Arsip

Posts Tagged ‘jalan’

Etika Pengguna Jalan

28 Januari 2011 Tinggalkan komentar

Penulis: Al Ustadz Hammad Abu Muawiyah

Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ

“Hindarilah duduk-duduk di pinggir jalan!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah bagaimana kalau kami butuh untuk duduk-duduk di situ memperbincangkan hal yang memang perlu?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika memang perlu kalian duduk-duduk di situ, maka berikanlah hak jalanan.” Mereka bertanya, “Apa haknya?” Beliau menjawab, “Tundukkan pandangan, tidak mengganggu, menjawab salam (orang lewat), menganjurkan kebaikan, dan mencegah yang mungkar.” (HR. Muslim no. 2161)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ

“Jauhilah dua orang yang terlaknat.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah kedua orang yang terlaknat itu?” Beliau menjawab, “Orang yang buang hajat di jalan manusia atau di tempat berteduhnya mereka.” (HR. Muslim no. 269)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ عَلَى الطَّرِيقِ فَأَخَّرَهُ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ

“Ketika seorang lelaki tengah berjalan di suatu jalan, dia mendapati ranting yang berduri di jalan tersebut. Maka dia mengambil dan membuangnya, yang karenanya Allah ‘Azza wa Jalla berterima kasih kepadanya dan mengampuninya.” (HR. Al-Bukhari no. 2292 dan Muslim no. 4743)

Penjelasan Ringkas:

Di antara bentuk keuniversalan syariat Islam dan bahwasanya dia adalah rahmat bagi seluruh alam, adalah adanya beberapa etika yang Islam syariatkan kepada manusia berkenaan dengan benda-benda mati atau yang benda yang rendah di mata manusia. Di antara benda tersebut adalah jalanan, jalanan yang tiap hari kita rendahkan dengan cara diinjak. Akan tetapi subhanallah, Islam tetap menetapkan kepada mereka beberapa hak yang wajib ditunaikan oleh manusia sebagaimana mereka menunaikan hak manusia lainnya.

Di antara hak jalanan yang wajib kita tunaikan adalah:

1.    Menundukkan pandangan dari orang yang berlalu lalang di jalanan, terkhusus dari lawan jenis yang bukan mahramnya.

2.    Tidak mengganggu orang yang lewat, baik dengan lisan maupun dengan tangannya. Di antara contoh gangguan adalah pemalakan, penjambretan, meminta-minta di jalan, dan yang marak dilakukan di negeri ini adalah demonstrasi atau unjuk rasa, yang jelas-jelas memberikan gangguang kepada pengguna jalan.

3.    Menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepadanya. Ini adalah kewajiban baik ketika di jalan maupun ketika di tempat lain.

4.    Memerintahkan para pengguna jalan kepada kebaikan. Termasuk di dalamnya aturan-aturan yang dibuat oleh polantas guna kenyamanan para pengguna jalan.

5.    Melarang mereka dari kemungkaran seperti melarang mereka dari demonstrasi.

6.    Tidak buang air besar dan buang air kecil di jalan yang biasa dilalui oleh manusia walaupun itu hanya jalan setapak atau jalan kecil dalam lorong. Dan tidak juga di bawah tempat dimana biasa orang-orang bernaung, baik berupa pohon atau bangunan.

7.    Menyingkirkan semua bahaya dan gangguan dari jalanan yang bisa mengganggu para pengguna jalan. Misalnya menyingkirkan gundukan pasir atau batu dari pinggir jalanan yang bisa menyebabkan kemudharatan bagi pengguna kendaraan atau bagi orang-orang yang berada di dekat situ. Termasuk melanggar hal ini adalah meletakkan penghalang di jalan saat demonstrasi (walaupun demonstrasi sendiri pada dasarnya sudah dilarang) atau memasang polisi tidur terlalu tinggi atau runcing atau memasang terlalu banyak sehingga membahayakan pengguna jalan.

Yang jelas, kapan suatu kegiatan bisa mengganggu pengguna jalan, maka masuk ke dalam larangan dalam hadits-hadits di atas. Wallahu a’lam

Sumber Website:

http://al-atsariyyah.com/etika-pengguna-jalan.html#more-2526

Sikap Seorang Muslim di Hadapan As-Sunnah

28 Oktober 2010 1 komentar

Penulis: Buletin Dakwah As-Sunnah, Surabaya.
Edisi: Perdana/Shafar/1426 H/Maret/2005

As-Sunnah menurut bahasa memiliki arti “Jalan yang di tempuh”. Sedangkan secara syari’at, As-Sunnah adalah jalan petunjuk yang di tempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam perkara aqidah, ibadah, muamalah maupun tingkah laku sehari-hari, baik yang hukumnya wajib maupun mustahab (sunnah).

