mengadzab mereka, sedang mereka terus beristighfar (memohon ampun).” (Al Anfal: 33)

Sebaliknya, Allah mengancam bagi siapa yang enggan untuk bertaubat kepada-Nya, dengan firman-Nya (artinya): “Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (At Taubah: 74)

Sumber: http://www.assalafy.org/al-ilmu.php?tahun4=11

Dinukil dari: http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/menggapai-jannatullah-dengan-taubat/

Taubat, Syarat & Adabnya

Allah Ta’ala berfirman:

{ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا}

“Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” (QS. Al-An’am: 158)

Dan Allah juga berfirman:

{ إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوَءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُوْلَـئِكَ يَتُوبُ اللّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً. وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ وَلاَ الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُوْلَـئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا}

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa`: 17-18)

Dari Abu Musa Al-Asy’ari -radhiallahu anhu- dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- beliau bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Allah -Azza wa Jalla- akan senantiasa membuka lebar-lebar tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada siang hari dan Allah senantiasa akan membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada malam hari, dan yang demikian terus berlaku hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim no. 2760)

Dari Abdullah bin Umar -radhiallahu anhuma- dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- beliau bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan.” (HR. At-Tirmizi no. 1531, Ibnu Majah no. 3407, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1309)

Penjelasan ringkas:

Dalil-dalil di atas menunjukkan luasnya rahmat Allah tatkala Dia menerima taubat dari semua hamba-Nya kapan dan dimanapun, sepanjang malam dan siang sebelum terbitnya matahari dari sebelah barat.

Juga menunjukkan bahwa di antara sebab terbesar diterimanya taubat adalah tatkala taubat itu dikerjakan segera setelah melakukan dosa dan kesalahan. Dan dari hadits pembunuh 100 nyawa dipetik faidah bahwa termasuk dari kesempurnaan taubat adalah meninggalkan tempat dia berbuat maksiat agar dia tidak kembali lagi mengerjakan dosa tersebut akibat dorongan teman-teman yang jelek.

Juga menunjukkan bahwa ketika seseorang sudah bertaubat dari suatu dosa lalu dia mengulangi lagi dosa tersebut atau melakukan dosa yang lain setelahnya, maka taubatnya yang pertama tetap diterima (selama syarat-syaratnya terpenuhi), sementara dosa yang kedua atau dosa yang dia ulangi itu wajib atasnya untuk bertaubat kembali. Jadi, bukan syarat diterimanya taubat dia tidak boleh mengulangi dosa yang sama.

Adapun syarat diterimanya taubat, maka dalil-dalil di atas menunjukkan taubat masih diterima selama matahari belum terbit dari sebelah barat dan sebelum nyawa sampai ke tenggorokan.

Dinukil dari: http://al-atsariyyah.com/?p=1578

Kategori:Pintu Tobat Tag:, ,

Taubat dari Perbuatan Zinâ

Oleh: Al-Ustâdz Abû Abdillâh Muhammad Al-Makassarî

Ada pemuda-pemudi melakukan zina beberapa waktu yang lalu. Keduanya ingin bertaubat. Pertanyaan:

a. Bagaimana taubatnya?

b. Haruskah keduanya menikah?

c. Bagaimana kalau orang tua wanita tetap tidak setuju?

d. Bagaimana nanti status anak keduanya?

Mohon bantuannya supaya mereka berdua dapat kembali ke jalan yang benar.

Ahmad Abdullah
ahm…@plasa.com

Jawab:

Cara Taubatnya

Keduanya bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha yaitu dengan memenuhi tiga syarat taubat yang disebutkan oleh para ulama. Tiga syarat ini disimpulkan oleh para ulama dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pertama, keduanya harus menyesali perbuatan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

النَّدَمُ تَوْبَةٌ

“Sesungguhnya penyesalan itu adalah taubat.”1

Karena itu hendaklah keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan.