Lalu bagaimana sikap seorang muslim di hadapan As-Sunnah itu? Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan di dalam Al-Qur’an di surat Al-Hasyr ayat 7 yang artinya sebagai berikut:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa saja yang di bawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kalian, maka ambillah (laksanakanlah). Dan apa saja yang dilarangnya, maka hentikanlah (tinggalkanlah).”

Di dalam ayat yang mulia ini, secara jelas di tegaskan bahwa sikap seorang muslim di hadapan As-Sunnah adalah “Mengimani seluruh ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa di pilih-pilih, walaupun tidak sesuai dengan keinginan atau kemauan hawa nafsunya, atau mungkin belum bisa diterima akalnya.”

Seorang muslim harus yakin, bahwa semua ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dibimbing oleh wahyu yang mutlak kebenarannya, dan tidak bisa ditentang oleh pendapat siapapun.
Ambillah contoh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya di Kitab Ath-Thib Nomor 5782. Dari Abu Hurairah radhiyallahu, Rasulullah ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمَسْهُ كُلَّهُ، ثُمَّ لَيَطْرَحْهُ، فَإِنَّ فِي أَحَدِ جِنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي اْلآخَرِ دَاءً

“Apabila ada lalat jatuh ke dalam sebuah bejana (untuk minuman) salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah seluruh (tubuh) lalat itu ke dalamnya kemudian buanglah lalat itu (lalu minumlah air yang ada dalam bejana itu, ed). Karena sesungguhnya di dalam salah satu sayap lalat itu terdapat obat penawarnya dan di sayap lainnya ada penyakit.”
Setelah mendengar dan membaca hadits ini, seorang muslim sejati harus mempercayainya dan meyakini kebenarannya, haram baginya menantang dan melecehkan hadits tersebut, walaupun menurut kedangkalan akalnya hadits ini terkesan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan teori kesehatan.

Namun yang perlu diingat, sebelum meyakini dan mengamalkan As-Sunnah (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), seorang muslim sejati harus melakukan dua tahapan ilmu sebagai berikut:

Pertama: Harus meneliti shahih atau tidaknya hadits yang dinisbahkan (disandarkan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila shahih maka wajib diterima, dan ternyata tidak shahih maka harus ditolak. Dan untuk mengetahui ilmu seperti ini (tentang shahih atau tidaknya sebuah hadits) harus dengan bimbingan ulama’ ahli hadits, atau melihat penilaian mereka di dalam kitab-kitab hadits yang telah diteliti mereka.

Kedua: Bila ternyata hadits tersebut shahih, maka kita juga harus melihat penjelasan dari para ulama’ ahli hadits yang terpercaya agamanya, tentang makna-makna, faedah-faedah dan hukum-hukum yang bisa dipahami dari hadits yang shahih tersebut.

Contohnya adalah Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan kitab Fathul Bari-nya setebal 14 jilid, yang merupakan Kitab Syarh (penjelasan dan uraian) dari Kitab Shahih Al-Bukhari. Atau Imam An-Nawawi dengan kitab Syarh Shahih Muslimnya, dan juga para ulama yang lainnya.

Nah setelah melalui dua tahapan tersebut di atas, baru kita yakini dan kita amalkan As-Sunnah tersebut. Hal ini kita lakukan untuk menghindari penipuan yang dilakukan oleh para penjahat agama yang biasa berhujjah (berdalil) dengan hadits-hadits dha’if (lemah) bahkan maudhu’ (palsu), atau mereka yang menolak hadits-hadits shahih hanya kerena tidak sesuai dengan maksud sebenarnya.

Orang-orang semacam ini, perlu diingatkan dengan ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan dalam sabda beliau:

مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فًلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.” (HR. Imam Muslim dalam Shahihnya, No.3 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Demikianlah penjelasan ringkas tentang keharusan sikap seorang muslim sejati dihadapan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk mengetahui lebih jelas tentang masalah ini, silahkan
Anda meruju’ kepada kitab-kitab para ulama sebagai berikut:
1. Syarh Shahih Muslim
2. Ta’dhimus Sunnah.
3. Dharuratul Ihtiman bis Sunan An-Nabawiyyah
4. At-Tamassuk bis Sunnah fil Aqa’id wal Ahkam
5. Tahqiq Ma’na As-Sunnah
6. Munaqasyah Hadi’ah, dll.

Wallahu a’lamu bish shawwab!

Dinukil dari: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=518

Kategori:Pintu Tobat Tag:, ,