Kedua, melepaskan diri dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan yang seperti itu. Tidak lagi mengulangi maupun mendekati apa-apa yang akan menyeret dan mengantar kepada perzinaan, seperti pergaulan bebas dengan wanita (pacaran), berbincang-bincang secara bebas dengan wanita yang bukan mahram, bercengkerama, ikhtilath/bercampurbaur. Semuanya adalah perkara yang diharamkan syariat untuk menutupi pintu perzinaan. Hendaknya keduanya menjauhkan diri dari itu semua.

Ketiga, kemudian keduanya ber-‘azam/bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Juga beristighfar kepada Allah, memohon ampunan-Nya. Dalam hal ini ada hadits Abu Bakr Ash-Shiddiq tentang disyariatkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat untuk shalat dua rakaat lalu memohon ampunan kepada Allah.2

Haruskah Keduanya Menikah?

Keduanya tidak harus menikah. Namun tidak mengapa keduanya menikah dengan syarat: apabila wanita yang telah dizinai tersebut hamil karena perzinaan itu, maka tidak boleh menikahinya pada masa wanita itu masih hamil. Mereka harus menunggu sampai si wanita melahirkan bayinya, baru boleh menikahinya. Inilah pendapat yang benar yang disebutkan oleh ulama, yaitu bahwa wanita yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahi sampai melahirkan. Karena di sana ada dalil yang menuntut adanya istibra` ar-rahim (pembebasan rahim) dari bibit seseorang. Karena itu rahim harus dibebaskan terlebih dahulu dengan cara menunggu sampai lahir, sehingga rahimnya bebas tidak ada lagi bibit di dalamnya. Setelah itu baru bisa menikahinya. Itu pun apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.

Apabila wanita yang dizinainya tidak sampai hamil, maka pembebasan rahimnya dengan cara menunggu haid berikutnya. Setelah melakukan perzinaan kemudian dia haid. Dalam kasus yang seperti ini, boleh menikahinya setelah melewati satu kali masa haid, yang menunjukkan bahwa memang tidak ada bibit yang tersimpan dalam rahimnya. Dan tentunya ini apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.

Adapun jika salah satu dari keduanya belum bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga salah satu dari keduanya masih berlaku padanya nama zaani (pezina) maka keduanya tidak boleh menikah. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

﴿الزَّانِي لا يَنْكِحُ إِلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ﴾

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (An-Nur: 3)

Maksudnya, seorang pezina diharamkan menikah dan sebaliknya wanita pezina juga haram dinikahi. Jadi bolehnya menikah adalah apabila keduanya memang sudah bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga tidak lagi dinamakan lelaki pezina atau wanita pezina.

Bagaimana Status Anak Keduanya?

Ini tentunya kalau ditakdirkan bahwa wanita yang dizinai tersebut hamil akibat perzinaan tersebut. Status anak tersebut adalah anak yang lahir karena perzinaan. Anak ini tidak boleh dinasabkan pada lelaki yang berzina dengan ibunya, karena dia bukanlah ayahnya secara syariat. Oleh karena itu, sang anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian pula tidak boleh saling waris-mewarisi. Juga seandainya anak tersebut wanita, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi walinya dalam pernikahan dan juga bukan mahramnya sehingga tidak berlaku padanya hukum-hukum mahram. Sehingga laki-laki itu tidak boleh berkhalwat dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, tidak boleh berjabat tangan dengannya, dan seterusnya. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah bahwa si laki-laki tidak boleh menikahi anak hasil perzinaan tersebut, karena anak wanita itu berasal dari air maninya. Hanya ini satu-satunya hukum yang berlaku, sebagaimana diterangkan oleh para ulama. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote:

1 HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dan yang lainnya dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah (4252).
2 HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (1021).

Sumber: Majalah Asy Syarî`ah, Vol. III/No. 26/1427H/2006, Kategori: Problema Anda, hal. 74-75. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=376

Pentobat Maksiat menukil dari: http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/munakahat-keluarga/taubat-dari-perbuatan-zina/